"Ini teh pemberian pak Xie. Tulisan ini artinya 'Teh Untuk Orang Tua Tersenyum'. Sepertinya pak Xie mau teh ini kami beri ke orang tua sebagai oleh-oleh," kataku dengan menunjukkan tabung teh pemberian pak Xie untuk menutup cerita yang ada di balik album foto.
"Harum sekali teh ini! Terbayang wajah bahagia eyang meminum teh yang harum dan pasti cantik saat diseduh nanti," kata Bulan sambil membuka tutup tabung lalu, menghirup dalam-dalam aroma wangi harum yang menyerbak keluar.
"Iya, harum sekali! Tercium sampai ke sini," sambung kak Milah yang duduk di sampingnya.Â
Di tengah semerbak wangi harum teh bunga, perutku berbunyi keroncongan.
"Mbak, sudah lapar?" tanya Bulan sambil menurunkan tabung teh dari hidung.
"Iya, ini kenapa jadi lapar? Padahal, baru makan soto," tanyaku bingung.
"Sepertinya ini sudah siang. Tunggu! Sebaiknya jam weker di dalam kamar ditaruh di luar ," kata Bulan dan segera beranjak berdiri lari ke dalam kamar.
"Mbak! Ini sudah jam setengah dua belas, lho!" teriaknya dari dalam kamar.
Aku dan kak Milah bergegas membereskan album foto dan tabung teh lalu, masak telur dadar untuk dimakan bersama soto ayam sisa tadi.
"Untung ibu beli kulkas duluan jadi bisa stok bahan makanan yang banyak," kata Bulan sambil cek isi kulkas untuk cari bahan memasak makan malam.
Bulan sejak kecil tidak bisa makan sembarangan karena menderita alergi yang tidak jelas pemicunya. Ibu paling khawatir dengannya. Saat SD, dia ada makan banyak makanan di saat pesta ulang tahun teman sekolah di sekolah. Sampai di rumah, waktu mandi di tubuhnya ketahuan ada bentol merah dan sore hari mendadak demam. Lalu, saat eyang kasih makan nasi uduk yang dibeli di warung yang baru buka di sekitar pasar, bibirnya tidak lama bengkak. Dia juga tidak bisa makan snack bungkusan seperti anak kecil yang lain karena bisa demam setelah memakannya.