Di era di mana tulisan diukur dari jumlah likes, komentar, dan share, sering kali muncul pertanyaan: untuk apa sebenarnya kita menulis? Apakah untuk mencari perhatian? Atau hanya sekadar ikut-ikutan tren?
Sebagian besar orang, mungkin termasuk Anda yang membaca ini---, terjebak dalam pola pikir bahwa karya harus sesuai selera pasar agar dianggap "bernilai." Tapi bagaimana dengan mereka yang menulis tanpa peduli angka-angka itu?
Menulis bagi saya adalah sebuah pelarian sekaligus perjalanan pulang. Ia menjadi jendela bagi emosi yang tak terucapkan, pintu bagi pikiran yang kadang terlalu penuh sesak untuk dibiarkan mengendap.Â
Bukan berarti saya tak menghargai apresiasi; tentu saja, mendapatkan tanggapan hangat adalah bonus manis. Tapi kalau itu tujuannya, apakah saya masih bisa menyebutnya passion?
Bayangkan menulis seperti menanam pohon di tengah hutan. Anda tidak tahu apakah ada orang yang akan melihat pohon itu tumbuh, apalagi menikmatinya. Tapi tetap saja, Anda menanam karena prosesnya menghadirkan kebahagiaan tersendiri.
Tulisan, seperti pohon itu, adalah warisan yang kita tinggalkan untuk siapa saja yang menemukannya nanti.
Mengapa Tidak Ikut Arus?
Jika Anda pernah mendengar istilah "menulis untuk algoritma," inilah penyakit modern yang perlahan meracuni jiwa banyak penulis.
Konten trending sering kali dianggap sebagai kompas, padahal ia hanyalah angin yang berubah arah sesuai mood pembaca.
Apakah berarti saya menolak menulis sesuatu yang sedang populer? Tidak juga. Tapi saya ingin memastikan bahwa setiap kata yang saya tulis adalah sesuatu yang benar-benar "saya", bukan bayangan pembaca.