Hari senin pertama 2021 juga berbarengan dengan awal semester genap sekolah, waktunya kembali belajar setelah libur akhir semester gasal 2020/2021.
Pandemi covid 19 di tahun 2020, sejak bulan maret 2020,sistem pembelajaran berobah menjadi pembelajaran dari rumah.
Sembilan bulan sudah drama sekolah di rumah terjadi.
Mulai dari depresinya para ibu mendampingi anaknya, sinyal yang tak kuat atau malah kendala gadget seperti handphone dan laptop untuk sekolah daring.
Pemanfaatan lembaga penyiaran publik seperti TVRI untuk menjadi media pembelajaran pada remote area pun dilakukan.
Kelelahan Melanda
Hampir setahun sekolah daring. Anak-anak mulai lelah dengan beban tugas PR yang begitu banyak tanpa bimbingan guru yang optimal.
Banyak meme sliweran tentang ibu yang emosional mendampingi anak belajar dan memperhadapkan dengan beban guru mendidik. Ah .. Kayaknya ada yang lupa bahwa seorang anak akan menganggap ibunya tidak cerdas meskipun ibunya jenius. Belum lagi dikotomi sekolah tempat belajar dan rumah tempat istirahat dan sedikit mengerjakan PR tidak mudah terlepas begitu saja.
Buat kalangan yang mampu mendatangkan guru pendamping mungkin sebuah solusi.
Tetapi kondisi setiap keluarga tentu punya masalah berbeda.Â
Bahkan tidak sedikit yang mengeluhkan screen time yang terlalu panjang demi mengejar target belajar.
Belum lagi ditambah orang tua yang tak kuasa melarang anak-anak bermain game online agar tetap berada di rumah (tapi yang punya wifi unlimited tetap ngumpulin kawan di rumah)
Persoalan lain, orang tua yang sibuk dengan pekerjaan tetapi pikiran pun terpecah memikirkan tugas anak di rumah. Jika menyelesaikan tugas menunggu waktu pulang kerja pun serasa begitu memberatkan. Sudah sama-sama lelah dan memancing emosi.Â
Semua mulai lelah dengan sekolah daring.Â
Perubahan Sikap, Bukan Sekadar Tanda Tangan PernyataanÂ
Wacana untuk mulai kelas tatap muka di tahun 2021 mengemuka. Salah satu syaratnya orang tua wajib menandatangani surat pernyataan memberikan izin kepada anaknya untuk mengikuti belajar tatap muka, dengan menjalankan protokol pencegahan covid 19.
Perdebatan pun terjadi, karena penandatangaan surat pernyataan ini dianggap sebagai upaya "cuci tangan" sekolah bahkan negara jika terjadi peserta didik terpapar covid 19.
Konsekuensi anak tidak mendapat pembelajaran dengan risiko tidak naik kelas pun membayangi jika tidak menyetujui sekolah tatap muknd seea.
Saya pribadi memang belum membuat surat pernyataan demikian. Karena memang belum ada permintaan dari pihak sekolah anakku.
Pihak sekolah putraku sepertinya masih wait and see kebijakan pemerintah.Â
Meski sejak September Pemkot Palembanh mengumumkan akan melaksanakan sekolah tatap muka dengan syarat menjalankan protokol pencegahan covid 19,tetapi Gubernur Sumsel bahkan terakhir Mendikbud menetapkan tetap menerapkan belajar dari rumah.
Jadi, soal tanda tangan surat pernyataan bermaterai dilakukan jika kebijakan sudah benar-benar fixed. Hmmm...sepertinya, bukan karena kesadaran hukum wali kelas yang tinggi, bahwa selembar surat pernyataan bermaterai tidak akan memberi kekuatan hukum apapun. Tetapi kondisi keuangan umumnya yang menjadi alasan utama. Membeli materai 10.000 itu cukup memberatkan bagi sebagian keluarga. Jangan sampai uang segitu sia-sia.
He .. He... mungkin terasa lebay ya bagi sebagian besar kompasianer. Ah kalian belum tahu kecanggihan mayoritas wali murid sekolah anakku sangat tinggi jika terkait dengan duit. Apalagi di sekolah negeri yang semua serba gratis termasuk buku pelajaran.
Canggih yang saya maksud sila baca di KKBI he ... he...Â
Tempat Hiburan Buka, Sekolah Dilarang
Terasa ironis memang ketika banyak orang tua yang ketakutan akan penularan covid 19 di sekolah tetapi membiarkan putra-putrinya bergerombol di lapangan atau ujung gang kampung untuk mabar. Hal paling absurd yang saya lihat di kampung saya adalah anak-anak berkumpul, berjubel main bareng game online.Â
Demikian pula mall dan tempat makan yang begitu berjubel dengan anak usia sekolah.Â
Tidak sedikit pula karena adanya libur panjang akhir tahun (meski cuti bersama dibatalkan, toh tak susah meminta cuti di kantor yang memang sangat "nanggung" waktunya untuk bekerja. Tidak mungkin efektif juga buat bekerja,toh?. Sebagian orang tua malah mengajak jalan keluar kota baik untuk liburan akhir tahun atau mengunjungi keluarga besar karena lebaran yang tertunda.
Apalagi jumpa pers update jumlah penderita covid 19 sudah sekadar angka. Ditambah pemberitaa  massif tentang acara seremonial kumpul-kumpul  (bahkan oleh lembaga pemerintah) meski di zona merah pun bukan hal yang menakutkan lagi. Tak ada yang tiba-tiba mati mendadak toh?.
Berita soal mutasi virus covid 19 pun hanya berita sambil lalu yang kalah dengan gosip ala "lambe memble".Â
Risiko OTG
Akhir tahun lalu, sms blast mengenai siapa saja yang mendapat prioritas vaksin covid 19 sesuai Prioritas tersebut tertuang dalam Permenkes No.84 tahun 2020 tentang pelaksanaan vaksinasi dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 yang ditandatangani Menteri Kesehatan Terawan Putranto dan berlaku sejak 14 Desember 2020.
Kami mengapresiasi tinggi pada pemerintah. Tetapi jelas kami, mayoritas wali kelas sekolah anakku bukan prioritas.
Risiko paparan covid 19 kami sebagai OTG juga makin tinggi sebagai warga yang tinggal di zona merah dan tidak pernah melakukan tes apapun. Karena memang tidak ada kondisi yang mewajibkan kami untuk itu.
Yaelah.. masih ditanya, buat beli materai saja kami masih keberatan apalagi mau buat tes yang tidak berfungsi apa-apa.
Jangan tanya soal masker, saat kabut asap pun tak rajin bermasker, apalagi ini yang tak jelas. Saya pribadi yang bermasker setiap hari toh tak mungkin putus silaturahim dengan orang sekampung hanya gara-gara tegur soal masker.
Tetapi kami sadar bahwa kami hanya berada di wilayah berisiko, bukan berada dalam neraka.
Apapun yang terjadi di sekitar, menjadi penting untuk tetap memastikan keluarga menjalankan 3M protokol pencegahan covid. Ya meski dengan risiko terlihat aneh.Â
Sekolah tatap muka ataupun belajar di rumah tetap sama-sama membutuhkan kesiapan mental yang sama beratnya, terlebih kepada para Ayah Bunda yang umumnya bekerja di sektor informal demi tetap ada beras di rumah.
Sudahlah, jangan kalian pernah tanyakan tentang WFH pada para asisten rumah tangga, sopir, driver ojek atau pedagang kecil yang menjadi profesi mayoritas orang tua di sekolah anak kami.
Mereka bukan hanya butuh duit, orang lain juga sangat membutuhkan jasa mereka.Â
Belajar dari Rumah, Orang Tua Belajar Bersama
Tetapi setidaknya belajar dari rumah membuat kami ikut belajar bersama sebagai orang tua untuk tepa selira, mengatasi persoalan hambatan pembelajaran di rumah bersama-sama dengan kesepakatan bersama.
Kami akan mematuhi apapun kebijakan yang diambil sekolah.Â
Soal kedisiplinan protokol pencegahan covid 19, tampaknya masing-masing keluarga wajib sadar risiko masing-masing keluarga.Â
Dalam mengikuti kebijakan yang akan diambil pihak sekolah, kami masih orang Indonesia yang mengedepankan semangat kekeluargaan, kebersamaan dan mengutamakan musyawarah mencapai mufakat mengatasi masalah kami. Bukan hanya sekadar tanda tangan surat pernyataan di atas materai 10.000 yang membuat bingung para mahasiswa fakultas hukum jika ditanya apa fungsinya.
Ah... Bukankah perang pun tidak menghalangi semangat untuk kembali belajar. Semua masalah tentu ada jalan keluarnya.
Sekolah tatap muka ataupun belajar di rumah, paling penting anak kita tetap dapat kembali belajar.
Ditulis di Palembang, 3 Januari 2020Â
Sebagai sebuah catatan pura-pura menguatkan diri , di tengah kegundahan mempersiapkan pembelajaran dan protokol kesehatan kit, sambil menanti kabar tentang kebijakan sekolah besok.Â
Ada yang sama galaunya? Gimana cara ngatasinnya? Komen dong.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H