"Mas, ini pertama kali aku naik mobil mewah seperti ini," ujarku ketika pintu BMW dibuka Aryo. "Enjoy! Hari ini aku punya banyak kejutan untuk kamu," balas Aryo dengan tersenyum bahagia.
Sepanjang jalan aku sibuk cerita soal Purworejo. Semua cerita merupakan hasil cetak ulang cerita Riana.
"Hari Sabtu begini biasa aku diajak paman yang tukang andong main ke candi Borobudur. Jarak rumah ke sana naik andong sekitar 1,5 jam. Jam 7 pagi setelah sarapan kami jalan. Sesampai di sana kuda diistirahatkan dan andong dibersihkan serta hias. Nanti jam 5 sore kurang, kami pulang lagi."
"Kamu ngapai seharian di sana?" tanya mas Aryo. "Aku bantu bik Nani jualan sovenir gelang batu. Bik Nani itu adik paman. Terkadang aku naik ke candi sampai puncak lalu duduk menatap keindahan alam dari sana," jawabku.
Tak terasa cerita Riana itu berhasil menghangatkan suasana dan membunuh waktu.Â
"Waaah! Bundaran HI. Akhirnya aku bisa lihat langsung patung selamat datang! Katanya Monas dekat sini 'kan?!" tanyaku mengebu. "Sebelum makan mari kita lihat keindahan Jakarta. Gereja katedral juga dekat sini!" Mobil diarahkan lurus menuju Monas lalu dibelok ke arah stasiun Gambir menuju mesjid Istiqal dan gereja Katedral.Â
"Wajah Jakarta dan Depok beda sekali... apalagi dibanding Purworejo sangat jauh beda," gurauku.
Setelah puas muter Jakarta pusat tiba waktu makan malam. Aku takjub melihat isi lobi hotel dan aroma wangi seisi gedung.Â
"Mas, boleh ke toilet ga? Tapi ada dimana?" "Ayo bareng. Saya juga mau ke toilet," ajaknya.
Isi dan desain toilet sangat memukau. Pertama kali dalam hidup aku melihat dinding toilet batu marmer dan cermin lebar memanjang. Sungguh berasa seperti anak lulusan jaman batu kerikil.
"Mas, makan di tempat ini pasti mahal sekali. Apa sebaiknya kita pindah ke warung biasa?" bisikku setelah keluar toilet. Aryo tertawa geli. "Tenang saja saya yang traktir. Ini waktu kamu jadi tuan puteri," ujarnya lalu mencium punggung tangan kananku. "Terima kasih, mas." Aku menarik halus tangan yang telah tercium sedikit.