Saya perhatikan, setiap teman yang dipanggil hanya mengetuk papan tulis yang berwarna hitam tersebut dengan menggunakan penggaris kayu panjang. Ketika nama saya dipanggil, dengan percaya diri saya maju ke depan kelas dan langsung mengambil penggaris kayu.Â
Setelah itu, saya ketuk-ketuk papan tulis dengan mulut yang tetap terkatup. Hahaha ... kisah itu begitu lekat diingatan. Â Sabar sekali guru saya itu. Beliau tak menegur apalagi memarahi. Saya hanya diminta duduk kembali. Barangkali dalam hati beliau terkekeh-kekeh juga ya, melihat gaya saya.
Sebuah cerita tentang seorang guru swasta menyentuh hati saya. Beliau seorang perempuan muda yang dipercaya menjadi wali kelas. Sayangnya, saat itu tahun ajaran baru saja dimulai, tetapi beliau sudah tak mampu menemani anak-anak didiknya karena hamil di trimester pertama.Â
Kondisi kesehatannya tidak bisa diajak kompromi, sehingga pihak sekolah mengganti sementara dengan guru yang lain. Apa yang terjadi setelahnya? Beliau mendapat cacian dari wali murid.Â
Hujatan serta ucapan yang tak pantas keluar dari mulut para orang tua yang mengaku terdidik lengkap dengan embel-embel the have nya. Alasan kehamilan dianggap dibuat-buat.Â
Mereka dengan bangga mengatakan bahwa mereka juga pernah hamil beberapa kali dan tetap bekerja seperti biasa. Hellooo ... apa kabarnya saya yang juga seperti ibu guru tersebut saat hamil. Siapa yang ingin sakit dan lemah saat diberi amanah? Tetapi, bukankah setiap perempuan memiliki kekuatan yang berbeda-beda? Â Pada akhirnya, ibu guru itu pun tak melanjutkan lagi pekerjaannya di sekolah tersebut.
Kisah guru vs wali murid atau dengan muridnya memang tak ada habisnya. Adakalanya guru berada dalam posisi lemah, tetapi tak sedikit juga posisi orang tua atau si anak yang merasa terjepit. Â
Pernah ada seorang siswa SD kelas 1 yang belum bisa mengerjakan tugas dengan cepat dan tidak  bisa menulis dengan bagus dan rapi. Sang guru berulang-ulang menegur anak dan orang tuanya.  Terciptalah label "lelet (lambat)" pada diri si anak yang dicap gurunya. Tersinggungkah orang tuanya?Â
Oh ... jelas saja! Label lelet itu diucapkan di depan orang tuanya. Hingga akhirnya sang orang tua mencari sekolah lain dan meminta kepastian dari pihak sekolah baru bahwa tak ada bullying, baik yang dilakukan guru maupun anak didik.Â
Saat meninggalkan sekolah lama, sang orang tua berkata kepada guru tersebut, "Lambat pada anak kelas 1 SD adalah sebuah proses, sementara tulisan bagus dan rapi tidak menjamin anak akan menjadi orang hebat. Bukankah tulisan dokter di setiap resepnya tidak mudah dibaca?"
Satu lagi curhatan guru swasta yang pernah saya dengar. Banyak orang tua murid yang suka menunda pembayaran uang SPP bulanan yang harus dibayar. Â