Pernikahan, katanya, adalah perjalanan suci dua insan menuju kebahagiaan. Namun, bagaimana jika perjalanan itu justru berubah menjadi labirin penuh konflik? Mari kita telaah studi kasus sepasang suami istri yang terjebak dalam lingkaran setan kesalahan. Si istri merasa suaminya lebih fatal dalam melukai hati, sementara sang suami bersikeras bahwa istrinyalah biang kerok keretakan rumah tangga mereka. Siapa yang benar, siapa yang salah? Atau mungkin, keduanya hanya korban dari ekspektasi dan kegagalan manusiawi?
Dalam Rumah yang Tak Lagi Menjadi Surga
Pernikahan mereka dimulai seperti dongeng. Ada cinta, tawa, dan janji manis yang berbisik, "Selamanya." Tapi rumah yang dulu menjadi surga kini hanya sekadar tempat berteduh.Â
Tak ada lagi senyum tulus, hanya percakapan dingin seperti berita cuaca. "Besok jemput anak ya." "Nasi habis. Beli sendiri." Rumah tangga mereka dijalankan "seadanya saja," seperti karyawan yang hanya menunggu jam pulang.
Ketika Cinta Berubah Menjadi Statistik
Kapan semua ini dimulai? Tentu tak ada tanggal pasti. Mungkin ketika si suami terlambat pulang untuk ke sekian kali karena "lembur," padahal pesan singkat dari rekan kerja wanita menjadi bukti tak terbantahkan. Atau mungkin ketika si istri terlalu sibuk mengurus media sosialnya, berbagi kebahagiaan semu dengan followers-nya, dan check out barang-barang di marketplace, sementara suaminya hanya mendapat keluhan tanpa henti.
Seperti statistik yang menunjukkan bahwa 58% perceraian di Indonesia terjadi karena perselingkuhan dan ketidakpercayaan, hubungan mereka perlahan berubah menjadi angka, angka yang terus memisahkan jarak emosional mereka.
Dua Orang yang Sama-sama Bersalah
Dia salah karena lupa menepati janji. Pasangannya salah karena mengungkit-ungkit setiap kesalahan. Dia salah karena terlalu sibuk bekerja. Pasangannya salah karena terlalu sibuk menuntut perhatian. Jika dosa itu dapat ditimbang, masing-masing yakin pasangannya membawa beban lebih besar.Â
Tapi tidakkah mereka sadar, beban itu saling bertumpuk, seperti dua ember bocor yang saling menyalahkan siapa yang membuat genangan air lebih besar?
Dalam kata-kata Khalil Gibran:Â
"Pernikahan adalah dua jiwa yang saling menyeimbangkan, bukan menuntut."
Kehilangan Rasa Percaya
Kepercayaan adalah fondasi setiap hubungan. Ketika ia retak, seluruh bangunan pun goyah. Mereka mulai mempertanyakan setiap langkah pasangannya. Sebuah pesan singkat saja bisa menjadi perang dunia ketiga. "Kok kamu chat sama dia?" "Kamu yang duluan bikin aku curiga!" Semua berujung pada kesimpulan yang sama: ketidakpercayaan.
Ironisnya, ketidakpercayaan itu bukan hanya kepada pasangan, tetapi juga pada diri sendiri. Mereka mulai bertanya, "Apa aku cukup baik?" atau bahkan, "Mengapa aku memilih dia?"
Sebab dan Akibat, atau Akibat yang Menyebabkan Sebab?
Ini seperti menjawab teka-teki ayam dan telur. Apa yang lebih dulu: kesalahan suami atau keluhan istri? Tidak ada jawaban pasti, karena semua itu saling berkaitan. Si istri marah karena suami tak peduli. Si suami tak peduli karena istri terus mengomel. Dan begitulah lingkaran setan berputar tanpa henti.
Namun, jika terus saling menyalahkan, bukankah itu seperti menambah bensin ke api? Dalam konflik rumah tangga, tak ada pemenang. Yang ada hanya hati yang lelah dan luka yang semakin dalam.
Mencari Jalan Keluar dari Labirin
Apakah mereka bisa keluar dari lingkaran ini? Tentu bisa, jika keduanya berhenti bermain peran sebagai korban.Â
Mengutip kata-kata inspiratif Eleanor Roosevelt:Â "No one can make you feel inferior without your consent." Jangan biarkan luka memimpin rumah tangga Anda.
Langkah pertama adalah berhenti menghitung dosa pasangan. Fokuslah pada solusi, bukan kesalahan. Komunikasi adalah kunci. Tidak perlu menunggu momen sempurna---mulailah dengan percakapan sederhana. Terkadang, "Apa kabar?" yang tulus bisa menjadi pintu menuju rekonsiliasi.
Langkah kedua adalah mencari bantuan profesional jika diperlukan. Konselor pernikahan bukan tanda kegagalan, melainkan bukti bahwa Anda peduli pada hubungan Anda.
Humor untuk Menyembuhkan Luka
Tentu saja, tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan serius. Kadang, humor menjadi jembatan yang menghubungkan hati yang retak. Bayangkan jika mereka berdebat seperti ini:
Istri: "Kamu tuh selalu lupa ulang tahunku!" Suami: "Tapi aku ingat ulang tahun Messi." Istri: "Ya ampun, Messi nggak bikin kopi buat kamu tiap pagi!"
Mungkin terdengar konyol, tapi humor sering kali menjadi pengingat bahwa hidup tak harus selalu berat.
Memilih untuk Memperbaiki, Bukan Pergi
Pada akhirnya, setiap rumah tangga adalah karya seni yang terus berkembang. Akan ada coretan yang salah, tapi itu bukan alasan untuk merobek seluruh kanvas. Mereka hanya perlu mengambil kuas dan mulai melukis ulang.
Jika Anda merasa rumah tangga Anda seperti studi kasus ini, tanyakan pada diri sendiri: Apa yang lebih penting, ego atau cinta? Karena dalam cinta sejati, pemenang bukanlah yang paling benar, tetapi yang paling bersedia berjuang.
Seperti sebuah lelucon klasik, "Pernikahan itu seperti foto grup: kita sering melihat wajah pasangan yang salah, tapi lupa bahwa kita juga mungkin keliru."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI