Pernahkah Anda merasa geram mendengar seseorang mengetuk-ngetuk pena tanpa henti, atau suara kunyahan yang seakan tak berkesudahan? Jika ya, mungkin Anda sekilas memahami misophonia, suatu kondisi di mana suara tertentu memicu reaksi emosional yang intens, seperti kemarahan, kecemasan, atau frustrasi.
Namun, bagi penderita misophonia, ini bukan sekadar "kesal biasa." Reaksi tersebut adalah hasil dari respons neurologis yang tidak terkendali, membuat suara yang tampaknya tak berarti menjadi pemicu tekanan emosional yang nyata. Meski begitu, kondisi ini sering diabaikan atau dianggap remeh oleh banyak orang.
Mengapa Suara Sepele Jadi Masalah Besar?
Misophonia secara harfiah berarti "benci suara." Meski terkesan sederhana, akar masalahnya terletak pada otak.Â
Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Current Biology, otak penderita misophonia menunjukkan aktivitas berlebih di bagian anterior insular cortex, area yang mengelola emosi dan integrasi sensorik. Artinya, otak mereka memproses suara pemicu ini secara berlebihan, menghasilkan respons emosional yang sangat kuat.
Sebagai contoh, suara ketukan pena yang bagi sebagian orang hanya mengganggu ringan, bagi penderita bisa terasa seperti deru mesin gergaji yang mendekat tanpa henti. Sayangnya, karena suara ini adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, penderita sering kali sulit menghindarinya, membuat mereka terjebak dalam situasi yang memicu stres berulang.
Apa Saja Gejala Misophonia?
Meski belum diklasifikasikan secara resmi dalam manual kesehatan mental seperti DSM-5, misophonia memiliki ciri-ciri yang unik:
1. Reaksi Instan: Kemarahan atau frustrasi muncul seketika mendengar suara pemicu.
2. Kebutuhan Menghindar: Penderita sering menghindari situasi yang mereka tahu akan menghadirkan suara-suara tersebut.
3. Fokus Intens: Ketika suara pemicu terdengar, penderita sulit untuk fokus pada hal lain.
Respons ini bisa berkembang menjadi kecemasan sosial, di mana penderita merasa takut berada di lingkungan tertentu karena khawatir suara pemicu akan muncul.
Bayangkan Anda berada di sebuah ruangan dengan lampu yang berkedip cepat tanpa henti. Bagi sebagian orang, mungkin ini hanya gangguan kecil. Namun, bagi Anda, itu terasa seperti serangan kilat yang menyilaukan, membuat Anda tak bisa berpikir jernih.Â
Begitulah rasanya misophonia, sesuatu yang "tidak terlihat besar" oleh orang lain, tetapi memiliki dampak luar biasa bagi penderitanya.
Solusi untuk Mengelola Misophonia
Meski belum ada obat spesifik untuk misophonia, beberapa langkah bisa membantu:
Gunakan Alat Peredam Suara: Noise-cancelling headphones atau earplugs bisa menjadi teman terbaik penderita dalam menghadapi suara pemicu.
Terapi Perilaku Kognitif (CBT): CBT membantu penderita memahami dan mengelola respons emosional terhadap suara pemicu.
Latihan Relaksasi: Meditasi, yoga, atau teknik pernapasan bisa membantu mengurangi tingkat stres saat suara pemicu muncul.
Komunikasi dengan Orang Terdekat: Jelaskan kondisi ini kepada keluarga, teman, atau kolega agar mereka bisa memberikan dukungan dan pengertian.
Mengapa Penting untuk Menyadari dan Memahami
Sebagian besar penderita misophonia merasa malu atau takut dianggap aneh karena reaksi mereka terhadap suara tertentu. Ini sering membuat mereka memilih untuk diam daripada meminta pengertian dari orang lain. Sayangnya, sikap ini hanya memperburuk tekanan yang mereka rasakan.
Sebagai masyarakat, penting bagi kita untuk memahami bahwa kondisi seperti misophonia adalah nyata dan memengaruhi kehidupan seseorang dengan cara yang mungkin tidak kita sadari.Â
Dengan pendekatan empati, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi mereka yang hidup dengan kondisi ini.
Sebuah Pengingat untuk Mendengarkan dengan Hati
Misophonia adalah salah satu dari banyak pengingat bahwa setiap orang memproses dunia dengan cara yang unik. Apa yang tampak sepele bagi kita bisa menjadi gunung es bagi orang lain. Mari kita belajar mendengarkan, tidak hanya dengan telinga, tetapi juga dengan hati.
"Ketenangan tidak selalu datang dari kesunyian total, tetapi dari kemampuan kita untuk menerima dan memahami suara yang berbeda di sekitar kita."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H