Mari kita bicara tentang grup WhatsApp keluarga, fenomena yang pasti dikenal akrab bagi banyak orang. Seperti lubang hitam di luar angkasa, grup ini punya kekuatan gravitasi yang aneh---semakin lama kita di dalamnya, semakin susah untuk keluar. Terlebih lagi, kita terjebak di sana tanpa pilihan, terikat oleh ikatan darah dan rasa sungkan. Kadang rasanya seperti terperangkap di kamar gelap dengan lampu yang berkedip-kedip, tetapi keluar juga tidak bisa, karena takut dicap "nggak hormat sama keluarga."
Episode Pesan Tak Penting dan Stiker Tanpa Henti
Yang paling bikin frustasi adalah pesan-pesan tak penting yang seolah tidak ada habisnya. Pagi-pagi kita buka WhatsApp, sudah ada 57 notifikasi. Awalnya, mungkin kita kira ada berita penting atau pesan genting dari anggota keluarga, tapi begitu buka? Hanya ada "Selamat pagi," yang dikirim oleh sepupu yang entah sejak kapan menjadi "morning person." Diikuti oleh balasan-balasan seperti "Amin," "Sehat-sehat semua," dan tentunya stiker-stiker menggemaskan atau foto bunga yang diambil dari Google. Serius, siapa yang butuh sebanyak ini pesan untuk menyambut hari baru?
Dan jangan lupa stiker! Dari yang lucu, kocak, sampai yang bikin kita bertanya, "Stiker ini siapa yang buat, sih?" Seiring berjalannya waktu, kita semakin bingung karena tiap harinya ada saja koleksi stiker baru yang masuk. Bahkan mungkin, orang-orang di grup WhatsApp keluarga lebih rajin bikin atau download stiker daripada posting sesuatu yang bermanfaat.
Debat Gambar-gambar Meme: Keluarga Paling Hebat Sedunia?
Lalu, ada pula ritual berbagi gambar-gambar meme yang sudah pasti pernah kita lihat di grup lain, atau lebih parahnya---meme-meme itu sudah dari zaman BBM masih berjaya. Dari gambar kartun sampai tokoh-tokoh agama yang diedit dengan kata-kata motivasi yang sok inspiratif. Uniknya, dalam grup keluarga, gambar-gambar ini selalu mendapatkan apresiasi tinggi. Jangan kaget kalau tiba-tiba ada nenek atau om yang komen, "Ini benar sekali, cucuku."
Tapi tentu saja, meme yang terlalu ekstrem juga bisa memicu debat yang panjang. Si bapak A akan merasa tersinggung, si tante B akan protes, dan tak lama kemudian pesan akan membeludak dengan berbagai opini. Akhirnya, topik pembicaraan yang awalnya ringan berubah jadi debat yang panas dan sulit dihentikan. Ya, grup WhatsApp keluarga memang bisa bertransformasi menjadi panggung debat yang lebih ramai daripada sidang parlemen.
Tutorial Tak Berkesudahan dan Forward-an Hoax
Belum cukup dengan meme dan stiker, grup keluarga juga sering diisi dengan forward-an informasi kesehatan yang kadang susah dipercaya. Mulai dari cara alami mengobati penyakit yang belum ada obatnya, sampai trik agar wajah awet muda dengan hanya menempelkan daun-daunan di dahi. Sebelum tahu kebenarannya, sebagian besar keluarga akan membacanya dengan khusyuk dan segera mempraktikkan. Ibu kita mungkin langsung komentar, "Nih, coba kalian lakuin juga." Padahal, saat dicek di internet, informasi itu hoax, atau bahkan sudah dibantah oleh dokter sejak sepuluh tahun yang lalu.
Dan kalau ada yang berani berkomentar, "Eh, ini hoax, loh, Bu," siap-siap aja, karena kamu bisa dianggap "kurang ajar" atau bahkan "tidak percaya dengan petuah orang tua." Di momen seperti ini, kita cuma bisa menghela napas panjang, menunggu gelombang hoax berikutnya sambil berharap semoga kali ini ada info yang benar.
Keluar Grup = Dosa Turunan?
Nah, keluar dari grup keluarga? Lupakan! Begitu kita coba kabur dari grup, seketika akan muncul notifikasi "invitation to join group." Memang, di keluarga kita kadang "keluar grup" itu dianggap setara dengan "keluar dari silsilah keluarga." Bahkan yang lebih parah, nama kita akan muncul dalam rapat keluarga terdekat, jadi bahan pembicaraan serius dengan nada menghakimi.
Anehnya, meskipun grup itu tidak begitu menarik, semua orang tetap enggan untuk keluar, terjebak oleh perasaan takut dianggap "anti-sosial" atau "males sama keluarga." Di sini, kita akhirnya hanya bisa diam, mengamati dari jauh, dan kadang membalas dengan kata-kata pendek seperti "Ya," "Oke," atau emoji anggukan. Inilah cara bertahan hidup dalam grup WhatsApp keluarga.
Ending yang Tidak Pernah Ada
Berharap grup WhatsApp keluarga akan sepi? Tidak akan pernah. Ada saja yang membangkitkan percakapan di saat-saat tak terduga, baik itu karena ulang tahun, liburan, atau hari raya. Sebuah pesan bisa muncul kapan saja, bahkan di tengah malam ketika kita sedang tidur nyenyak. Yang lebih ajaib lagi, akan selalu ada yang membalas pesan itu, tidak peduli waktunya kapan. Keluarga kita mungkin tidak tahu konsep "jangan ganggu di malam hari," atau mungkin, untuk mereka, "waktu" hanyalah konsep yang dibuat-buat.
Tapi, di balik semua itu, ada hal lucu dan sentimental juga. Mungkin tanpa sadar, kita memang perlu hubungan yang terus-menerus dengan keluarga, walaupun kadang mengganggu. Meski bikin lelah, menyebalkan, dan bikin kita merasa terjebak, ada momen-momen kecil yang membuat kita merasa tetap terhubung. Kadang, ada nasihat atau ucapan yang bisa menyentuh hati, dan meskipun jarang, ada hari-hari di mana pesan-pesan itu membuat kita tersenyum.
Dan pada akhirnya, kita mungkin sadar bahwa grup WhatsApp keluarga memang penuh drama dan stiker aneh, tapi di sanalah kita bisa menemukan orang-orang yang peduli pada kita, meski mereka sering mengirim informasi yang nggak masuk akal. Jadi, untuk semua orang yang terjebak di grup WhatsApp keluarga: sabar, ya. Kalian tidak sendirian.
Nah, kalau kalian sendiri, tipe anggota grup keluarga yang seperti apa? Masih rajin balas atau cuma baca doang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H