Perubahan pendekatan dalam terapi dan konseling sudah bukan topik baru, tapi akhir-akhir ini, rasanya tren ini makin menggelitik.
 Kenapa begitu? Bayangkan seorang psikolog dan pasiennya berkomunikasi bukan di ruang beraroma lavender dengan sofa empuk, tapi lewat layar gawai yang tiba-tiba freeze saat sesi klimaks. Ada momen-momen kikuk yang tadinya hanya dimiliki oleh pertemuan keluarga via Zoom. Sekarang, psikolog pun mengalaminya.
Penggunaan teknologi dalam layanan terapi jarak jauh alias online counseling berkembang pesat, seperti bakwan di penggorengan yang baru dicemplungin---panas dan menari-nari di permukaan. Wabah COVID-19 yang menyapa kita semua pada awal dekade ini seakan menjadi kartu VIP yang mempercepat tren ini.
 Orang-orang yang sebelumnya hanya tahu aplikasi video call untuk keperluan rapat kerja tiba-tiba harus akrab menggunakannya untuk curhat tentang masalah hidup mereka kepada terapis. Bahkan mereka yang selama ini skeptis pun, mulai dari generasi baby boomers sampai generasi Z, harus mengakui: terapi daring itu ada manfaatnya.
Namun, seperti semua yang serba daring, ada tantangannya. Kita bicara soal privacy yang, kalau salah kelola, bisa jadi lebih bocor daripada rahasia kerajaan di drama-drama Netflix. Serangan siber dan kebocoran data adalah kekhawatiran yang nyata. Bayangkan saja kalau sesi terapi yang seharusnya penuh dengan air mata dan pengakuan dosa tiba-tiba bocor ke internet dan jadi trending di Twitter. Nah lho!
Selain soal keamanan data, ada hal yang tidak kalah penting: koneksi internet. Di kota besar mungkin ini bukan masalah besar, kecuali tetangga Anda sedang rajin mengunduh film 4K sepanjang hari.Â
Tapi di daerah yang koneksinya masih ala kadarnya, sesi terapi yang putus-putus mungkin lebih menguras emosi daripada masalah hidup yang sedang dibahas. Tidak ada yang lebih mengesalkan selain momen penting---"Saya sebenarnya merasa... eh... halo? Mbak Terapis?"---terhenti gara-gara sinyal yang hilang entah ke mana.
Lalu, ada soal vibe alias suasana. Meskipun terapi daring memudahkan kita untuk curhat sambil memakai piyama dan menyesap kopi di ruang tamu sendiri, terapi semacam ini juga kehilangan sedikit magisnya. Terapis tidak bisa merasakan bahasa tubuh yang lengkap, ketukan jari di kursi, atau tatapan kosong penuh makna yang terkadang muncul saat pasien sedang merenung berat.Â
Sebaliknya, pasien juga mungkin merasa tidak cukup terhubung secara emosional. Kontak mata yang tulus dari seorang terapis di balik layar rasanya beda kalau dibandingkan dengan melihat langsung wajahnya yang mengangguk penuh empati.
Namun, jangan salah. Ada juga kelebihan yang tak bisa diabaikan. Terapi jarak jauh telah menjadi penyelamat bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil, jauh dari klinik atau rumah sakit yang menyediakan layanan konseling. Teknologi membuat sesi ini lebih inklusif dan fleksibel. Anda bisa curhat di sela-sela istirahat makan siang atau setelah anak-anak tidur. Efisien? Sangat.
Namun, teknologi kadang bisa jadi pedang bermata dua. Saking fleksibelnya, kadang justru bisa membuat terapi terasa kurang serius, seperti sesi obrolan biasa yang bisa ditunda kapan saja. Ini adalah tantangan baru bagi para terapis yang harus memastikan pasien tetap menganggap sesi daring ini serius dan konsisten.
Jangan lupakan juga masalah digital fatigue, atau kelelahan akibat terus-menerus terhubung dengan layar. Setelah seharian bekerja di depan komputer, menghadap layar lagi untuk sesi terapi bisa terasa seperti menambahkan lapisan kelelahan baru. Apalagi jika terapis mencoba menyuntikkan humor atau empati lewat teks chat karena sesi video tidak memungkinkan. Ya, humor via teks memang menggemaskan, tapi kalau di situasi terapi? Rasanya, efeknya tak semendalam senyuman empati yang tersirat di dunia nyata.
Tentu, teknologi juga memberikan peluang yang belum pernah ada sebelumnya. Berbagai aplikasi terapi mandiri berbasis AI mulai bermunculan, menawarkan sesi konseling tanpa jadwal tetap, tanpa perlu menyesuaikan waktu terapis. Namun, di sinilah muncul pertanyaan: bisa kah chatbot dengan suara selembut sutra menggantikan kehangatan empati manusia? Jawabannya cenderung masih 'belum'. Meski AI ini pintar, pemahaman emosional mendalamnya belum bisa menyaingi manusia, setidaknya belum di 2024 ini.
Pada akhirnya, teknologi dalam terapi mental adalah seperti pisau Swiss Army: multifungsi tapi harus digunakan dengan cermat.
 Fleksibilitasnya mempermudah akses, terutama bagi mereka yang mungkin malu atau kesulitan datang langsung. Namun, tantangan-tantangan seperti koneksi internet, hilangnya elemen non-verbal, hingga keamanan data harus dihadapi dengan serius.
Sebagai masyarakat modern yang suka multitasking, penting untuk tetap menjaga kualitas sesi dan merawat aspek-aspek manusiawi dalam terapi. Para terapis dan pasien di era ini dihadapkan pada pertanyaan: bagaimana menjaga keintiman dan efektivitas terapi dalam dunia yang makin digital?
 Jawabannya mungkin bukan di satu sisi saja, tapi di keseimbangan antara kemajuan teknologi dan pendekatan konvensional yang sudah teruji waktu. Kalau terapi online ini adalah masa depan, maka kita harus pastikan itu masa depan yang tidak hanya cepat, tapi juga penuh makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H