Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Sistem Pendidikan Finlandia Belum Cocok untuk Indonesia?

3 Desember 2024   08:09 Diperbarui: 3 Desember 2024   08:20 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Finlandia sering disebut sebagai surga pendidikan. Negara ini mendapat pujian global berkat sistem pendidikannya yang santai, tanpa ujian berlebihan, dan fokus pada kebahagiaan siswa. 

Banyak pihak berharap Indonesia dapat mengadopsi model ini untuk memperbaiki sistem pendidikannya. Namun, harapan ini seringkali mengabaikan konteks sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat berbeda antara kedua negara. 

Alih-alih menjadi solusi instan, penerapan sistem pendidikan Finlandia di Indonesia dapat menjadi mimpi buruk jika dipaksakan tanpa analisis mendalam.

Sebelum menilai apakah sistem ini cocok, mari kita memahami bagaimana Finlandia berhasil. Negara ini dikenal dengan standar kesejahteraan sosial yang tinggi, tingkat kesenjangan ekonomi yang rendah, serta penghormatan besar terhadap pendidikan. Guru dianggap setara dengan dokter dalam hal penghargaan sosial dan gaji. 

Selain itu, populasi Finlandia yang kecil (sekitar 5,5 juta orang) memungkinkan pendekatan personal dalam pendidikan. Sekolah di Finlandia juga memiliki otonomi besar untuk menyesuaikan kurikulum sesuai kebutuhan lokal.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Dengan lebih dari 270 juta penduduk yang tersebar di ribuan pulau, sistem pendidikan kita menghadapi tantangan logistik yang luar biasa. 

Ketimpangan sosial dan ekonomi yang signifikan memperumit persoalan. Sebuah studi kasus di wilayah perdesaan NTT, misalnya, menunjukkan bahwa bahkan infrastruktur dasar seperti ruang kelas, buku pelajaran, dan tenaga pengajar yang cukup masih menjadi kemewahan. 

Bagaimana mungkin kita berbicara tentang metode pembelajaran bebas stres ketika beberapa siswa harus berjalan berjam-jam hanya untuk sampai ke sekolah?

Finlandia juga tidak menggunakan ujian nasional sebagai alat ukur utama keberhasilan siswa. Sebaliknya, fokus mereka adalah pada evaluasi formatif yang memperhatikan perkembangan individu. 

Di Indonesia, ujian nasional (meskipun telah direformasi menjadi Asesmen Nasional) tetap menjadi momok bagi siswa, guru, dan orang tua. Tekanan ini dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang sangat kompetitif dan berorientasi hasil. 

Dalam masyarakat dengan tekanan ekonomi tinggi seperti Indonesia, pendidikan sering dilihat sebagai satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan. Ini menciptakan kebutuhan akan ukuran keberhasilan yang "terlihat" seperti nilai ujian, meskipun pendekatan ini sering kali mengabaikan kemampuan individu dan pengembangan karakter.

Sistem Finlandia juga memprioritaskan keseimbangan hidup siswa. Jam belajar mereka lebih pendek, pekerjaan rumah hampir tidak ada, dan waktu bermain sangat dihargai. 

Di Indonesia, dengan kurikulum padat dan budaya "bimbel" yang merajalela, keseimbangan ini hampir tidak mungkin dicapai. Contoh yang mencolok adalah siswa di kota besar seperti Jakarta, yang sering menghabiskan waktu lebih banyak di jalan karena macet daripada di kelas. 

Bagaimana pula kita bisa mengadopsi model Finlandia ketika tekanan sosial dan ekonomi kita memaksa anak-anak belajar di luar batas mereka?

Selain itu, menjadi guru di Finlandia adalah profesi bergengsi dengan proses seleksi yang ketat. Semua guru diwajibkan memiliki gelar master di bidang pendidikan, dan mereka menerima pelatihan berkelanjutan. 

Di sini, meskipun ada upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas tenaga pengajar melalui program sertifikasi, banyak guru di daerah terpencil masih belum memenuhi standar minimum. Tantangan ini semakin diperparah oleh kurangnya pelatihan pedagogi yang relevan dan insentif yang layak.

Jika Indonesia memaksakan penerapan sistem pendidikan seperti di Finlandia, dengan fokus pada kelonggaran siswa dan mengabaikan kualitas pengajar yang belum setara, beberapa konsekuensi negatif bisa muncul:

1. Kesalahpahaman Implementasi

Sistem pendidikan Finlandia menekankan trust-based autonomy bagi siswa dan guru, yang membutuhkan pendidik berkualitas tinggi dan terlatih untuk mengarahkan proses belajar secara mandiri. Jika kualitas pengajar di Indonesia belum memadai, kelonggaran ini dapat disalahartikan sebagai kebebasan tanpa tanggung jawab, sehingga siswa menjadi kurang terarah.

2. Ketimpangan Pendidikan Meningkat

Indonesia memiliki kesenjangan besar antara daerah perkotaan dan pedesaan dalam hal fasilitas, kualitas guru, dan akses pendidikan. Sistem yang bergantung pada otonomi siswa dan guru justru berpotensi memperparah ketimpangan, karena daerah dengan sumber daya pendidikan terbatas mungkin tidak mampu mengikuti standar yang sama.

3. Penurunan Disiplin dan Motivasi

Di lingkungan dengan tingkat literasi pendidikan rendah, kelonggaran dapat menyebabkan siswa kehilangan motivasi atau menjadi kurang disiplin. Banyak siswa membutuhkan struktur yang jelas untuk belajar, sesuatu yang berlawanan dengan pendekatan fleksibel Finlandia.

4. Kekacauan Kurikulum

Indonesia saat ini masih beradaptasi dengan berbagai perubahan kurikulum. Memasukkan elemen fleksibilitas tanpa kesiapan menyeluruh dapat menyebabkan kebingungan di antara guru dan siswa. Hal ini juga dapat memperburuk masalah pengelolaan waktu belajar dan evaluasi pendidikan.

5. Peningkatan Beban Guru

Pendekatan Finlandia mensyaratkan guru yang mampu menyusun kurikulum individual dan mendampingi siswa sesuai kebutuhan mereka. Di Indonesia, dengan jumlah siswa per kelas yang sering melebihi standar ideal dan tingkat pelatihan guru yang beragam, ini dapat membebani guru, membuat mereka tidak efektif.

6. Tidak Sejalan dengan Budaya Lokal

Sistem Finlandia lahir dari budaya egaliter, di mana semua pihak memiliki hak dan tanggung jawab yang seimbang. Sebaliknya, sistem pendidikan Indonesia masih dipengaruhi oleh budaya hierarkis dan nilai tradisional, di mana guru sering menjadi figur otoritas yang harus diikuti. Perubahan drastis seperti ini bisa bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat.

7. Efek pada Nilai Akademik

Jika sistem fleksibel diterapkan tanpa pengawasan dan penyesuaian, ada risiko penurunan standar akademik. Siswa mungkin tidak terdorong untuk mencapai hasil terbaik jika merasa tidak ada penilaian atau evaluasi yang memadai.

Solusi dan Langkah Kehati-hatian
Sebelum menerapkan sistem seperti Finlandia, Indonesia perlu:

Meningkatkan Pelatihan Guru: Guru harus mendapatkan pelatihan yang komprehensif dan berkelanjutan.

Mengadaptasi Sistem Bertahap: Jangan langsung meniru sistem Finlandia, melainkan mengintegrasikan elemen-elemen yang relevan secara bertahap.

Memperhatikan Kesenjangan Infrastruktur: Memastikan setiap daerah memiliki fasilitas dan akses yang setara.

Menghormati Budaya Lokal: Menyesuaikan kebijakan dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia.

Sistem Finlandia, meski ideal di tempat asalnya, tidak bisa diterapkan mentah-mentah di Indonesia. Dibutuhkan evaluasi mendalam agar perubahan pendidikan benar-benar mendukung kemajuan siswa dan tidak justru menghambat.

Namun, ini bukan berarti kita tidak bisa belajar dari Finlandia. Sebaliknya, kita perlu menganalisis elemen mana dari sistem mereka yang dapat disesuaikan dengan konteks Indonesia. 

Misalnya, kita bisa fokus pada pelatihan guru yang lebih baik dan peningkatan kesejahteraan mereka, karena guru adalah pilar utama dalam pendidikan. Selain itu, mengurangi tekanan ujian dan memberikan fleksibilitas lebih dalam kurikulum dapat membantu siswa berkembang sesuai potensi mereka masing-masing.

Hal yang tak kalah penting adalah membangun kesadaran bahwa reformasi pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Semua pihak, termasuk orang tua, komunitas, dan sektor swasta, perlu terlibat dalam menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan mendukung. 

Dalam konteks ini, teknologi dapat menjadi jembatan untuk mengatasi beberapa kesenjangan, meskipun tetap harus diimbangi dengan akses yang merata di seluruh wilayah.

Pada akhirnya, pendidikan adalah cerminan dari masyarakat. Finlandia berhasil karena sistem mereka mencerminkan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakatnya: kesetaraan, kebebasan, dan penghargaan terhadap kebahagiaan individu. 

Sedangkan di Indonesia sendirj, sistem pendidikan kita masih berjuang untuk mencerminkan kompleksitas masyarakat kita yang multikultural dan beragam. Jika kita memaksakan adopsi sistem dari negara lain tanpa mempertimbangkan realitas lokal, kita hanya akan menciptakan kebingungan dan ketidakadilan baru.

Sebagaimana pepatah mengatakan, "Tidak ada resep yang sama untuk semua." Begitu pula dengan pendidikan. Finlandia dapat menginspirasi, tetapi jalan menuju pendidikan yang lebih baik di Indonesia harus ditemukan dengan memahami konteks kita sendiri. 

Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya tentang angka-angka di laporan, tetapi tentang membentuk manusia yang utuh---berani bermimpi, mampu berpikir kritis, dan siap menghadapi tantangan hidup dengan penuh rasa percaya diri.

"Reformasi pendidikan bukan tentang menjadi seperti orang lain, melainkan tentang menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun