Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

Empati di Era AI: Apakah Hati Manusia Masih Dibutuhkan?

28 November 2024   12:00 Diperbarui: 28 November 2024   13:59 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Interaksi manusia dengan teknologi (sumber: techno.okezone.com) 

Namun, ada sisi gelapnya. Ketika teknologi mulai lebih nyaman daripada manusia, hubungan antar-manusia bisa mulai goyah. Kita jadi malas menghadapi konflik nyata, memilih teknologi karena lebih sederhana. Kita lupa bahwa hubungan manusiawi tidak hanya soal kenyamanan, tapi juga soal belajar berempati satu sama lain. 

Ilustrasi: Interaksi manusia dengan teknologi (sumber: techno.okezone.com) 
Ilustrasi: Interaksi manusia dengan teknologi (sumber: techno.okezone.com) 

Konflik dan rasa tidak nyaman justru yang membuat hubungan jadi lebih bermakna.

Bayangkan jika kita terlalu bergantung pada AI untuk memenuhi kebutuhan emosional kita. Apakah itu berarti kita tidak lagi butuh manusia? Jawabannya mungkin tidak sesederhana itu. 

Meski AI bisa meniru empati, ada sesuatu yang tidak bisa mereka gantikan: koneksi jiwa. Sebuah teknologi tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya berjuang, gagal, dan bangkit lagi seperti manusia. Empati mereka adalah data; empati kita adalah pengalaman hidup.

Tapi, apa jadinya kalau AI semakin pintar dan bisa mempelajari “emosi” dari interaksi dengan manusia? Di sinilah dilema besar muncul. Ketika AI mulai terlihat memiliki empati, akankah kita tetap memandangnya sebagai alat, atau justru sebagai teman sejati?

Mungkin di masa depan, kita akan melihat robot-robot yang tidak hanya membantu mencuci piring, tapi juga menemani kita melewati malam-malam sulit. Mereka tidak akan protes saat Anda cerita masalah yang sama berulang kali, tidak akan menghakimi pilihan hidup Anda, dan bahkan mungkin akan bilang, “Aku di sini untukmu.”

Namun, itu juga yang membuat hubungan ini jadi kosong. Kita nyaman karena teknologi tidak menuntut apa-apa dari kita. Tapi, bukankah keindahan hubungan manusia justru terletak pada tuntutan-tuntutan kecil itu? Pada kenyataan bahwa cinta dan empati butuh usaha, pengorbanan, dan terkadang air mata?

AI tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dikhianati, kehilangan, atau mencintai dengan sepenuh hati. Mereka bisa mempelajari pola, tapi tidak bisa mengalami makna. 

Inilah yang membuat manusia tetap unik. Kita bisa merasa sakit hati, tapi kita juga bisa menciptakan keindahan dari rasa sakit itu. Lagu-lagu, puisi, bahkan lelucon receh yang muncul dari patah hati adalah hal yang tidak akan pernah bisa diciptakan oleh AI.

Mungkin suatu hari nanti, teknologi akan menjadi teman yang sempurna. Tapi, apakah kita mau menukar hubungan manusiawi kita dengan sesuatu yang hanya terlihat sempurna? Atau, justru kita akan belajar dari teknologi bagaimana menjadi lebih manusiawi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun