Mohon tunggu...
Miss KarHan
Miss KarHan Mohon Tunggu... Administrasi - Hanya suka menulis

"Rasa itu sastra, lalu kata ibarat mantra" -MissKarHan-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah tentang Awan-Ku (2)

12 November 2023   11:17 Diperbarui: 12 November 2023   11:25 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua : "Maaf ya nak, mata kakimu jadi biru"

Hayyyy, maaf harus nunggu 4 tahun untuk melanjutkan kisah ini...

Yang ku ingat hari itu siang bolong, entah tahun berapa dan hari apa waktu itu. Aku memang gagal mengingat detail hari, tanggal, bulan bahkan tahun saat kejadian itu. tetapi memori otakku tidak akan pernah lupa apa yang telah terjadi pada hari itu.

Mungkin bagi beberapa anak tentara yang terbiasa dengan hantaman kopel besi milik ayahnya akan biasa saja jika menerima apa yang kualami hari itu, tetapi bagiku yang tidak pernah diperlakukan kasar oleh awan merasa kejadian itu adalah hal yang sangat sulit ku percaya. Bahkan dalam seumur hidupku, bisa kuhitung berapa kali suara awan naik beberapa oktaf karena marah.

Karena awanku adalah tipe humoris, sosok ayah yang menyenangkan, jauh dari image yang orang-orang kira. Bahwa mempunyai  sosok ayah seorang prajurit pasti akan dididik dengan keras dan kasar. Tidak, awanku lembut, baik, bijaksana juga humoris.

Siang hari yang panas itu adalah waktu paling menyenangkan untuk bermain lompat tali diteras rumah asramaku yang luas. Aku, Rika dan Desi sudah asik bermain sejak pulang sekolah. Kakakku Rara sedang menonton TV didalam rumah, sedangkan Mama pergi menonton kegiatan demo masak dirumah tante Mulyadi. Tak lama, tampak motor king tangki hijau army milik awan memasuki pagar kayu rumah kami.

"Assalamu'alaikum" ucap awan kemudian turun dari motor dan menyangkutkan helm hitam di kaca spion sebelah kanan

"Wa'alaikumussalam awan" jawabku lalu menggapai tangan awan dan menciumnya

"Wa'alaikumussalam om toro" balas rika dan desi kemudian melakukan hal yang sama dengan mencium tangan awan

"om masuk dulu ya" suara awan tertengar lelah, yang ku tau awan sudah dua hari ini tidak pulang. Kata Mama ada kasus yang sedang ditangani awan dan teman-temannya. Awan memang anggota Polisi Militer Angkatan Darat atau orang-orang kenal dengan PM atau POM. PM adalah polisi di organisasi militer, yang bertugas memyelenggarakan pemeliharaan, penegakan disiplin, hukum, dan tata tertip dilingkungan militer.

Awan masuk kedalam rumah tanpa membuka sepatu bonengnya diteras rumah seperti biasa. Aku memandangi awan yang mengenakan baju loreng dengan punggung baju yang basah berlalu menghilang dibalik pintu. Awan pasti lelah sekali.

"Ayo main lagi" seru Rika membuatku kembali fokus pada tali panjang yang terbuat dari rangkaian getah karet itu.

"oke, sekarang giliranku ya" ucapku bersemangat

Setelah tiga lompatanku berhasil tanpa mengenai tali karet yang dipegang rika dan desi. Munculah kak Rara dari dalam rumah.  Mukanya masam, entah apa yang sedang merasukinya.

Ia berdiri di samping rika, sesekali mengacau menggoncang-goncangkan tali hingga hampir saja mengenai kakiku yang sedang melompat.

"kak, apaan sih ganggu aja" ucapku kesal

"biar lah, kakak nggak bisa nonton TV karena awan nggak seperti biasa" jawab kak rara tak kalah kesal

"ha ? tumben. Mungkin awan capek kak, mama bilang awan enggak tidur. Jadi mau tidur dengan puas tanpa gangguan" jelasku polos sok paling bijak

Kak rara hanya diam, ku pikir ucapanku itu bisa membuatnya berhenti mengacau. Ternyata tidak, dia semakin  usil mengganggu kami. Dan ini masih giliranku, aku tak mau kalah. Toh baru giliranku masa kalah secepat itu.

"kakaaaaakkkkkkk jangannn ganggu !!! Orang lagi main !!" aku teriak semauku, meluapkan emosi yang masih ku tahan-tahan sejak tadi. Bagaimana dengan kak rara ? dia malah tertawa besar, seperti melihat adiknya emosi adalah pengganti melihat hiburan di TV.

Tak lama, awan keluar membawa bambu panjang yang biasa digunakan untuk merubah volume dan memindahkan chanel TV jadul rumah kami. TV tabung merk lama itu tidak lagi memiki remot, tak bisa juga dibelikan remot merk apapun karena tak pernah ada remot yang cocok. Akhirnya berkat ide kreativitas awan, diambilkan bambu berdiameter 1 cm, dengan panjang sekitar 1 meter untuk digunakan sebagai alat menekan tombol-tombol TV layaknya remot. Dengan bambu itu, si tuan rumah yang sedang berbaring saat menonton TV tak perlu harus bangun saat ingin mengganti chanel atau menaikkan volume TV. Bambu itu ibarat penyambung tangan untuk menekan tombol di TV jadul itu.

"plakkkkkkkk" suara bambu yang mendarat dengan mulus dimata kakiku berbunyi keras sekali, aku kaget. Begitupun rika, desi dan kak rara. Kami semua mematung, diam. Tak percaya dengan apa yang awan lakukan.

"Rika dan desi, maaf ya mainnya nanti lagi ya" ucap awan datar pada rika dan desi

"Baik, om. Permisi" jawab desi lalu pergi dengan menarik tangan rika yang masih diam mematung tak percaya

Hatiku sakit sekali, awanku yang tak pernah sekalipun main tangan kepada kami hari ini sukses memecahkan rekor tak pernah itu kepada ku. Iya, aku putri bungsu awan. Mata kakiku yang kian membiru memang sakit, tetapi yang membuatku menangis terisak adalah karena tidakpercayaanku pada apa yang ku alami hari ini.

Kak Rara diam, Awan langsung masuk dan kembali tidur. Lalu aku ? menangis terisak sambil menahan suaraku agar tidak kembali mengganggu tidur awan. Kak rara mencoba menyentuhku

"dek, maaf. Sini kakak kompres es batu" kalimat itu terdengar bersuara getar, aku tau kak rara juga ingin menangis.

"enggak susah !" jawabku ketus, lalu masuk kerumah dan mengunci diri didalam kamar

Suara Adzan magrib terdengar membangunkan aku yang ternyata sedari tadi tertidur sebab lelah terus menangis. Aku keluar kamar dengan langgah gontai yang pincang. Mata kakiku semakin membiru bahkan sudah kehitaman.

"dek kenapa kakimu??" tanya mama panik. Aku tak menjawab, rasanya tenagaku sudah habis sebab menagis.

"dek kakak kompres es batu ya??" bujuk kak rara lagi. Dan aku kembali diam dengan wajah datar.

"Hana kenapa ra ?" introgasi mama kepada kak rara.

"itu ma, tadi kan hana, desi dan rika main lompat tali diteras. Rara ganggu, hana marah dan teriak-teriak. Sepertinya awan marah karena tidurnya terganggu, jadi awan pukul rara pakai bambu remot" jawab kak rara menunduk, air matanya jatuh. Jelas dia merasa bersalah.

Aku duduk sofa hijau ruang tamu menyaksikan isak kak rara dan wajah cemas mama. Mama dan kak rara terus membujukku untuk mau dikompres es batu. Tapi aku tetap saja diam dan terus menggeleng.

Akhirnya mama dan Kak Rara menyerah, mereka akhirnya bergantian mengambil air wudhu dan sholat. Lalu aku ? masih duduk manis di sofa hijau ruang tamu sambil terus meratapi mata kakiku yang kian membengkak dan membiru.

"Assalamu'alaikum" suara awan terdengar dari luar rumah, awan baru saat pulang menunaikan sholat berjama'ah dimasjid

"Wa'alaikumussalam" Jawab mama yang segera keluar dari kamar dengan masih menggunakan mukenah

Awan memandangku, aku jelas langsung buang muka. Awan tak bicara, langsung berjalan melewatiku lalu kemudia kembali membawa baskom, handuk dan es batu.

"Maaf ya nak, mata kakimu jadi biru" ucap awan lirih, sambil mengompres kakiku dengan handuk yang diisi es batu

Aku hanya diam dan mengangguk tak mampu berbicara, ntahlah rasanya sedih sekali mendengar kalimat itu. air mataku menggenang dipelupuk mataku, kemudian jatuh bersamaan dengan isak tangisku.

Ini bukan salah awan, ini salahku!

Selesai dikompres awan menggendongku didepan TV ruang tengah, aku mendengar perbicangan mama dan awan

"Pak, bagaimana kasus yang sedang ditangani" tanya mama terdengar hati-hati

"ya begitulah dek, masih didalami" jawab awan seadanya

Awan pasti lelah sekali, sekali lagi kejadian yang menimpaku hari itu bukanlah salah Awan. Awan hanya ingin istirahat, tidak meminta lebih. Karena awan memang tidak pernah meminta lebih pada anak-anaknya. Awan hanya marah ketika kami menunda makan dan sholat, menjaili anak orang dan bersikap tidak sopan pada orang tua.

Mata kakiku pernah membiru sebab Awan, tapi tidak dengan mata hatiku. Awan tetapkan salah satu bintang dihatiku. Bintang yang ingin selalu ku lihat sinarnya. Bintang yang sesekali pernah redup tapi tak pernah hilang sinarnya. Bintang yang menitipkan sinarnya lewat arti namaku. Aku akan terus mengingat kejadian itu, tetapi bukan sebagai keabadian "kesalahan" seorang ayah kepada anaknya, namun mengingat bahwa setiap manusia satu dan lainnya ibarat "langit" dan "awan". Langit ikhlas menerima awan yang tak selalu putih dan kadang dirudu mendung berkal-kali. Lalu awan juga memaklumi langit yang tak selalu biru dan punya waktu khusus untuk berubah gelap. Setiap manusia punya disisi lain yang kadang-kadang sulit dipercaya namun harus diterima. Menerima selayaknya sisi kita yang lain juga ingin diterima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun