Rawa, bentang alam besar di negeri ini. Tetapi masih sedikit yang memahami dalam pendidikan sekolah. Umumnya bentang alam yang diajarkan disekolah adalah pegunungan, lembah, pantai dan sungai. Sedikit sekali penjelasan mengenai bentang alam rawa.Â
Rawa itu membingungkan, umumnya orang-orang menganggap rawa sebagai bagian daratan. Sehingga penimbunan rawa dianggap hal yang wajar. padahal kearifan lokal, khususnya Palembang menganggap rawa sebagai bagian dari maritim. Tetapi itu dulu, saat budaya sungai belum dibumihanguskan di negeri ini.
Saya dibesarkan di sebuah kampung pinggiran kota Palembang. Dulu tempat tinggal saya masih banyak terdapat rawa-rawa tempat kami mencari air. Zaman saya kecil, saya tinggal di daerah talang yang sulit mendapatkan air bersih. Wilayah kami jauh dari sungai, bahkan anak sungai pun jauh dari kampung kami. Air yang mengalir adalah saluran pembuangan. Air ledeng belum masuk ke kampung kami. Jadi kami sangat mengadalkan rawa sebagai sumber air.Â
Bukan hanya sebagai sumber air, rawa juga tempat kami bermain dan belajar tentang kehidupan. Dulu, orang tua kami tidak perlu mahal-mahal untuk membayar sekolah alam. Lingkungan yang membuat kami belajar memanfaatkan alam. Soal gatal-gatal, korengan dan rangen itu cuma imbas kecil, juga  darah dihisap pacet hingga infeksi karena tertusuk duri dan kayu sudah hal biasa. Toh hidup kan tidak selamanya indah. Belum lagi rambut kami yang tidak hitam mengkilap, bukan hanya karena kami suka bermain panas-panasan. Air rawa yang bergetah membuat rambut kami berwana pirang kering, soal warna kulit. Saya yang aslinya berwarna sedikit kuning harus pernah merasakan berwarna kecoklatan dan sampai sekarang menjejak di bagian lengan.Â
Sayangnya warnanya nanggung, gak eksotis amat. ha..ha...
Bagi anak rawa, segala hal di rawa adalah menyenangkan. Apalagi di bulan puasa, biasanya waktu belajar menjadi lebih pendek dan kami punya waktu lebih panjang dari biasanya.Â
Saya mencoba mengingat-ingat apa saja yang kami lakukan di bulan ramadan saat kami kecil, tadi sempat ngobrol dengan teman bermain yang membuat ia tertawa. Entah berapa banyak kekonyolan have fun-nya kami yang kalo dipikir sekarang seolah menyerempet maut.Â
Semoga saya dapat merangkainya dengan baik.
1. Berburu dan Meramu
Kebiasaan kami saat ramadan adalah berburu. Sudahlah jangan bayangkan kami membawa senapan berburu menjangan. Kami cukup berburu ikan gabus yang banyak di rawa. Ikan gabus adalah ikan predator paling enak jika dipanggang, lalu dimakan dengan sambal jeruk. Â beberapa teman yang telah memasuki usia remaja biasanya memancing ikan menghabiskan waktu sore menjelang magrib.Â
Saya pun ikut berburu. Sayangnya saya bukan manusia sabar. Memancing bukan keahlian saya. Jadi saya memilih najur. Meletakkan tali pancing dengan kail diisi ikan pada lokasi-lokasi tertentu di sore hari dan akan saya ambil pada esok paginya. Jika beruntung saya akan mendapat gabus dan belut. Pernah sial sih ada ular air yang memakan umpan. Kalo kejadian gitu biasanya aku kabur. Mau gimana? Kami gak mau ambil risiko tinggi.
Paling suka jika sedang musim udang rawa. Udang kecil-kecil dan bening. Saya juga tidak punya kesabaran ekstra memancing dengan kail dari peniti. Biasanya saya membawa karung goni dan membawa dedak. Karung goni saya letakkan di permukaan air kolam rawa dengan ditaburi dedak. Lalu saya tinggal bermain. Voila, sejam kemudian banyak udang kecil tersangkut di karung goni. Tinggal angkat.
Banyak teman pun berburu gondang, itu loh siput air. Saya juga ikutan menyerok gondang. Berbeda dengan teman-teman, saya bawa pulang gondang bukan untuk dimakan, tetapi menjadi pakan bebek peliharaan.
Selain berburu kami juga mengumpulkan buah rawa yang kadang kebanyakan saya tidak ingat lagi namanya. Ada juga beberapa buah yang tumbuh liar di rawa ada jambu amerika, jambu bol, karamunting, buah nona (sejenis srikaya), paling banyak buah nasi, buah salam dan ciplukan. Dan banyak lagi jenis buah yang saat ini tidak lagi saya temui tumbuh di kampung saya.Â
Buah paling fenomenal buah jambu monyet. Insiden kecil saat memakan bijinya. Kami tidak mengerti mengelolanya. Jadi, ba'da shalat tarawih kami bakar dan kami makan. Bibir tepi kiri kananku terkena getah jambu monyet, akibatnya bengkak dan luka.Â
Anak rawa yang alergian, lemah sekali. Dokter yang mengobatiku pun sampai ngomel-ngomel, padahal beliau adalah sosok dokter paling telaten dan sabar. Tetapi kalo aku sudah kunjungan dia sih sudah paham, kalo gak jatuh dari sepeda dan paling sering reaksi alergi.Â
Nyokap sih yang kena omel, diriku hanya cengar-cengir tanpa merasa berdosa.Â
2. Perang-perangan
Sepertinya ini dialami semua anak di Indonesia era 90-an. Beruntunglah yang masih mengalami sekarang. Kami paling senang saat ramadan bermain meriam bambu. Zaman dulu, bahan bakar rumah tangga adalah minyak tanah (kerosin). Bambunya tidak beli, cukup memotong di kebun dekat rawa. Bukan tidak ada yang punya Ama Tauko pemiliknya.Â
Amanlah, paling-paling kena omel dengan bahasa hokien yang aku gak ngerti blas. Bukan karena dia pelit gak boleh bambunya diambil. Dia paling gak suka lihat diriku langsung main ke hutan bambu. Bulu-bulu halus pada bambu juga dapat membuat aku alergi, dan emang sering sih diriku bengkak-bengkak sat terkena bulu bambu.
Tapi amanlah, dia paling percaya obat gatal itu sup ayam kampung. Kalo dia lihat aku mulai bengkak-bengkak, ama pasti kirim seekor ayam buat dimasak sama nyokap.
Aku juga orangnya serampangan, luka karena bambu sudah tak terhitung. Soal rasanya tersayat sembilu itu luar biasa. Belum lagi efek infeksinya yang bisa menyebabkan bengkak.Â
Amanlah, nyokap kok yang diomeli dokter saat konsultasi.
Ada kisah konyol soal meriam bambu. Kami mendapatkan bambu yang besar dan bagus, karena hanya mengggunakan minyak tanah. Bunyi yang keluar hanya "duzz". Sama sekali gak asyik.
Diriku ingat kalo Bapak sering menyimpan karbit. Jadi iseng menjelang magrib menggunakan karbit. Gak mau nanggung dong, karbit ukuran sekaleng dimasukkan ke meriam bambu,disulut dan meledak.Â
"Doom", keren banget bunyinya. Kayaknya terdengar ke seluruh penjuru kampung,bahkan meriamnya sampai pecah. Ah santai, bisa minta sama Ama lagi nanti. Kami tertawa begitu gumbira, hingga datangnya 2 mobil jeep pasukan tentara berseragam loreng dari satuan kaveleri dekat rumah.
Sontak kami yang di lapangan tunggang langgang. Apa mau dikata, semua anak menunjukku sebagai pelakunya. Aku dulu dikenal sebagai :Ciwek", mudah banget nangis saat emosi. Kondisi ketakutan gitu ya nangislah. Anak usia 6 tahun diminta tanggung jawab.Â
Bapak keluar sambil senyum-senyum dan menjelaskan dengan para Bapak tentara dengan santai dan dapat tertawa-tawa mendengar penjelasan Bapak.
Bapakku sehebat itu, nggak juga. Bapak tentara itu mengenali Bapak sebagai sepupu mantan komandannya. Ya tentu saja aman. Tapi aku tetap sial, karena jadi repot cari es batu kemana-mana menjelang magrib buat es teh. Para Bapak tentara jadi bukber di rumah.
Tahun 1985, masih sedikit yang punya freezer di kampung. Cari es batu di bulan ramadan menjelang magrib itu hampir mirip mission imposible.
3. Berenang Bersama Ular Besar
Dari sekian panjang listing kegilaan kami menikmati rawa sebagai arena bermain, satu hal ini yang sampai hari ini membuat diriku bergidik. Bulan puasa di Palembang selalu panas. Kami tinggal di dataran rendah dan kawasan rawa, ya gak mungkin dingin lah. Kalo pun turun hujan, udara dingin itu cuma sambil lalu.
Jadi kebiasaan kami bermain di kambang (kolam besar) di rawa. Di tengah kambang itu, ada delta yang berbentuk pulau kecil yang ditumbuhi pohon randu besar. Ada dua ular sawah yang selalu berada di dahan-dahan pohon. Kami tidak pernah takut dengan keberadaan mereka dan memang belum pernah ada laporan ular-ular itu mengganggu kami.
Sumber pangannya berlimpah, berlimpah ikan dan unggas liar sebagai mangsa. Â Kami dipahamkan jika ular sudah kenyang, ular cenderung diam dan tidak akan menyerang.
Sore itu sudah menjelang magrib kami masih asik bermain air, beberapa teman yang jagi berenang memang berenag. Tiba-tiba salah satu ular penunggu pohon randu itu meluncur ke dalam air. Mengejar seekor burung ayam-ayam dan langsung dapat dan segera dimangsa.
Segera kami naik ke darat dan menyaksikan dari jauh. Diajarkan kepada kami jangan pernah dekat dengan ular yang tengah berburu. Jika buruannya lepas, ia dapat marah dan mengalihkan kemarahan kepada kami yang bukan sasaran buruannya.
Adegan ular memangsa burung yang sekarang hanya dapat dilihat di discovery chanel itu pun dapat kami saksikan secara live dengan takjub.
Tuhan, jika itu terjadi sekarang dengan otak telah teracuni adegan film anaconda, itu kejadian mengerikan sesungguhnya.
Masa kecil memang terlalu bahagia, belum mengenal apa itu beban mental bahkan rasa takut. Dua hal yang sangat saya rindukan di bulan ramadan masa kecil. Tidak ada judment kepada teman-teman yang tidak sanggup menjalankan puasa, pun sebaliknya yang menjalankan ibadah puasa punt tidak dicap fanatik. Teman (meskipun ia muslim) yang makan di siang hari saat ramadan, tidak akan dibully habis-habisan. Dimaklumi saja. Merekapun tidak akan sibuk menggoda teman yang berpuasa membatalkan puasanya. Karena keceriaan Ramadan  punya kita semua baik yang berpuasa maupun tidak.
SalamÂ
![Sumber : Tribunnews.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/04/19/01082011-meriam-607d933b8ede4864e22770e2.jpg?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI