Besok pagi dini hari jam 02:00, mereka berangkat naik bis dari terminal Kampung Rambutan menuju Banyuwangi. Jam 00:30, taksi yang bude pesan sudah sampai di depan pagar. Aku sudah bangun untuk bantu masak menyiapkan bekal buka puasa dan mengantar hingga pagar rumah.
"Bude, bekal untuk sahur dan buka puasa untuk di bis sudah aku suruh Wiwi masukkan ke dalam tas ransel dia," kataku sambil berjalan dengan membawa tas berisi 2 termos teh hangat manis ke arah taksi.
Bude yang mau masuk kamar mandi, mengangguk dan menjawab, "iya, terima kasih".
 "Wi, termos ini panas. Bawanya jangan miring, nanti tumpah," pesanku ke Wiwi yang sudah duduk di dalam taksi.Â
Wiwi mengambil cuti sebanyak 10 hari. Sehari sebelum pulang Singapura, dia akan menginap lagi semalam di sini.
Bulan sejak 5 hari yang lalu pulang Semarang untuk menghabiskan waktu libur semester selama 3 minggu lebih. Nanti setelah masuk semester baru, dia mulai membuat skripsi.
Aku yang hanya mendapat libur di tanggal merah, memutuskan untuk tinggal di rumah.Â
Rumah langsung terasa sepi begitu taksi berjalan keluar gang dan menghilang dari pandangan mataku. Makanan yang telah masak kumasukkan sedikit ke dalam kotak makan siang. Pagi ini aku tidak ada nafsu untuk sarapan. Selesai mengemas tas bekal, aku kembali tidur dan terbangun di jam 06:15.
Di dalam bis terjadi percakapan antara bude dan Wiwi.Â
23 tahun yang lalu di siang hari yang terik, bude yang baru sebulan berusia 15 tahun memutuskan untuk kabur dari rumah suami, juragan Bono dengan membawa satu amplop penuh berisi uang hasil mencuri dari dalam laci ruang kerja suami, dompet berisi uang 200 ribu, dan kalung serta cincin di tubuh.
Bude berlari kencang menuju rumah orang tua untuk pamit mau kabur meninggalkan Banyuwangi untuk selamanya.