Ketika seorang anak terlibat masalah, entah kenakalan di sekolah, kecanduan gawai, atau sekadar malas mandi, pertanyaan pertama yang sering muncul adalah, "Ibunya di mana, sih?" Seakan-akan setiap perilaku anak sepenuhnya tanggung jawab sang ibu, sementara peran ayah sering kali luput dari sorotan.Â
Mengapa beban ini begitu berat menimpa para ibu? Dan apa dampaknya pada mereka?
Sang Ibu di Tengah Sorotan
Figur ibu kerap dianggap sebagai poros utama dalam pengasuhan. Penelitian dari Pew Research Center menunjukkan bahwa masyarakat masih memandang ibu sebagai pengasuh utama, meskipun peran ayah semakin aktif dalam keluarga modern. Stereotip ini tak hanya menciptakan tekanan bagi ibu, tetapi juga sering kali mengabaikan peran penting ayah dalam perkembangan anak.
Dalam sebuah acara reuni keluarga, saya pernah mendengar cerita seorang sepupu yang curhat, "Anak-anak berantem, tetangga langsung nyalahin aku. Padahal ayahnya juga ada di rumah, cuma asyik otak atik motor." Kami tertawa, tapi tawa itu menyimpan kenyataan pahit tentang beban emosional yang sering tak terlihat.
Beban Tak Berbagi yang Membakar
Mengapa ibu selalu yang pertama disalahkan? Jawabannya terletak pada pandangan budaya yang mendalam. Dalam banyak masyarakat, peran ibu dianggap identik dengan pengasuhan. Ibu adalah yang mengandung, melahirkan, menyusui, hingga mengorbankan waktu tidur demi menenangkan bayi yang menangis.
Namun, dalam perjalanan ini, tekanan sosial kerap menjadi beban tambahan. Bayangkan seorang ibu yang sudah lelah mengurus rumah, bekerja, dan mendampingi anak belajar, lalu mendengar komentar seperti, "Kok anaknya nggak diajarin sopan santun, sih?" Padahal, mungkin anak itu baru saja mempelajari kata-kata kasar dari temannya di sekolah.
Di Rumah, Sekolah, atau Bahkan di Media Sosial
Tekanan ini tidak hanya datang dari lingkungan keluarga, tetapi juga merambah ke media sosial. Seorang ibu yang anaknya tertangkap kamera bermain saat pelajaran daring bisa langsung dihujani komentar pedas: "Ibunya nggak ngawasin, ya?"
Di sekolah, ibu sering kali menjadi yang pertama dipanggil saat ada masalah, seakan-akan ayah hanya "pemain cadangan." Padahal, peran pengasuhan idealnya adalah tim yang saling melengkapi. Seperti kata pepatah, "It takes a village to raise a child," tapi dalam praktiknya, ibu sering harus menjadi the whole village.
Ketika Masalah Anak Mulai Tampak
Momen ini sering kali terjadi saat anak mulai menunjukkan "tingkah" di luar norma, seperti melawan guru, malas belajar, atau kecanduan game. Saat itulah, pandangan masyarakat langsung tertuju ke ibu.
Namun, apakah adil mengaitkan seluruh perilaku anak dengan peran ibu? Sebuah studi di Journal of Family Psychology menyatakan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan memiliki dampak signifikan pada kesehatan emosional anak. Jadi, jika anak bermasalah, bukankah pertanyaannya seharusnya, "Bagaimana peran kedua orang tua dalam hal ini?"
Mengapa Ibu Selalu Disalahkan?
Ada dua alasan utama. Pertama, pandangan tradisional yang menempatkan ibu sebagai penjaga moral keluarga. Kedua, ekspektasi yang tidak realistis terhadap ibu untuk selalu "sempurna." Ibu diharapkan menjadi multitasker ulung---mendidik anak, menjaga rumah, bahkan sering kali membantu ekonomi keluarga.
Namun, kenyataan hidup tidak pernah seideal itu. Seorang teman pernah bercerita dengan nada bercanda, "Aku ini bukan supermom, aku cuma 'ibu yang masih waras.' Tapi kalau begini terus, lama-lama bisa gila juga."
Membagi Beban dan Mengubah Perspektif
Lalu, bagaimana cara kita mengatasi stigma ini? Langkah pertama adalah mengubah cara pandang kita terhadap pengasuhan. Anak adalah tanggung jawab bersama. Ayah, ibu, guru, bahkan lingkungan sekitar memiliki peran penting dalam membentuk kepribadian anak.
Langkah kedua, beri ruang kepada ibu untuk menjadi manusia biasa. Tidak ada ibu yang sempurna, dan tidak ada anak yang sempurna. Daripada menyalahkan, lebih baik kita mendukung mereka dalam menghadapi tantangan pengasuhan.
Langkah ketiga, libatkan ayah lebih aktif dalam peran pengasuhan. Ayah bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga pendidik dan pembimbing. Dengan pembagian peran yang seimbang, tekanan pada ibu bisa berkurang, dan anak mendapat figur pengasuh yang lengkap.
Menghadapi Komentar dengan Senyuman
Terkadang, cara terbaik menghadapi stigma adalah dengan humor. Bayangkan seorang ibu yang ditanya, "Kok anaknya suka marah-marah, sih?" Lalu ia menjawab, "Yah, kan nurun dari bapaknya."
Meski terdengar bercanda, jawaban ini mengingatkan kita bahwa perilaku anak tidak muncul begitu saja. Ada banyak faktor yang memengaruhinya, termasuk lingkungan dan genetik.
Menghargai Perjuangan Ibu, Tapi Jangan Lupakan Ayah
Ketika anak bermasalah, kita perlu bertanya: apa yang bisa kita lakukan untuk membantu, bukan siapa yang harus disalahkan. Ibu telah melakukan banyak hal, tetapi mereka juga membutuhkan dukungan.
Dalam kata-kata Anne Lamott,Â
"There is no way to be a perfect mother, and a million ways to be a good one."Â
Jadi, mari kita berhenti mencari kesalahan ibu dan mulai menciptakan lingkungan yang mendukung pengasuhan bersama. Sebab, seperti tim sepak bola, keluarga hanya bisa menang jika semua pemain bekerja sama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI