Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Coping Mechanism atau Cuma Alasan? Mari Bedah Self Justification

24 November 2024   18:15 Diperbarui: 24 November 2024   18:18 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamu tahu kan istilah coping mechanism? Itu, cara kita mengatasi stres atau tekanan hidup yang bikin kepala rasanya mau meledak seperti ketel uap. Tapi, belakangan ini, kok rasanya istilah itu sering banget jadi alasan untuk, yah... mari kita bilang, "perilaku yang nggak bijak tapi menyenangkan." Belanja impulsif gara-gara gajian mepet? "Aku butuh ini buat stress relief." Pesan bubble tea besar lengkap dengan ekstra topping setiap hari? "Minum manis-manis biar hati nggak pahit." Tidur 12 jam nonstop waktu deadline menumpuk? "Self-care is important, kan?"

Padahal, jujur aja, ini bukan coping mechanism. Ini excuse. Dalih. Cara elegan untuk menutupi kenyataan kalau sebenarnya kita lagi kabur dari masalah, bukan menyelesaikannya. 

Tapi siapa yang mau mengakui itu? Jauh lebih enak bilang, "Aku lagi self-healing," sambil checkout keranjang belanja penuh diskon Shopee 11.11, daripada ngaku kalau kita lagi impulsif karena emosi nggak stabil.

Coba pikir lagi. Coping mechanism sejati itu harusnya bikin hidup kita lebih baik, lebih tenang, dan lebih terkendali. Misalnya, yoga, meditasi, journaling, ngobrol sama teman dekat, atau terapi. 

Namun kalau coping kamu malah bikin tagihan kartu kredit meledak atau bikin kamu nangis di depan timbangan karena berat badan naik 5 kilo dalam sebulan, apakah itu benar-benar coping atau cuma pelarian?

Kita ambil contoh sederhana: belanja impulsif. Katanya, habis checkout 10 item diskonan, hati langsung plong. Tapi, kenyataannya, kepuasan itu hanya sementara. Setelah paket datang dan uang di rekening makin tipis, kamu mulai stres lagi. Dan siklusnya terulang. Begitu seterusnya, sampai akhirnya kamu bingung kenapa di rumahmu ada tiga set panci yang nggak pernah dipakai dan sepatu hak tinggi yang masih segel padahal kerja kamu cuma WFH.

Lalu ada juga fenomena binge eating. Awalnya, kamu cuma niat menghibur diri dengan satu potong cokelat. Tapi tiba-tiba, tanpa sadar, kamu sudah menghabiskan satu loyang brownies, dua bungkus keripik, dan setengah liter es krim. Alasannya? "Aku perlu ini biar nggak stres." Hasilnya? Bukan cuma stres makin parah, tapi perut kamu juga ikutan menjerit. Lalu, di tengah malam, kamu buka Google dan mulai ngetik, "cara cepat diet tanpa olahraga."

Yang paling berbahaya dari semua ini adalah pembenaran yang terus-menerus. Kita meyakinkan diri kalau ini adalah coping mechanism, padahal dalam hati kecil kita tahu itu hanya excuse. 

Kita nggak benar-benar mencari solusi untuk stres atau masalah hidup, tapi malah menumpuk masalah baru. Seperti orang yang mengatasi rumah berantakan dengan cara menumpuk semua barang di gudang. Dari luar kelihatan rapi, tapi di dalamnya? Chaos total.

Tapi tunggu dulu, aku nggak bilang kita harus hidup sempurna atau selalu punya coping mechanism yang sehat. Hidup itu memang kadang berat, dan kita butuh hiburan untuk bertahan. Tapi ada perbedaan besar antara "memberi ruang untuk diri sendiri" dan "menghancurkan diri secara perlahan dengan dalih coping." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun