Kamu tahu kan istilah coping mechanism? Itu, cara kita mengatasi stres atau tekanan hidup yang bikin kepala rasanya mau meledak seperti ketel uap. Tapi, belakangan ini, kok rasanya istilah itu sering banget jadi alasan untuk, yah... mari kita bilang, "perilaku yang nggak bijak tapi menyenangkan." Belanja impulsif gara-gara gajian mepet? "Aku butuh ini buat stress relief." Pesan bubble tea besar lengkap dengan ekstra topping setiap hari? "Minum manis-manis biar hati nggak pahit." Tidur 12 jam nonstop waktu deadline menumpuk? "Self-care is important, kan?"
Padahal, jujur aja, ini bukan coping mechanism. Ini excuse. Dalih. Cara elegan untuk menutupi kenyataan kalau sebenarnya kita lagi kabur dari masalah, bukan menyelesaikannya.Â
Tapi siapa yang mau mengakui itu? Jauh lebih enak bilang, "Aku lagi self-healing," sambil checkout keranjang belanja penuh diskon Shopee 11.11, daripada ngaku kalau kita lagi impulsif karena emosi nggak stabil.
Coba pikir lagi. Coping mechanism sejati itu harusnya bikin hidup kita lebih baik, lebih tenang, dan lebih terkendali. Misalnya, yoga, meditasi, journaling, ngobrol sama teman dekat, atau terapi.Â
Namun kalau coping kamu malah bikin tagihan kartu kredit meledak atau bikin kamu nangis di depan timbangan karena berat badan naik 5 kilo dalam sebulan, apakah itu benar-benar coping atau cuma pelarian?
Kita ambil contoh sederhana: belanja impulsif. Katanya, habis checkout 10 item diskonan, hati langsung plong. Tapi, kenyataannya, kepuasan itu hanya sementara. Setelah paket datang dan uang di rekening makin tipis, kamu mulai stres lagi. Dan siklusnya terulang. Begitu seterusnya, sampai akhirnya kamu bingung kenapa di rumahmu ada tiga set panci yang nggak pernah dipakai dan sepatu hak tinggi yang masih segel padahal kerja kamu cuma WFH.
Lalu ada juga fenomena binge eating. Awalnya, kamu cuma niat menghibur diri dengan satu potong cokelat. Tapi tiba-tiba, tanpa sadar, kamu sudah menghabiskan satu loyang brownies, dua bungkus keripik, dan setengah liter es krim. Alasannya? "Aku perlu ini biar nggak stres." Hasilnya? Bukan cuma stres makin parah, tapi perut kamu juga ikutan menjerit. Lalu, di tengah malam, kamu buka Google dan mulai ngetik, "cara cepat diet tanpa olahraga."
Yang paling berbahaya dari semua ini adalah pembenaran yang terus-menerus. Kita meyakinkan diri kalau ini adalah coping mechanism, padahal dalam hati kecil kita tahu itu hanya excuse.Â
Kita nggak benar-benar mencari solusi untuk stres atau masalah hidup, tapi malah menumpuk masalah baru. Seperti orang yang mengatasi rumah berantakan dengan cara menumpuk semua barang di gudang. Dari luar kelihatan rapi, tapi di dalamnya? Chaos total.
Tapi tunggu dulu, aku nggak bilang kita harus hidup sempurna atau selalu punya coping mechanism yang sehat. Hidup itu memang kadang berat, dan kita butuh hiburan untuk bertahan. Tapi ada perbedaan besar antara "memberi ruang untuk diri sendiri" dan "menghancurkan diri secara perlahan dengan dalih coping."Â
Kalau kamu menyadari bahwa kebiasaan coping-mu justru menambah stres, mungkin sudah saatnya untuk berhenti dan mengevaluasi ulang.
Kadang, solusinya sesederhana mengubah perspektif. Misalnya, daripada belanja impulsif, kenapa nggak mencoba menabung dan pakai uang itu untuk sesuatu yang lebih bermakna, seperti liburan atau kursus baru? Daripada binge eating, kenapa nggak mencoba masak makanan sehat yang tetap enak? Daripada binge-watching serial Netflix sampai subuh, kenapa nggak tidur cukup dan bangun pagi untuk jalan-jalan ringan?
Ini semua tentang keseimbangan. Coping mechanism yang sehat bukan berarti kamu harus jadi orang paling produktif atau disiplin sejagat. Itu hanya berarti kamu mengambil langkah-langkah kecil untuk menghadapi stres tanpa merusak hidupmu sendiri. Dan, ya, kadang itu berarti berkata tidak pada godaan diskon besar-besaran atau milk tea ukuran jumbo.
Lalu, bagaimana kalau kita sudah terjebak di siklus ini? Tenang, kamu nggak sendirian. Kita semua pernah ada di sana. Yang penting adalah menyadari pola itu dan mulai pelan-pelan mengubahnya. Kalau perlu, minta bantuan orang lain, entah itu teman, keluarga, atau profesional. Dan, hei, nggak ada salahnya juga untuk tetap menikmati hal-hal kecil sesekali, asal tidak berlebihan.
Karena pada akhirnya, coping mechanism yang sejati adalah tentang menemukan cara untuk berdamai dengan diri sendiri dan dunia di sekitar kita. Bukan dengan pelarian, tapi dengan penerimaan dan usaha untuk terus bertumbuh. Jadi, yuk, mari kita lebih jujur pada diri sendiri. Apakah ini benar-benar cara untuk menghadapi stres, atau cuma alasan untuk tidak menghadapi masalah sebenarnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H