Mohon tunggu...
MK
MK Mohon Tunggu... Freelancer - Cahaya Bintang

Saat diri dapat katakan CUKUP di saat itu dengan mudah diri ini untuk BERBAGI kepada sesama:)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pintu Depan 4

2 April 2022   11:20 Diperbarui: 2 April 2022   11:40 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Desember 1996

Saat perayaan natal di kampus aku diminta jadi koordinator konsumsi. Saat sedang sibuk cek dus konsumsi sesuai urutan kursi di dekat pintu masuk, seorang pria tampan bertubuh altetis mendekat dan menawarkan bantuan.

" Hai, mari saya bantu dik," ujarnya dengan tersenyum lebar. Senyumnya itu membuat hatiku yang lelah dengan urusan konsumsi menjadi teduh.

"Tidak usah mas. Ini sudah mau selesai," jawabku dengan tersenyum. Pria itu tak patah arang. "Biar cepat sini saya bantu." Aku pun mengalah.

Pria itu bernama Aryo Hutama anak angkatan 92, fakultas teknik elektro. Mendengar nama itu dalam sekejap hati yang teduh berubah sangat panas dan pahit.

Tak salah lagi ini pria tak bertanggung jawab yang telah membawa kak Milah ke jurang penyesalan seumur hidup karena mengugurkan kandungan.

"Aryo dan kakak beda agama. Latar belakang pun beda. Dia katolik, aku islam. Ayahnya pejabat bank Indonesia sedang ayahku pedagang kecil di kampung," cerita kak Milah sambil menangis. "Gara-gara itu dia tak berani menikahi kakak dan meminta supaya digugurkan..."

Wajah kak Milah yang berurai air mata melayang di depan mataku.

"Boleh saya tahu namamu?" tanyanya. "Bintang, angkatan 95 jurusan sastra Cina." Ketika ditanya asal daerah mana, aku asal menjawab. "Purworejo, Jawa Tengah gak jauh dari candi Borobudur dan Prambanan." Untuk pertama kali aku berbohong. Sumber inspirasi kebohongan itu adalah cerita teman sebangku selama SMA bernama Riana. Anak itu pindahan dari Purworejo. Aku tak berani jujur asli Semarang karena pasti dia akan langsung menjauh.

Sesuai dugaanku mas Aryo menaruh hati padaku. Sepanjang acara dia terus membuntutiku. "Selesai acara kita makan steak di restoran daerah Jakarta pusat, yuk!" ajaknya. "Maaf, lain kali saja. Aku hari ini capek sekali," tolakku.

Selesai acara dan rapat penutup aku langsung lari kabur ke kos kak Milah dengan membawa bungkusan dus isi makanan saat acara yang tersisa.

"Kak Milah! Ini aku bawa banyak makanan," panggilku sesampai di kos. 1 Dus besar berisi kue kami taruh di meja makan kos. Semua barang yang terletak di meja makan berarti milik bersama. Sisa dibawa masuk ke kamar kak Milah.

"Akhirnyaaaaaa! Aku bisa makan!" seruku girang. "Kamu kenapa selama acara bisa gak makan?" tanya kak Milah bingung. Aku pun menceritakan pertemuan tak terduga dengan mas Aryo.

"Bintang, jaga hatimu baik-baik. Pesona Aryo itu sangat kuat. Kakak takut nanti kamu jatuh cinta..." ujar kak Milah sedih. "Tenang kak! Hatiku 100% milik Cahaya! Lagipula, aku tak mudah tergoda harta kekayaan orang lain," seruku dengan riang gembira.

"Kenapa kamu bisa seyakin itu bisa mengalahkan pesona Aryo??" kak Milah kebingungan melihat reaksi aku yang penuh percaya diri

Aku pun menceritakan latar belakang ibu. Ibu keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Jambi. Ayahnya kontraktor terpandang. Suatu hari diajak sahabatnya untuk kerja ke Jakarta mengurus proyek minyak bumi. Saat itu Indonesia di tahun 1970an sedang boom ekonomi minyak bumi. 

Kakek hanya 2 bersaudara, laki semua. Seluruh keluarga beserta adik yang masih bujang, mereka hijrah ke ibukota. Sahabatnya memiliki kenalan kontraktor asal Singapura. 

Setahun pertama semua berjalan lancar dan damai. Kakek mengurus proyek pembangunan kilang minyak dan perkantoran. Hingga suatu saat harga minyak dunia naik hingga ratusan kali lipat dan semua melihat celah untuk korupsi memperkaya diri dan orang terdekat.

Kakekku sangat menghargai kejujuran dan tak bisa diajak kerja sama. Tetapi, adik yang masih bujang memiliki sifat yang berbeda. Adik kerja sama dengan sahabat baik kakek untuk menjatuhkan kakek. Kakek yang mengurus keuangan suatu hari dipaksa tanda tangan kwintasi kosong dengan alasan supaya proses pembelian kapal yang sangat dibutuhkan perusahaan bisa cepat selesai.

Kapal berhasil dibeli dengan kwintasi pembelian mencantumkan harga terbaru. Tetapi kenyataan yang datang di pelabuhan adalah kapal bekas. Pembelian pipa pun juga sama. 

Kakek sangat marah saat tahu dibodohi dan ditipu. Sahabatnya mengancam bila tak ingin dipenjara, segera pergi dari perusahaan itu. Adiknya menghilang entah kemana.

Akhirnya kakek dengan hati sedih, marah, dan kesal membawa keluarga pulang kampung. Tak disangka sesampai di Jambi seluruh orang mengatai kakek tukang korupsi. Kakek yang kesal memilih menjual harta berupa tanah dan rumah dengan harga murah lalu bawa keluarga pergi ke Semarang untuk kehidupan baru.

Ibu masih SD berusia 8 tahun. Paman baru masuk SMA. Kakek memutuskan jadi petani. Setahun di Semarang, kakek dikabari sahabat masa kecil yang berdagang kelontong di Jambi bahwa adiknya menikahi saudara sepupunya dan hidup sukses di Jakarta sebagai importir alat elektronik dan sahabat yang menipu dia memiliki perusahaan kontraktor besar di Singapura. Sahabatnya pindah Singapura karena istri asli sana. 

Kakek sekeluarga tidak menaruh dendam dan marah berlama-lama. Mereka mendoakan supaya ada pertobatan di hati manusia itu.

3 tahun kemudian, kakek mendapat kabar anak perempuan sahabatnya dibunuh suaminya yang merupakan anak teman terbaiknya gara-gara marah besar ayahnya telah ditipu mertua. Padahal saat itu istrinya baru sebulan melahirkan anak pertama mereka. Media massa Singapura dibungkam untuk tidak memberitakan kasus pembunuhan yang melibatkan anak konglomerat terbesar negeri itu. Tak lama berselang, pemerintah Singapura membekukan aset temannya lalu mengusir keluar dan memasukkan namanya ke dalam daftar hitam negara itu. Setelah itu tak ada yang tahu kabarnya.

Adiknya ternyata menikahi janda cerai dua anak. Pernikahan mereka dikarunia satu putri tapi penyakitan. Istri yang masih sering berhubungan dengan mantan suami karena masalah anak membuat kehidupan rumah tangga terasa sangat hambar. Hartanya sebagian diberi diam-diam ke mantan. 

Keluarga kakekku yang di Semarang walau hidup pas-pas, tapi bahagia sehat jasmani dan rohani. Latar belakang kakek yang dikhianati teman dan adik membuat mata ibu terbuka betapa kerja keras dengan hidup jujur dan berbuat baik itu sangat penting.

"Ibu menasehati aku dan Bulan untuk tidak terlena dengan harta. Bila harta yang didapat berasal kerja keras tanpa tipu daya maka, kita boleh ikut nikmati. Tapi kalau hasil tipu daya maka harus kita jauhi supaya anak cucu tak tertimpa kesialan, bala penyakit serta ketidakbahagiaan. Ibu melarang keras aku dan Bulan untuk menikah dengan keturunan kaya tapi memiliki latar belakang buruk. Terus jaman sekarang banyak yang bermimpi jadi pegawai negeri dengan harapan kelak 5 tahun bekerja bisa korupsi. Semakin tinggi jabatan pasti semakin makmur hidup. Mimpi seperti itu pun dilarang ibu."

"Ibumu hebat sekali. Aku kagum," mata kak Milah berbinar penuh kekaguman. "Makanya kakak tenang saja. Aku tak akan termakan pesoan Aryo yang memiliki kredibilitas sangat buruk di mata kita!" ujarku sambil nyegir lebar.

Sepertinya ini saat untuk Aryo merasakan kepahitan hidup dan sadar betapa hidupnya penuh dosa karena aku dan kak Milah sepakat kerja sama kerjaii Aryo.

Sesuai dugaan, Aryo berusaha mendekatiku. Keesokan hari dia sengaja main ke kampusku dengan alasan mau makan gado-gado favorit yang dijual di kantin kampus ini. Aku mengikuti alur permainan Aryo dengan selalu menyambut kedatangannya dengan senyum lebar.

Sabtu malam 2 minggu kemudian, aku kembali diajak makan steak enak di restoran daerah Jakarta pusat. Restoran itu terletak dalam hotel bintang lima depan bundaran HI.

Pertama kali dalam hidup aku naik mobil mewah dan makan mewah di restoran bintang lima.

"Mas, ini pertama kali aku naik mobil mewah seperti ini," ujarku ketika pintu BMW dibuka Aryo. "Enjoy! Hari ini aku punya banyak kejutan untuk kamu," balas Aryo dengan tersenyum bahagia.

Sepanjang jalan aku sibuk cerita soal Purworejo. Semua cerita merupakan hasil cetak ulang cerita Riana.

"Hari Sabtu begini biasa aku diajak paman yang tukang andong main ke candi Borobudur. Jarak rumah ke sana naik andong sekitar 1,5 jam. Jam 7 pagi setelah sarapan kami jalan. Sesampai di sana kuda diistirahatkan dan andong dibersihkan serta hias. Nanti jam 5 sore kurang, kami pulang lagi."

"Kamu ngapai seharian di sana?" tanya mas Aryo. "Aku bantu bik Nani jualan sovenir gelang batu. Bik Nani itu adik paman. Terkadang aku naik ke candi sampai puncak lalu duduk menatap keindahan alam dari sana," jawabku.

Tak terasa cerita Riana itu berhasil menghangatkan suasana dan membunuh waktu. 

"Waaah! Bundaran HI. Akhirnya aku bisa lihat langsung patung selamat datang! Katanya Monas dekat sini 'kan?!" tanyaku mengebu. "Sebelum makan mari kita lihat keindahan Jakarta. Gereja katedral juga dekat sini!" Mobil diarahkan lurus menuju Monas lalu dibelok ke arah stasiun Gambir menuju mesjid Istiqal dan gereja Katedral. 

"Wajah Jakarta dan Depok beda sekali... apalagi dibanding Purworejo sangat jauh beda," gurauku.

Setelah puas muter Jakarta pusat tiba waktu makan malam. Aku takjub melihat isi lobi hotel dan aroma wangi seisi gedung. 

"Mas, boleh ke toilet ga? Tapi ada dimana?" "Ayo bareng. Saya juga mau ke toilet," ajaknya.

Isi dan desain toilet sangat memukau. Pertama kali dalam hidup aku melihat dinding toilet batu marmer dan cermin lebar memanjang. Sungguh berasa seperti anak lulusan jaman batu kerikil.

"Mas, makan di tempat ini pasti mahal sekali. Apa sebaiknya kita pindah ke warung biasa?" bisikku setelah keluar toilet. Aryo tertawa geli. "Tenang saja saya yang traktir. Ini waktu kamu jadi tuan puteri," ujarnya lalu mencium punggung tangan kananku. "Terima kasih, mas." Aku menarik halus tangan yang telah tercium sedikit.

Aryo memesan steak sapi beserta wine merah. Aku yang belum pernah minum alkohol meminta untuk diganti jus jeruk. Aryo bilang tak masalah minum dikit. Aku nanti harus coba wine merah juga. Jus jeruk dan wine merah dipesan 2. 

Perlakuan Aryo yang istimewa ini sangat memukau hati tapi, wajah kak Milah dan nasehat ibu sudah sangat kuat tertancap di hati sehingga aku tak terpukau dengan perlakuannya. Saat menunggu pesanan datang, aku memikirkan cara dan waktu untuk menjerat Aryo hingga kapok menemuiku lagi. 

-Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun