2. Komunikasi Secara Terbuka
Sejak kecil, saya mencoba menerapkan pola komunikasi terbuka buatnya. Jauh dari sempurna memang.Â
Tetapi menjelaskan sesuatu secara gamblang dengan bahasa yang ia mengerti termasuk kewajiban beribadah serta latihan pemahaman beribadah agar saat ia baligh ia telah siap menjadi muslim yang aqil.Â
Saya pun tidak pernah menjanjikan hadiah atas pencapaian ia menjalani puasa. Pun melarang keras siapapun menjanjika. Jika ia mendapat kado lebaran, pure karena hadiah sebentuk kasih sayang keluarga, bukan upahnya menjalankan ibadah puasa.Â
Demikian juga mengajarkan ia untuk tidak pamer ia tengah berpuasa, seperti saat ia TK banyak temannya belum berpuasa.
Banyak  teman-temannya belajar berpusa berbuka di waktu zuhur dan dilanjutkan lagi. Ini pun harus dijelaskan bahwa semenit dari sebelum magrib pun meneguk seteguk air pun telah batal. Menegaskan batasan batal dan tidak ada itu puasa setengah hari.Â
Saya juga telah memberi pemahaman kepadanya sejak usia SD. Dimana ia telah belajar fiqh bersuci. Saat saya tidak berpuasa karena haid atau sakit saya tidak akan menutupinya, bahkan saya tetap makan dan minum di depannya.Â
Tentu dengan penjelasan bahwa ini menjadi hutang puasa yanh harus saya qodo' di hari lain.Â
Dia tentu tak berani punya hutang dengan Tuhannya tanpa alasan yang kuat.Â
3. Picky Eater
Saat kecil, ia sangat pemilih makan dan susah sekali untuk makan. Jadi berpuasa tentu bukan masalah besar baginya. Hanya sekadar menunda waktu makan.Â