Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Air, Tanah, dan Udara: Warisan yang Terancam untuk Generasi Mendatang

16 Januari 2025   17:52 Diperbarui: 16 Januari 2025   17:52 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: Medcom)

Setiap kali kita menyalakan keran air, berjalan di atas tanah, atau menghirup udara segar, pernahkah kita bertanya-tanya: apakah semua ini akan tetap ada untuk anak cucu kita? Atau justru mereka akan bertanya-tanya seperti kita bertanya tentang dinosaurus, "Apa benar, udara pernah segar tanpa polusi?"

Mari kita mulai dari air. Kita semua tahu bahwa Indonesia adalah negara maritim dengan curah hujan melimpah. Namun, ironi tak pernah habis-habisnya. Di beberapa daerah, air bersih sama langkanya dengan saldo rekening menjelang akhir bulan. Polusi limbah industri dan rumah tangga telah mengubah sungai-sungai kita menjadi pemandangan suram, lebih cocok disebut got raksasa. 

Badan Pusat Statistik mencatat bahwa sekitar 80% sungai di Indonesia telah tercemar. Jadi, bagaimana kita bisa menjamin bahwa generasi mendatang masih bisa menikmati segelas air tanpa takut keracunan?

Lalu, mari kita bicarakan tanah. Tanah adalah sumber kehidupan yang tak tergantikan. Dari sinilah padi tumbuh, dari sinilah pohon berdiri, dan dari sinilah kita belajar bahwa mencangkul itu melelahkan. Namun, tanah kita makin sakit. 

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, lebih dari 24 juta hektare lahan di Indonesia mengalami degradasi. Tanah subur yang dulu menjadi ladang harapan kini berubah menjadi lahan kritis, kalah oleh eksploitasi tak terkendali dan sampah plastik yang lebih tahan lama daripada hubungan toxic.

Udara pun tak luput dari bencana. Kita pernah bangga menyebut Indonesia sebagai paru-paru dunia, tetapi sekarang paru-paru itu seperti perokok berat: penuh asap. Kebakaran hutan, polusi kendaraan, hingga emisi industri membuat indeks kualitas udara di kota-kota besar seperti Jakarta terus memburuk. 

World Air Quality Report 2023 bahkan menempatkan Jakarta sebagai salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Bayangkan, generasi mendatang mungkin harus keluar rumah dengan masker permanen, bukan karena pandemi, tetapi karena udara tak lagi layak dihirup.

Di tengah semua ini, siapa yang salah? Mudah saja menunjuk jari ke pemerintah, perusahaan besar, atau tetangga yang membakar sampah sembarangan. 

Namun, kalau kita jujur, bukankah semua ini juga hasil dari kebiasaan kita? Berapa kali kita lupa membawa tas belanja sendiri? Berapa banyak botol plastik yang kita buang setiap minggu? Dan seberapa sering kita berpikir, "Ah, satu orang tak akan membuat perubahan"?

Tapi harapan belum sepenuhnya hilang. Ada gerakan kecil yang mulai memberi dampak besar. Generasi muda kini semakin sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Mereka turun ke jalan menuntut aksi nyata, mereka mengganti sedotan plastik dengan stainless steel (meskipun sering hilang), dan mereka mulai memahami bahwa bumi bukan warisan nenek moyang, melainkan pinjaman dari anak cucu.

Tentu, perubahan ini tak cukup tanpa dukungan kebijakan. Pemerintah dan korporasi harus bekerja sama untuk memperbaiki sistem pengelolaan sumber daya alam. Regulasi ketat terhadap limbah industri, investasi dalam energi terbarukan, dan edukasi lingkungan sejak dini adalah langkah-langkah yang mendesak.

Di atas semua itu, perubahan terbesar harus dimulai dari kita sendiri. Mulailah dari hal kecil: hemat air, kurangi sampah, tanam pohon, atau setidaknya jangan buang sampah sembarangan. Jika setiap individu melakukan sedikit, hasilnya bisa menjadi luar biasa.

Pada akhirnya, pertanyaannya sederhana: apa yang ingin kita wariskan kepada generasi mendatang? Apakah kita ingin mereka mengenang kita sebagai generasi yang merusak bumi? Ataukah kita ingin mereka bangga karena kita memilih untuk berubah?

Hidup ini bukan hanya soal hari ini, tapi juga tentang esok yang akan datang. Jangan biarkan mereka menghirup udara beracun, menapaki tanah gersang, dan meneguk air yang tercemar. Seperti kata pepatah, "Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita, kita meminjamnya dari anak cucu kita."

Jadi, mari kita rawat pinjaman ini dengan sebaik-baiknya. Karena bumi tak butuh kita, tapi kita yang membutuhkan bumi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun