Tempat Hiburan Buka, Sekolah Dilarang
Terasa ironis memang ketika banyak orang tua yang ketakutan akan penularan covid 19 di sekolah tetapi membiarkan putra-putrinya bergerombol di lapangan atau ujung gang kampung untuk mabar. Hal paling absurd yang saya lihat di kampung saya adalah anak-anak berkumpul, berjubel main bareng game online.Â
Demikian pula mall dan tempat makan yang begitu berjubel dengan anak usia sekolah.Â
Tidak sedikit pula karena adanya libur panjang akhir tahun (meski cuti bersama dibatalkan, toh tak susah meminta cuti di kantor yang memang sangat "nanggung" waktunya untuk bekerja. Tidak mungkin efektif juga buat bekerja,toh?. Sebagian orang tua malah mengajak jalan keluar kota baik untuk liburan akhir tahun atau mengunjungi keluarga besar karena lebaran yang tertunda.
Apalagi jumpa pers update jumlah penderita covid 19 sudah sekadar angka. Ditambah pemberitaa  massif tentang acara seremonial kumpul-kumpul  (bahkan oleh lembaga pemerintah) meski di zona merah pun bukan hal yang menakutkan lagi. Tak ada yang tiba-tiba mati mendadak toh?.
Berita soal mutasi virus covid 19 pun hanya berita sambil lalu yang kalah dengan gosip ala "lambe memble".Â
Risiko OTG
Akhir tahun lalu, sms blast mengenai siapa saja yang mendapat prioritas vaksin covid 19 sesuai Prioritas tersebut tertuang dalam Permenkes No.84 tahun 2020 tentang pelaksanaan vaksinasi dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 yang ditandatangani Menteri Kesehatan Terawan Putranto dan berlaku sejak 14 Desember 2020.
Kami mengapresiasi tinggi pada pemerintah. Tetapi jelas kami, mayoritas wali kelas sekolah anakku bukan prioritas.
Risiko paparan covid 19 kami sebagai OTG juga makin tinggi sebagai warga yang tinggal di zona merah dan tidak pernah melakukan tes apapun. Karena memang tidak ada kondisi yang mewajibkan kami untuk itu.
Yaelah.. masih ditanya, buat beli materai saja kami masih keberatan apalagi mau buat tes yang tidak berfungsi apa-apa.
Jangan tanya soal masker, saat kabut asap pun tak rajin bermasker, apalagi ini yang tak jelas. Saya pribadi yang bermasker setiap hari toh tak mungkin putus silaturahim dengan orang sekampung hanya gara-gara tegur soal masker.
Tetapi kami sadar bahwa kami hanya berada di wilayah berisiko, bukan berada dalam neraka.
Apapun yang terjadi di sekitar, menjadi penting untuk tetap memastikan keluarga menjalankan 3M protokol pencegahan covid. Ya meski dengan risiko terlihat aneh.Â
Sekolah tatap muka ataupun belajar di rumah tetap sama-sama membutuhkan kesiapan mental yang sama beratnya, terlebih kepada para Ayah Bunda yang umumnya bekerja di sektor informal demi tetap ada beras di rumah.