Ada masa ketika nonton drama Korea hanyalah hobi ringan. Sekarang? Ini sudah seperti ritual hidup yang tak terpisahkan. Dari pekerja kantoran, ibu rumah tangga, mahasiswa, hingga abang gojek yang diam-diam menonton saat menunggu orderan, semuanya larut dalam drama penuh cinta, dendam keluarga, atau plot balas dendam yang dikemas dengan wajah tampan dan cantik para aktor.Â
Tak bisa dipungkiri, drama Korea kini telah menjelma menjadi bagian dari keseharian. Namun, di balik senyum memikat Kim Seon Ho dan pesona Han So Hee, ada satu dilema: bagaimana sesuatu yang menyenangkan bisa menjadi sumber stres berkepanjangan?
Pertama-tama, mari kita bicara soal ekspektasi. Drama Korea punya resep ampuh yang membuat penonton terbuai. Mulai dari cowok dingin dengan hati emas, hingga cewek ceria yang tiba-tiba jadi idola sekolah berkat pertemuannya dengan pewaris chaebol.Â
Sayangnya, dunia nyata tidak seindah itu. Bukannya pewaris perusahaan kaya, yang ada malah tetangga yang berisik dan suka karaokean tengah malam. Ekspektasi yang dibangun dari drama ini kadang merembet ke kehidupan sehari-hari, membuat kita berharap bahwa suatu hari kita akan bertemu dengan sosok ideal seperti Ahn Hyo Seop atau Ji Chang Wook.
Dan di sinilah letak bahayanya. Pecinta drama Korea sering kali terjebak dalam 'second lead syndrome'. Sindrom di mana kita jadi lebih jatuh cinta pada karakter pendukung yang biasanya tipe baik hati, selalu ada untuk tokoh utama, namun sayangnya tak pernah mendapatkan balasan cinta. Sebut saja sosok seperti Hwang In Yeop yang mencuri hati penonton di berbagai drama. Kita tahu dia takkan berakhir dengan pemeran utama wanita, namun entah kenapa hati ini tetap ngotot mendukungnya.Â
Akibatnya? Zona stres mulai terbentuk. Kita ikut merasakan kecewa setiap kali karakter itu terluka. Ada penonton yang saking terhanyutnya sampai meratapi nasib second lead seolah-olah meratapi kisah cinta pribadi yang tak kesampaian.
Lebih parah lagi, second lead syndrome ini bisa menjalar ke kehidupan nyata. Tiba-tiba standar kita jadi lebih tinggi. Kita mencari pasangan yang penuh perhatian, yang rela menjemput di tengah hujan deras sambil tersenyum seperti dalam adegan drama.Â
Ketika kenyataan berbicara lain, yaitu pasangan yang lebih sibuk dengan HP-nya daripada mendengarkan cerita kita, mulailah kita mempertanyakan, "Di mana para cowok baik hati ala second lead itu?" Padahal, mereka mungkin hanya ada di skenario yang sudah diatur sedemikian rupa oleh penulis naskah.
Kemudian ada plot twist, elemen yang membuat drama Korea begitu menegangkan dan membuat penonton penasaran. Mulai dari amnesia mendadak, kemunculan kembaran yang hilang, hingga kenyataan bahwa pacar sang tokoh utama ternyata alien dari planet lain.Â
Sensasi menonton drama dengan plot twist tak terduga ini memang menghibur, tapi juga bisa bikin emosi naik turun. Apalagi ketika kita sudah berjanji pada diri sendiri, "Oke, ini episode terakhir sebelum tidur." Lima jam kemudian, mata sudah setengah tertutup, tapi tangan masih sibuk mencari episode berikutnya.
Maraton drama Korea membuat istilah scroll TikTok jadi terlihat sepele. Dampaknya mulai terasa ketika jam tidur berkurang dan tubuh mulai protes. Besok paginya, saat kita bangun dengan mata merah dan kantong mata yang bengkak, menghadapi realitas bagaikan tantangan yang diatur penulis skenario drama, lengkap dengan plot yang memaksa kita untuk bertahan. Emosi lebih gampang tersulut, dan semua orang di kantor mendadak terlihat seperti tokoh antagonis yang mencoba mengacaukan hidup kita. Sebuah email sederhana bisa terasa seperti tantangan hidup.
Tetapi di sinilah paradoksnya, meskipun drama Korea bisa menguras energi dan kadang bikin stres, tetap saja, banyak yang tidak bisa berhenti menontonnya. Kenapa? Karena drama Korea adalah pelarian yang sempurna dari kenyataan. Mereka memberi ruang bagi kita untuk bermimpi, bahkan jika impian itu tak masuk akal sekalipun. Kita berharap bahwa suatu hari ada seseorang seperti Nam Joo Hyuk yang tiba-tiba muncul dalam hidup kita, atau ada drama romantis yang menunggu di tikungan jalan.
Namun, ketika obsesi ini tidak dikontrol, hal ini bisa memengaruhi kesehatan mental. Menonton drama Korea tanpa henti bisa membuat kita terlalu banyak membandingkan hidup nyata dengan kisah fiksi. Kita lupa bahwa drama dirancang untuk menghibur, bukan sebagai standar kehidupan. Ini seperti membandingkan foto selfie di media sosial dengan realitas pagi hari setelah bangun tidur. Tidak ada yang seindah itu tanpa filter dan editing.
Solusinya? Sederhana, tetapi tidak mudah. Batasi waktu nonton. Pastikan ada jeda di mana kita mengingat bahwa hidup tidak selalu penuh dengan soundtrack dan hujan deras yang romantis. Ada kalanya momen terbaik justru datang dalam bentuk sederhana: ngobrol dengan teman, minum kopi di pagi hari, atau menemukan promo diskon di minimarket.
Jadi, meski drama Korea memang bisa membuat kita tersenyum, menangis, dan tertawa dalam satu malam, jangan sampai kita terjebak dalam dilema ekspektasi yang tak realistis. Ingat, kisah kita tetaplah milik kita, dengan segala kekurangannya. Lagipula, siapa tahu, plot twist hidup kita mungkin akan lebih mengejutkan daripada episode terakhir drama manapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H