Musibah terutama sakit dan penyakit bisa terjadi kapan saja dan memakan banyak biaya saat penanganannya. Kerugian besar yang bisa terjadi kapan saja itu dibeli oleh perusahaan asuransi dengan syarat dan ketentuan yang disetujui dua belah pihak.
BPJS kesehatan dibentuk tahun 2011. Sebelumnya bernama ASKES (Asuransi Kesehatan) dan tidak wajib dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat.
Kebanyakan penguna ASKES adalah pekerja beserta keluarga di lingkungan pemerintah, maka rumah sakit sakit yang bisa digunakan adalah rumah sakit pemerintah.
Tetapi, sejak BPJS Kesehatan dibentuk, seluruh lapisan masyarakat diwajibkan untuk masuk asuransi ini.
Tahun 2011 seluruh pekerja formal di Indonesia mendadak dipaksa bayar iuran BPJS Kesehatan. Saya yang saat itu bertugas mengelola administrasi keuangan perusahaan dibuat panik karena tambahan beban pengeluaran perusahaan 4% dan dimarahi pegawai karena pengurangan gaji sebesar 1% untuk biaya BPJS Kesehatan.Â
Pegawai marah karena ada pemotongan gaji untuk asuransi yang tidak memberikan manfaat sama sekali dan khawatir jaminan fasilitas asuransi kesehatan swasta dikurangi untuk tambal sulam keuangan perusahaan.
Iuran wajib yang dibayar pegawai kantor lebih tinggi dari iuran wajib pemerintah untuk kelas 1 karena hitungan mengikuti nominal gaji bulanan.Â
Bagi saya saat itu pelayanan BPJS Kesehatan seperti SKTM.Â
SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu)
Tahun 2010, salah satu sopir kantor terkena maag akut hingga usus lengket menempel dan harus dipotong. Biaya operasi potong usus dan perawatan sangat mahal hingga menghabiskan jatah biaya operasi dari asuransi swasta yang diikuti kantor.
Ketua RT tempat tinggalnya menyarankan untuk buat SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Biaya rumah sakit dan obat dijamin penuh oleh pemerintah.
Sebenarnya pekerja kantor tidak boleh meminta SKTM karena SKTM ditujukan untuk warga yang sama sekali tidak berpenghasilan atau berpenghasilan rendah.Â
Kondisi kesehatan yang sangat darurat dan kemurahan hati ketua RT, RW hingga kelurahan melancarkan upaya mendapatkan SKTM. Rumah sakit di Jakarta yang bisa menerima SKTM adalah RSCM.Â
Istrinya meminta tolong saya untuk temani ke RSCM di hari pertama mengunakan SKTM karena tidak tahu letak RSCM.
Sesampai di RSCM, saya dan istrinya sama-sama kaget melihat bangunan tua peninggalan Belanda yang kotor, bau, kumuh dan koridor menuju bagian administrasi SKTM penuh orang duduk di lantai.Â
Istrinya meminta saya untuk menunggu di ujung koridor supaya tidak ketahuan bagian administrasi bahwa suami pekerja kantoran karena penampilan saya terlihat jelas sangat beda dengan yang lain.Â
Untuk mengunakan SKTM harus bolak-balik tukang foto copy karena setiap kertas yang keluar setelah ada cap dan tanda tangan wajib dicopy.Â
Dokter penyakit dalam yang merawat beliau adalah dokter untuk semua lapisan sosial. Pagi praktek di poli SKTM dan sore di RSCM Kencana.
Saat itu RSCM Kencana, rumah sakit versi swasta RSCM baru dibuka. Biaya konsultasi beliau di RSCM Kencana sebesar Rp 500 ribu. Tapi, poli SKTM nol rupiah.Â
Saya lupa nama dokter yang merawat, tapi saya ingat betul kemurahan hati beliau karena dengan sabar dan teliti merawat sopir kantor saya.
Dokter yang tak dibayar itu rela memberikan nomor telepon pribadi supaya bisa dihubungi pasien kapan saja saat timbul masalah.Â
Biaya perawatan mengunakan SKTM ternyata tidak 100% ditanggung pemerintah. Untuk operasi, istri sopir harus bayar sendiri pisau seharga Rp 9 juta. Pisau yang setelah dipakai itu tidak dapat dijual maupun disewakan.Â
Setahun setelah masalah SKTM selesai, muncul BPJS Kesehatan. Syarat utama BPJS Kesehatan adalah harus menemui dokter puskesmas terlebih dahulu.Â
Kondisi puskesmas saat itu sama seperti poli SKTM di RSCM. Sedangkan, iuran bulanan yang dibayar pekerja formal dengan jabatan manager ke atas rata-rata sebesar Rp 300 ribu.Â
Supaya seluruh pegawai tidak stress maka, biaya BPJS Kesehatan dicatat sebagai biaya amal dari perusahaan untuk negara. Kewajiban pekerja bayar 1% diambilalih perusahaan. Hidup pun berjalan normal seperti biasa.
Beberapa karyawan ada yang iseng coba mengunakannya dan semua berakhir kapok karena antrian panjang dan jam kerja puskesmas yang pendek.Â
Tahun 2016, bapak teman baik saya terkena penyakit jantung. Masa itu rumah sakit yang melayani BPJS Kesehatan hanya milik pemerintah.
Rumah sakit dari jam 2 pagi sudah banyak orang mengantri. Bapaknya selama 3 hari tidak dapat kamar dan harus menunggu duduk di luar. Akhirnya, bapak pun meninggal.
Pelayanan BPJS Kesehatan terlihat makin membaik di tahun 2019 karena banyak rumah sakit swasta jadi rekanan.
Tapi, tetap pasien tidak bisa langsung masuk kecuali keadaan darurat dengan kondisi memenuhi kriteria BPJS Kesehatan.
Sistim tahap konsultasi yang harus dimulai dari faskes 1 yaitu puskesmas, klinik atau dokter umum rekanan kemudian lanjut ke rumah sakit tipe C atau D sungguh menyulitkan.Â
Saya setelah 10 tahun bayar iuran BPJS Kesehatan, untuk pertama kali di bulan September 2021 memanfaatkan layanan ini untuk operasi patah tulang ibu.Â
Setelah dapat surat rujukan puskesmas untuk ke rumah sakit tipe C, saya dirujuk dokter sana ke rumah sakit tipe B karena peralatan yang lebih lengkap dan kebetulan lebih dekat dari rumah.
Saat di rumah sakit tipe C ada seorang nenek harus konsultasi ke 3 dokter spesialis. Suster pun memberi saran bila ada uang lebih baik bayar pribadi karena kasihan ibu harus bolak-balik tiap hari karena BPJS Kesehatan.Â
Tindakan seperti rontgen hanya bisa 1 macam. Bila lebih dari 1 harus tunggu minggu depan saat balik kontrol.Â
Saya pernah tinggal di Jepang dan Jepang pun mewajibkan semua warga negara serta orang asing yang tinggal di sana untuk masuk asuransi kesehatan nasional. Tapi, penguna asuransi bebas memilih rumah sakit dan klinik serta jumlah dokter yang mau ditemui dalam sehari.Â
Teman saya kebangsaan Taiwan berusia 40 tahun ke atas dan sudah 2 tahun menetap di Jepang. Saat usia ke-40, menerima surat dari asuransi untuk cek kesehatan lengkap. Hasilnya dia kurang gula darah dan diharuskan dalam sebulan mencapai kadar normal. Bila target tidak tercapai harus rawat inap.Â
Sistim yang fleksible dan ketat memantau perkembangan kesehatan masyarakat membuat hidup sangat tenang dan nyaman. Dan itu merupakan tujuan utama beli dan bayar rutin produk asuransi.
Sayang pelayanan BPJS Kesehatan belum sampai ke tingkat itu. Kelamaan menunggu konsultasi dan tindakan dokter bisa menambah parah penyakit. Semakin parah penyakit makin sulit dan makan banyak biaya.Â
Ibu, setelah dapat surat rujukan ke rumah sakit tipe B, ternyata untuk operasi makan waktu sebulan karena jarak konsultasi ke 3 dokter spesialis adalah 4 hari lalu 3 hari.Â
Setelah itu hasil PCR keluar 3-5 hari. Ketika hasil keluar dokter tulang saat itu sakit sehingga pasien harus ulang PCR. Usia ibu 74 tahun dan harus menahan sakit cukup lama.
Sesama penguna BPJS Kesehatan mengatakan, "Memang kita harus banyak sabar." Dokter menyarankan untuk "Bismillah", yaitu: "Dengan nama Allah". Ujung-ujungnya hidup walau sudah berusaha memang harus berserah pada Tuhan.Â
Penguna BPJS kesehatan terutama di masa pandemi sudah terdiri dari berbagai lapisan masyarakat. Saat antri di ruang tunggu ada banyak penyintas Covid 19 yang baru pertama kali mengunakannya. Kebanyakan pekerja kantoran karena mereka rata-rata bertanya, "Apa kondisi saya membahayakan saat ngantor?"
Saya pun penyintas Covid 19 dan mengakui pelayanan BPJS untuk kami sangat cepat tanggap. Konsultasi dokter dan rontgen hingga obat bisa dilakukan dalam 1 hari.Â
Ada seorang bapak yang memiliki anak bekerja jadi dokter di rumah sakit itu. Bapak dengan sabar antri bersama penguna lainnya.
Padahal, anak bisa langsung beri rujukan ke dokter yang ingin ditemuinya, tapi beliau berkata, "Kita harus tertib. Saya pakai BPJS Kesehatan."
Kerendahan hati bapak itu patut dicontoh kita semua. Walau hingga kini pasien dan dokter banyak yang komentar "ribet berurusan dengan BPJS", namun tetap kita harus berusaha mengunakannya meskipun ada uang untuk bayar pribadi.Â
Menggunakan dan tertib membayar iuran BPJS Kesehatan berarti kita mendukung upaya pemerintah untuk menyehatkan seluruh manusia di Indonesia.Â
Merupakan tugas kita untuk jaga bersama supaya terus aktif melayani kesehatan masyarakat hingga akhir hayat pemerintahan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H