Industri hiburan Korea Selatan memiliki sejarah panjang dalam memanipulasi persepsi publik. Skandal digunakan sebagai alat untuk menaikkan atau menjatuhkan popularitas artis, tergantung pada siapa yang berada di belakang layar.Â
Dalam kasus ini, terlihat jelas ada upaya untuk mereduksi BTS demi memberikan panggung yang lebih besar pada grup-grup tertentu. Dengan membesar-besarkan insiden Suga, MMA tampak berusaha menggeser perhatian publik dari esensi grup yang sebenarnya.
Peran Agensi dan Label: Mengapa Diam?
Ketika Suga dan BTS mendapat perlakuan seperti ini, pertanyaan besar muncul: di mana agensi dan label mereka? Sebagai entitas yang memiliki tanggung jawab untuk melindungi artisnya, HYBE (agensi BTS) tampak pasif.
Alih-alih mengeluarkan pernyataan tegas atau mendukung anggota mereka secara publik, respons mereka cenderung lamban dan setengah hati. Hal ini membuat banyak ARMY bertanya-tanya, apakah agensi benar-benar peduli pada artisnya atau hanya pada keuntungan yang dihasilkan?
Pendekatan pasif ini berisiko merusak hubungan antara agensi dan penggemar. ARMY, yang selama ini menjadi benteng perlindungan BTS, merasa dikhianati oleh kurangnya dukungan terhadap Suga.Â
Ketika agensi tidak mengambil langkah tegas untuk melindungi artisnya, penggemar merasa harus mengambil peran itu sendiri. Hasilnya adalah serangkaian kampanye media sosial seperti tagar #BTS_IS_7 yang bertujuan mengingatkan dunia bahwa BTS bukanlah BTS tanpa Suga.
Apa yang Harus Dipelajari dari Kasus Ini?
Kasus ini adalah cerminan dari masalah yang lebih besar dalam industri hiburan: dehumanisasi artis demi keuntungan dan manipulasi citra publik. Artis sering kali dipandang sebagai produk yang dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan pasar, bukan sebagai individu dengan emosi, perjuangan, dan kesalahan manusiawi.Â
Ketika insiden seperti ini terjadi, penting bagi publik untuk mempertanyakan narasi yang disajikan oleh media dan pihak-pihak berkepentingan.
Kita juga perlu menyoroti betapa pentingnya pengampunan dalam konteks ini. Suga telah mengakui kesalahannya dan menghadapi konsekuensi atas tindakannya. Tetapi apakah adil untuk terus menyerangnya tanpa henti, sementara kasus-kasus lain yang lebih serius justru diabaikan?Â