Aku juga orangnya serampangan, luka karena bambu sudah tak terhitung. Soal rasanya tersayat sembilu itu luar biasa. Belum lagi efek infeksinya yang bisa menyebabkan bengkak.Â
Amanlah, nyokap kok yang diomeli dokter saat konsultasi.
Ada kisah konyol soal meriam bambu. Kami mendapatkan bambu yang besar dan bagus, karena hanya mengggunakan minyak tanah. Bunyi yang keluar hanya "duzz". Sama sekali gak asyik.
Diriku ingat kalo Bapak sering menyimpan karbit. Jadi iseng menjelang magrib menggunakan karbit. Gak mau nanggung dong, karbit ukuran sekaleng dimasukkan ke meriam bambu,disulut dan meledak.Â
"Doom", keren banget bunyinya. Kayaknya terdengar ke seluruh penjuru kampung,bahkan meriamnya sampai pecah. Ah santai, bisa minta sama Ama lagi nanti. Kami tertawa begitu gumbira, hingga datangnya 2 mobil jeep pasukan tentara berseragam loreng dari satuan kaveleri dekat rumah.
Sontak kami yang di lapangan tunggang langgang. Apa mau dikata, semua anak menunjukku sebagai pelakunya. Aku dulu dikenal sebagai :Ciwek", mudah banget nangis saat emosi. Kondisi ketakutan gitu ya nangislah. Anak usia 6 tahun diminta tanggung jawab.Â
Bapak keluar sambil senyum-senyum dan menjelaskan dengan para Bapak tentara dengan santai dan dapat tertawa-tawa mendengar penjelasan Bapak.
Bapakku sehebat itu, nggak juga. Bapak tentara itu mengenali Bapak sebagai sepupu mantan komandannya. Ya tentu saja aman. Tapi aku tetap sial, karena jadi repot cari es batu kemana-mana menjelang magrib buat es teh. Para Bapak tentara jadi bukber di rumah.
Tahun 1985, masih sedikit yang punya freezer di kampung. Cari es batu di bulan ramadan menjelang magrib itu hampir mirip mission imposible.
3. Berenang Bersama Ular Besar
Dari sekian panjang listing kegilaan kami menikmati rawa sebagai arena bermain, satu hal ini yang sampai hari ini membuat diriku bergidik. Bulan puasa di Palembang selalu panas. Kami tinggal di dataran rendah dan kawasan rawa, ya gak mungkin dingin lah. Kalo pun turun hujan, udara dingin itu cuma sambil lalu.