Namun, teknologi kadang bisa jadi pedang bermata dua. Saking fleksibelnya, kadang justru bisa membuat terapi terasa kurang serius, seperti sesi obrolan biasa yang bisa ditunda kapan saja. Ini adalah tantangan baru bagi para terapis yang harus memastikan pasien tetap menganggap sesi daring ini serius dan konsisten.
Jangan lupakan juga masalah digital fatigue, atau kelelahan akibat terus-menerus terhubung dengan layar. Setelah seharian bekerja di depan komputer, menghadap layar lagi untuk sesi terapi bisa terasa seperti menambahkan lapisan kelelahan baru. Apalagi jika terapis mencoba menyuntikkan humor atau empati lewat teks chat karena sesi video tidak memungkinkan. Ya, humor via teks memang menggemaskan, tapi kalau di situasi terapi? Rasanya, efeknya tak semendalam senyuman empati yang tersirat di dunia nyata.
Tentu, teknologi juga memberikan peluang yang belum pernah ada sebelumnya. Berbagai aplikasi terapi mandiri berbasis AI mulai bermunculan, menawarkan sesi konseling tanpa jadwal tetap, tanpa perlu menyesuaikan waktu terapis. Namun, di sinilah muncul pertanyaan: bisa kah chatbot dengan suara selembut sutra menggantikan kehangatan empati manusia? Jawabannya cenderung masih 'belum'. Meski AI ini pintar, pemahaman emosional mendalamnya belum bisa menyaingi manusia, setidaknya belum di 2024 ini.
Pada akhirnya, teknologi dalam terapi mental adalah seperti pisau Swiss Army: multifungsi tapi harus digunakan dengan cermat.
 Fleksibilitasnya mempermudah akses, terutama bagi mereka yang mungkin malu atau kesulitan datang langsung. Namun, tantangan-tantangan seperti koneksi internet, hilangnya elemen non-verbal, hingga keamanan data harus dihadapi dengan serius.
Sebagai masyarakat modern yang suka multitasking, penting untuk tetap menjaga kualitas sesi dan merawat aspek-aspek manusiawi dalam terapi. Para terapis dan pasien di era ini dihadapkan pada pertanyaan: bagaimana menjaga keintiman dan efektivitas terapi dalam dunia yang makin digital?
 Jawabannya mungkin bukan di satu sisi saja, tapi di keseimbangan antara kemajuan teknologi dan pendekatan konvensional yang sudah teruji waktu. Kalau terapi online ini adalah masa depan, maka kita harus pastikan itu masa depan yang tidak hanya cepat, tapi juga penuh makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H