Tak terasa waktu berlalu sangat cepat. Jam makan siang tiba. Selesai makan, aku bergegas pergi ke bagian administrasi untuk cek kertas absen yang tadi kutitip sudah kembali dengan tanda tangan atau tidak.
"Permisi bu Ani," panggilku ke perempuan paruh baya yang berkonde. Bu Ani kabarnya karyawan terlama di tempat ini. Dia suka memakai kebaya dan berkonde. Segala macam urusan bila diurus beliau pasti cepat selesai.
Bu Ani menengok ke arahku. "Bintang. Ini sudah selesai," katanya dengan menyodorkan map ke arahku. "Kerjaan kamu bagaimana? Sudah mau selesai?" Aku mengelengkan kepala pelan. "Belum. Masih banyak. Tapi akan kuusahakan selesai hari ini supaya pak Mark tidak kerepotan," jawabku.Â
Pak Mark setelah mengantarku dan bertemu duta besar, tak lama pamit pergi dan berjanji akan kembali sore ini untuk menjemputku.
"Ibu, terima kasih banyak untuk bantuannya. Aku permisi kerja lagi," pamitku. Ibu Ani tersenyum dengan menganggukkan kepala.
"Bintang, masih banyak yang belum selesai?" Mendadak terdengar suara pak Mark. Aku menengok ke belakang.
"Aku usahakan selesai dalam satu jam," jawabku singkat. "Sekarang sudah jam 18:30. Kamu tidak makan malam?" tanyanya lagi. "Tidak! Aku tidak ada selera," jawabku sambil menatap dan mengetik di komputer. Terdengar suara pak Mark menghelakan nafas. "Jangan paksa diri. Ini tidak masalah kalau tidak bisa kamu selesaikan. Nanti staff saya bisa lanjutkan." Aku menggelengkan kepala. "Ini pasti bisa aku selesaikan, pak!" balasku dengan menatap lurus ke arah matanya. Pak Mark tersenyum dengan diam melihat reaksiku.Â
"Eh, tapi kalau bapak mau pulang tidak apa-apa. Besok aku titip pak Ma di kampus," kataku cepat-cepat. "Tidak usah. Saya akan menunggu kamu hingga jam 8, sambil cek kerjaan yang sudah kamu selesaikan," jawabnya lalu duduk di kursi meja rapat di belakang aku.Â
Sesuai perkiraanku. Satu jam kemudian, "Pak, ini sudah selesai," kataku dengan menyodorkan 3 lembar kertas terakhir. "Bintang, kerjamu sangat bagus. Sekarang cepat kemasi barang-barang dan kita pulang. Ngomong-ngomong, kamu lapar?" "Tidak," jawabku dengan mengelengkan kepala. "Baik, kita langsung pulang ke asrama," jawabnya.
Jam 8 kurang, kami pergi meninggalkan kedutaan. Ketika pintu mobil dibuka, menyeruak keluar wangi masakan yang harum.
"Plastik itu berisi makanan untuk kamu bawa pulang asrama. Tadi saya ada minta tolong pak Chen untuk pergi belikan untukmu," jelas pak Mark. "Pak Mark... Terima kasih banyak!" kataku dengan sepenuh hati.
Perhatian yang diberikan Pak Mark membuatku sangat bahagia dan terharu. Aku mengambil plastik itu lalu taruh di atas pangkuanku. Rasa hangat dari dalam plastik menyebar ke seluruh badan.
"Bintang, sekarang usiamu berapa?" tanyanya. "18 tahun," jawabku. "Delapan belas.... Â saat bapak seusia kamu, bapak terpaksa datang merantau ke negara ini karena kondisi politik Indonesia yang sangat buruk saat itu. Bapak ingat sekali saat tiba di sini hati dan pikiran diliputi rasa keputusasaan, kemarahan, dan ketakutan. Tetapi karena masih muda, semua rasa itu bisa diubah menjadi kekuatan untuk berusaha bangkit bekerja mengali potensi diri dalam waktu singkat." Pak Mark berhenti sejenak. "Ada pepatah yang mengatakan masa muda itu masa yang indah. Saat seusiamu itu pepatah itu sangat sulit dimengerti bapak karena bapak sedang menjalaninya. Tetapi, sekarang di usia 46 tahun ini baru bapak mengerti arti pepatah itu."
Aku mendengar dengan diam.
"Bapak ini gemar olahraga lari. Setiap hari pasti luangkan waktu satu jam untuk lari. Bila tidak lari, tubuh terasa lemas seperti saat telat makan." Beliau kembali berhenti sebentar.
"Saat memasuki usia 41 tahun, bapak tersadarkan saat sedang berlari kalau nafas tidak sekuat dulu lagi. Lalu, perlahan keluhan kesehatan terutama bagian tulang mulai bermunculan."
Pak Mark saat pindah ke Tiongkok, bekerja sebagai kuli panggul sayur, buah, dan ikan di pasar. Setiap hari punggung beliau harus menanggung beban bawaan yang bila berat ditotal bisa 100 kilo lebih. Tubuhnya di antara 2 saudara pria yang lain, termasuk paling kuat.
Pekerjaan berat itu lebih cepat menghasilkan uang. Selain itu, pedagang yang dibantu setelah selesai dibantu pasti beri sedikit barang bawaannya. Pemberian itu dijadikan sebagai makanan untuk seisi rumah. Selama hampir setahun pak Mark menjadi kuli panggul.Â
"Sudah 4 tahun terakhir ini muncul keluhan sakit pinggang. Kata dokter, penyebabnya karena saat muda terlalu sering memanggul beban berat," kata pak Mark pelan dengan tersenyum getir.
"Mendengar perkataan dokter itu bapak mengerti maksud pepatah itu. Saat muda, tubuh bapak yang sehat dan kuat sanggup memikul beban sangat berat dan tulang tidak merasakan sakit. Selain sehat dan kuat itu, bapak juga memiliki banyak pilihan hidup untuk dijalani. Karena itu masa muda disebut masa yang indah," katanya sambil menatap mataku.Â
"Bintang, cita-cita kamu mau jadi apa?" Pertanyaan dia membuatku bingung harus menjawab apa. Aku yang diam semakin terdiam.
"Bapak tahu kamu pasti bingung mau jadi apa. Itu hal yang wajar karena di luar sana ada banyak pilihan hidup. Meski hari ini berkata ingin jadi dokter, bisa jadi besok berubah menjadi pengacara," katanya dengan tersenyum.Â
"Kamu ini anak yang cerdas dan serba bisa. Bapak hanya ingin kamu menyadari potensi besar dalam dirimu. Selagi muda, jalani hari-harimu dengan membuat pilihan yang tidak akan kamu sesali di kemudian hari. Meski terasa berat dan mengecewakan, tapi jalani terus hidupmu dengan kemampuan berbuat baik terbaikmu. 22 tahun dari sekarang di saat usiamu 40 tahun, ketika kamu menengok ke belakang, bapak yakin pasti hanya rasa bangga pada dirimu yang terlihat di pelupuk mata. Bintang, setelah tidak muda lagi pilihan hidup semakin sedikit karena faktor usia dan kesehatan. Dan biasanya kita hanya bisa terus menjalani hidup yang sudah dipilih," kata pak Mark dengan tersenyum ke aku.Â
Aku membalas senyuman beliau dengan diam karena tidak tahu harus komentar apa. Aku terus terdiam hingga dari kejauhan terlihat gedung asrama.
"Pak Mark, nanti saat ke Indonesia tolong kabari aku. Saat itu meski sudah bekerja, aku pasti akan luangkan waktu untuk menemani bapak keliling sekitar Jakarta. Semua yang bapak ajarkan ke aku selama ini tidak akan kulupakan. Terima kasih banyak untuk perhatian dan kebaikan bapak selama ini," kataku dengan memberikan senyum yang termanis.
Sebelum turun dari mobil, aku juga mengucapkan terima kasih ke pak Chen. Setelah turun, seperti biasa aku melambaikan tangan hingga mobil hilang dari pandangan.
Ketika mobil menghilang di kegelapan malam, airmataku tumpah ruah. Entah mengapa aku merasakan kesedihan. Cerita pak Mark tentang masa muda terus tergiang dalam kepala.
3 hari ini pun telah jadi sejarah. Aku membayangkan seperti apa diriku di usia 40 tahun. Bayangan yang muncul hanya menjadi istri Cahaya dan ibu untuk anak-anak yang lahir dari pernikahan kami.
"Kenapa aku tidak bisa punya impian besar seperti Shidd dan Kang Xi Ka yang ingin jadi menteri luar negeri? Dan seperti DX yang gigih kejar impian jadi fotografer profersional kelas dunia? Dan juga Shotaro yang ingin mendirikan perusahaan teknologi alat medis? Kenapa impianku sungguh kecil???" Aku sibuk bertanya pada diri sendiri di dalam hati.
-bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H