Sebagai seorang pasien yang kurang lebih tujuh tahun lagi berobat ke dokter umum, bagaimana perasaan Anda bila mengetahui bahwa dokter yang Anda kunjungi itu kuliah kedokteran angkatan 2020. Cara belajar calon dokter yang cenderung sulit, rumit, dan butuh banyak sekali praktikum, pelatihan, dan bimbingan, semuanya dilakukan secara daring.
Walaupun teknologi untuk belajar secara daring sudah sangat canggih, seperti simulasi virtual, video case vignettes (reportasi kasus), dan lain-lain, namun interaksi langsung adalah hal yang sangat esensial.
Itu hanyalah salah satu dari bidang studi yang krusial. Yang peserta didiknya sudah memiliki kemampuan yang mumpuni, dan sadar akan tanggung jawab. Bagaimana nasibnya dengan anak TK, SD, umur-umur tanggung anak SMP dan SMA, yang jiwa berontaknya lagi tinggi-tingginya.
Banyak sekali kekurangan dari sistem belajar daring ini. Anak-anak TK yang justru sekolah untuk mengembangkan motorik kasar dan halus serta kemampuan sosialisasi, malah dipaksa untuk duduk diam dan mengerjakan sesuatu di meja layaknya anak sekolah dasar. Mentok-mentok juga menari-nari di tempat mengikuti gerakan dari video supaya mereka tidak terlalu bosan dan akhirnya kabur-kaburan.
Anak sekolah dasar pun sama, mereka mudah sekali kehilangan fokus ketika harus memperhatikan penjelasan guru dari layar kecil. Syukur-syukur mereka ada tablet atau laptop yang memiliki layar sedikit lebih besar.
Apa yang kita harapkan dari sistem pembelajaran daring ini. Jujur saja, kontribusi orangtua dalam pendidikan akademis anak sangat tidak bisa diharapkan. Sangat langka menemukan orangtua yang mengajar anaknya dengan telaten sesuai kurikulum, sampai anaknya menguasai materi.
Orangtua kebanyakan tidak punya kapasitas yang cukup untuk mengajar, dari sisi kesabaran, kecakapan, maupun penguasaan materi.
Apa yang terjadi saat ini adalah nilai-nilai peserta didik menjulang tinggi karena orangtuanya yang mengerjakan tugas, latihan, bahkan ujian anak-anaknya. Kebanyakan mereka tidak mau pusing, yang penting nilai anaknya bagus dulu. Oleh sebab itu, sebuah angka tidak dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan seseorang dalam belajar.
Dunia tempat kita belajar belum terbiasa dengan cara belajar seperti ini. Jangankan belajar daring, mahasiswa tahun-tahun awal yang sudah terbiasa belajar dengan cara sekolah umum pun tidak dapat langsung menyesuaikan diri dengan sistem belajar perkuliahan yang tanggung jawab dan kesadaran untuk belajarnya sangat dibutuhkan.
Kurang lebih satu setengah tahun sudah kita terpaksa menjalani sistem pembelajaran daring karena pandemi yang mengharuskan kita melakukan physical distancing. Bagaimana hasilnya? Efektifkah?
Kita tidak dapat membuat kesimpulan sekarang mengenai sistem ini efektif atau tidak. Karena bukan hasil sementara yang harus kita perhatikan, melainkan bagaimana kualitas-kualitas peserta didik generasi Covid ini kelak di masyarakat.
Namun, apakah kita akan mempertaruhkan kualitas kehidupan mereka nantinya?
Melihat kondisi Covid-19, terutama di tanah air kita, masih jauh dari kata jelas. Kadang angkanya menurun, lalu ketika ada wacana untuk tatap muka tiba-tiba kenaikan kasus terjadi lagi. Begitu saja terus naik dan turun.
Banyak orangtua yang tidak mau coba-coba tatap muka dengan resiko anaknya terjangkit Covid-19. Tapi tidak sedikit juga orangtua yang sudah siap atas segala resiko demi kualitas pengajaran yang maksimal untuk anaknya. Toh yang tetap diam di rumah pun tidak terhindar dari resiko tertular juga, ujar mereka.
Dalam hal ini, sebenarnya tidak terlalu pas juga disebut "nekat tatap muka", karena menjalankan sistem tatap muka pun tentunya dengan persiapan yang tidak asal-asalan.
Setiap sekolah yang akan melakukan kegiatan tatap muka memiliki sekian banyak syarat dari pemerintah yang harus dipenuhi, misalnya sudah memiliki ruang sterilisasi, memiliki ruang isolasi, dalam satu kelas hanya boleh diisi sepertiga dari kapasitas kelas, lalu setiap pengajar diharuskan melakukan swab PCR atau minimal antigen pada H-1, demikian pula dengan peserta didiknya.
Masa iya harus selalu antigen setiap mau sekolah?
Ini adalah cara mitigasi resiko, karena bisa dibilang ini semua masih dalam tahap percobaan, maka segala resiko yang bisa terjadi karena suatu kesalahan yang belum terpikirkan, bisa diminimalisir.
Dalam hal ini yang paling ditakutkan adalah resiko tertular Covid-19. Kita semua disini sedang belajar sambil mengaplikasikan hal yang baru.
Saya sendiri adalah orangtua dari dua anak yang masih SD. Dari segi usia, mereka masih belum bisa dipercaya untuk menerapkan protokol kesehatan sepanjang waktu sekolah, walaupun itu hanya sebatas tidak melepas masker sedikitpun, kecuali saat minum.
Di sekolah mereka, setelah melewati beberapa kali survey kepada orangtua, akhirnya dua minggu yang lalu mulai melakukan tatap muka tahap pertama. Tidak semua peserta didik diwajibkan untuk ikut memulai kegiatan ini, hanya yang bersedia saja. Dan yang bersedia pun tentunya masih harus memenuhi syarat kesehatan.
Pihak sekolah tahu pasti, saat ini pengadaan tatap muka masih belum bisa diaplikasikan pada setiap peserta didik, masih banyak sekali orangtua yang was-was untuk melepas anaknya ke sekolah, tidak terkecuali saya sendiri.
Namun keputusan tetap harus diambil, saya sendiri menyadari, tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk me-support pendidikan mereka di rumah. Sejak sekolah daring dimulai, waktu sudah terlalu banyak terbuang sia-sia.
Buat saya, tetap kesehatan anak-anak adalah nomor satu, namun saya lebih bisa mengantisipasi dengan cara menatar mereka habis-habisan tentang protokol kesehatan yang harus dilakukan di sekolah, dan tentu saja berbagai cara dilakukan agar imunitas mereka terjaga. Pada akhirnya saya lepas mereka belajar onsite.
Tidak semua orang memiliki pemikiran dan prioritas yang sama, namun mau sampai kapan kita memasrahkan pendidikan generasi sekarang menunggu pandemi berakhir.
Herd immunity di Indonesia pun belum bisa diharapkan untuk terbentuk dalam waktu singkat. Persentase vaksinasi dosis kedua saat ini masih di angka 20 persen.Â
Sedangkan perlu 50-70 persen dari populasi harus terpapar atau mendapat vaksinasi untuk mewujudkan herd immunity. Mau sampai kapan kita menunggu?
Sebagai orangtua, rasa putus asa, bingung, adalah hal yang dirasakan ketika dihadapkan pilihan yang tidak ada yang lebih baik. Bagaimanapun, pada akhirnya nanti, sistem yang jelas dan seragam untuk semua peserta didik harus tercipta, baik masih ada atau sudah lewatnya pandemi.Â
Mereka-mereka ini adalah saksi mata dalam pembuatan sejarah baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H