Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Apakah Belanja Online Termasuk Terapi?

9 Desember 2024   06:12 Diperbarui: 11 Desember 2024   15:31 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Belanja Online. (Sumber: SHUTTERSTOCK/STOKKETE via kompas.com)

Ada suatu momen saat kita merasa lelah dengan pekerjaan, tekanan sosial, atau bahkan hanya kebosanan. Ketika itu, banyak dari kita mengarahkan perhatian ke aplikasi belanja online. 

Tombol "Masukkan ke Keranjang" seolah-olah berteriak, "Aku adalah jawaban untuk semua masalahmu!" 

Tapi, apakah benar belanja online bisa disebut terapi, atau ini hanya bentuk pelarian modern yang dikemas secara elegan?

Mengapa Belanja Online Begitu Memikat?

Sebelum menjawab pertanyaan besar itu, mari kita pahami mengapa belanja online begitu menggoda. Menurut penelitian dari Harvard Business Review, berbelanja memicu pelepasan dopamin di otak kita. 

Dopamin, yang dikenal sebagai "hormon bahagia," sering kali memberikan ilusi kepuasan. Perasaan ini mirip dengan saat kita makan cokelat atau mendengar lagu favorit.

Namun, apakah kita benar-benar bahagia? Atau, seperti gula dalam teh, kebahagiaan itu hanya sementara? Misalnya, Anda membeli hoodie yang menggemaskan dengan warna lavender pastel. 

Barang datang, Anda senang selama sehari, tetapi besok Anda sadar kalau lavender tidak cocok dengan warna kulit Anda. Alhasil, hoodie itu berakhir menjadi penghuni tetap lemari.

Contoh Kehidupan Nyata: Cicilan Tanpa Akhir

Lusi (bukan nama sebenarnya) adalah pekerja kantoran berusia 28 tahun yang hidup di tengah rutinitas Jakarta yang sibuk. Saat stres melanda, Lusi selalu mengandalkan aplikasi belanja online. Menurutnya, membeli barang, meskipun hanya lip balm, memberinya rasa kendali di tengah kekacauan hidup. 

Tetapi, di balik layar, tagihan kartu kredit Lusi menggunung. Setiap malam, dia kembali merasa stres, kali ini akibat beban utang yang semakin bertambah.

Ilustrasi belanja online (e-commerce.freepik.com) 
Ilustrasi belanja online (e-commerce.freepik.com) 

Kasus Lusi adalah gambaran nyata bahwa belanja online memang memberikan efek terapi sementara, tetapi tidak menyelesaikan akar permasalahan.

Belanja Online Sebagai Terapi?

Ada istilah yang dikenal sebagai retail therapy, yang secara harfiah berarti menjadikan belanja sebagai terapi. Sebagian orang menganggapnya sebagai bentuk self-care.

Mereka mengatakan, "Aku sudah bekerja keras, aku pantas mendapat ini!" Namun, di sisi lain, psikolog menyarankan bahwa terapi sesungguhnya tidak melibatkan barang-barang fisik, melainkan melibatkan proses mendalam untuk memahami diri sendiri.

Jika belanja online dianggap sebagai terapi, mungkin ini adalah terapi instan, seperti meminum kopi sachet. Rasanya enak, tetapi tidak memberikan nutrisi. 

Psikolog Dr. Scott Bea dari Cleveland Clinic menjelaskan bahwa memanjakan diri sesekali itu wajar, tetapi mengandalkan belanja untuk mengatasi emosi negatif bisa menjadi tanda masalah yang lebih besar.

Pendekatan yang Lebih Sehat untuk Self-Care

Self-care bukan berarti selalu menghabiskan uang. Konsep ini sebenarnya adalah upaya untuk menjaga kesehatan fisik, mental, dan emosional. Misalnya:

1. Meditasi: Aplikasi gratis seperti Insight Timer bisa membantu menenangkan pikiran.

2. Olahraga: Jalan kaki di taman tidak hanya gratis tetapi juga meningkatkan endorfin.

3. Menulis Jurnal: Membuat catatan harian membantu mengidentifikasi penyebab stres.

4. Mengatur Keuangan: Jika belanja tetap menjadi pilihan, cobalah membuat anggaran khusus untuk pembelian "hiburan" agar tidak berakhir seperti Lusi.

Analogi dengan Kue Lapis

Pernahkah Anda makan kue lapis? Setiap lapisannya memberikan tekstur dan rasa berbeda, seperti kehidupan kita. 

Self-care adalah tentang membangun lapisan demi lapisan yang berkelanjutan. Belanja online mungkin adalah lapisan gula, tetapi gula saja tidak cukup untuk membuat kue yang utuh.

Kebahagiaan Bukan dari Troli Virtual

Belanja online adalah alat yang menyenangkan jika digunakan dengan bijak, tetapi jangan sampai itu menjadi jalan keluar tunggal dari masalah hidup. 

Kebahagiaan sejati tidak datang dari paket COD di depan pintu, melainkan dari bagaimana kita merawat diri dengan cara yang lebih berarti.

Jadi, saat Anda merasa ingin menekan tombol "Checkout", tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini benar-benar self-care, atau hanya pelarian sementara? Sebab, seperti kata pepatah, "Barang bisa dibeli, tetapi ketenangan hati tidak ada di katalog online."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun