Di era di mana tulisan diukur dari jumlah likes, komentar, dan share, sering kali muncul pertanyaan: untuk apa sebenarnya kita menulis? Apakah untuk mencari perhatian? Atau hanya sekadar ikut-ikutan tren?
Sebagian besar orang, mungkin termasuk Anda yang membaca ini---, terjebak dalam pola pikir bahwa karya harus sesuai selera pasar agar dianggap "bernilai." Tapi bagaimana dengan mereka yang menulis tanpa peduli angka-angka itu?
Menulis bagi saya adalah sebuah pelarian sekaligus perjalanan pulang. Ia menjadi jendela bagi emosi yang tak terucapkan, pintu bagi pikiran yang kadang terlalu penuh sesak untuk dibiarkan mengendap.Â
Bukan berarti saya tak menghargai apresiasi; tentu saja, mendapatkan tanggapan hangat adalah bonus manis. Tapi kalau itu tujuannya, apakah saya masih bisa menyebutnya passion?
Bayangkan menulis seperti menanam pohon di tengah hutan. Anda tidak tahu apakah ada orang yang akan melihat pohon itu tumbuh, apalagi menikmatinya. Tapi tetap saja, Anda menanam karena prosesnya menghadirkan kebahagiaan tersendiri.
Tulisan, seperti pohon itu, adalah warisan yang kita tinggalkan untuk siapa saja yang menemukannya nanti.
Mengapa Tidak Ikut Arus?
Jika Anda pernah mendengar istilah "menulis untuk algoritma," inilah penyakit modern yang perlahan meracuni jiwa banyak penulis.
Konten trending sering kali dianggap sebagai kompas, padahal ia hanyalah angin yang berubah arah sesuai mood pembaca.
Apakah berarti saya menolak menulis sesuatu yang sedang populer? Tidak juga. Tapi saya ingin memastikan bahwa setiap kata yang saya tulis adalah sesuatu yang benar-benar "saya", bukan bayangan pembaca.
Saya pernah mencoba mengikuti tren, menulis artikel yang, secara strategi, seharusnya menghasilkan engagement tinggi. Hasilnya?
Rasa puas yang kosong. Seperti memasak hidangan mewah tanpa mencicipinya sendiri.Â
Anda tahu apa yang lebih memuaskan daripada melihat angka di layar? Mengetahui bahwa ada orang, meskipun hanya satu, yang merasa tulisan saya memberi arti lebih dari sekadar hiburan ringan.
Siapa yang Saya Bantu dengan Menulis?
Sebenarnya, jawaban pertama dan utama adalah: saya membantu diri sendiri.
Menulis adalah terapi. Ketika pikiran saya kacau atau emosi saya meluap, menulis menjadi penenang yang tak tergantikan.
Dalam proses ini, saya menemukan banyak jawaban yang sebelumnya tak saya sadari.
Namun, ada juga kepuasan tersendiri ketika pembaca menghubungi saya dan berkata, "Tulisanmu membuatku merasa tidak sendirian."
Kalimat sederhana itu adalah pengingat bahwa meskipun saya menulis untuk diri sendiri, dampaknya bisa menjangkau orang lain.
Kita sering lupa bahwa tulisan bukan hanya milik kita setelah ia dibaca orang lain.
Seperti lagu yang memiliki makna berbeda bagi setiap pendengarnya, tulisan adalah cermin. Ia merefleksikan apa yang pembaca butuhkan, bukan hanya apa yang ingin penulis katakan.
Kegalauan Penulis
Mari kita akui, dunia penulis sering kali tak lebih glamor dari kebanyakan pekerjaan.
Saya pernah bercanda kepada teman, "Kalau menulis bisa bikin kaya, kenapa penulis novel di Indonesia lebih sering bayar sewa dengan impian?"Â Tapi di balik satire itu ada kenyataan pahit yang harus diterima: menulis adalah pekerjaan jiwa, bukan dompet.
Lalu, mengapa saya tetap menulis? Sama seperti alasan Anda tetap menyanyi di kamar mandi meski tak ada yang memberi tepuk tangan. Ada kebahagiaan kecil yang tak tergantikan di sana.
Menulis Adalah Investasi Seumur Hidup
Saya percaya bahwa menulis adalah salah satu bentuk keabadian.
Sebuah tulisan yang jujur dan tulus tidak akan kehilangan nilainya, meskipun dunia terus bergerak maju.
Dalam sejarah, banyak penulis yang baru mendapatkan pengakuan setelah mereka tiada. Tapi apakah itu tujuan utama mereka? Saya rasa tidak.
Bagi saya, menulis adalah seperti berbicara kepada masa depan. Kata-kata saya mungkin tak akan dibaca hari ini, tapi siapa tahu ada yang menemukannya 50 tahun mendatang dan merasa terhubung?
Jadi, apa yang mendorong saya terus menulis meski tanpa validasi?
Mungkin jawabannya sesederhana ini: saya menulis karena itu membuat saya hidup. Tidak lebih, tidak kurang.
Menulis bukanlah soal popularitas, melainkan keberanian untuk menjadi diri sendiri di atas kertas. Saya menulis bukan untuk dunia, tetapi jika dunia mendengarkan, itu adalah bonus.Â
Dan jika ada satu pelajaran yang ingin saya bagikan melalui tulisan ini, maka biarkanlah ini menjadi pengingat:Â
Tulislah dengan jujur. Tulislah untuk hatimu. Pada akhirnya, hanya itu yang akan bertahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H