Di tengah penarikan RUU PKS dari prolegnas, pemberitaan kekerasan seksual makin mengerikan.
Seorang korban kekerasan justru diperkosa oleh Pejabat Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), kades dan anak buahnya memperkosa anak di bawah umur secara bergantian, kekerasan seksual di pesantren, romo yang bermasalah dengan perempuan "dihukum" bertugas di sebuah SMK, kakak kandung perkosa adik, dan lain sebagainya.
Semua tumplek blek begitu saja di media.
Buatku, perlu kesiapan mental tersendiri untuk mengklik film pendek berdurasi 13 menit yang disutradarai oleh Priyanka Banerjee ini.
Film berbahasa Hindi dengan subtitle Inggris ini film metafora. Bahasan ini akan sangat banyak spoiler dan mungkin banyak layer yang tak terkupas.
Judulnya Devi (Dewi), kita tahu bahwa India sebagai tanah hindustan menyembah banyak dewa, serta memuja banyak dewi.
Tetapi, kita semua juga tahu bahwa tingkat kejahatan seksual di negeri ini begitu tinggi. Bahkan jika kita membaca ulasan travel ke India, FAQ yang sering dilontarkan oleh traveller perempuan adalah "aman gak sih solo travelling ke India untuk seorang perempuan?".
Kekerasan seksual adalah kejahatan yang di mana-mana adalah fenomena puncak gunung es. Termasuk di Indonesia.
Meski setiap hari media memberitakan kebrutalan kejahatan seksual, percayalah bahwa ada begitu banyak kasus yang tak terungkap dengan berbagai alasannya.
Spoiler Alert
Jika termasuk orang yang terganggu dengan spoiler sebaiknya skip dulu membaca ulasan ini. Hanya butuh waktu 11 menit lebih sedikit untuk menontonnya, meski after taste yang ditinggalkan film ini tentu akan jauh lebih lama.Â
Bahkan tulisan ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah review atau resensi, begitu pentingnya setiap adegan dan dialog yang meracuni otak saya untuk mengulas sedikit detail, dan percayalah meski film ini hanya 11 menit begitu banyak layer yang tertinggal dalam ulasan saya ini.Â
Kekerasan seksual dapat menimpa siapa saja, bahkan tak terduga. Tema besar inilah yang diangkat film ini.
Film ini berkisah tentang 9 orang (sebenarnya lebih, tetapi yang berdialog 9 orang) yang berkumpul di sebuah ruangan rumah. Awalnya, kukira ini sebuah rumah aman korban kekerasan seksual. Tetapi di tengah adegan menjelaskan di mana sebenarnya mereka.
Jyoti (Kajol) melakukan puja pagi dengan tekun, ia mengenakan sari yang sopan dan rupawan khas ibu ideal India dengan tutur kata yang begitu lemah lembut.
Zooni (Yashaswini Davama), yang tuli sibuk memukul-mukul televisi mereka yang tidak menyala.
Seorang mahasiswi kedokteran (Shivani Raguvanshi) yang sibuk belajar menghadapi ujiannya
Maya (Shruti Hassan), perempuan cantik yang berpakaian ketat tengah menikmati mirasnya.
Perempuan karier yang terlihat independen (Neha Dhupia) yang tengah duduk di kursi manager yang empuk.
Arzu (Mukta Barve), perempuan yang memakai burkha tapi dengan perhiasan emas yang begitu banyak menunjukkan betapa kayanya, tengah sibuk waxing pada betis yang putih mulus tak berbulu.
Baby (Rama Joshi) ,Lakshmi (Sandhya Mathre), dan Maushee (Neena Kulkarni) sibuk rumpi khas emak-emak.
Kritikan Terhadap Reportase Kekerasan Seksual
Ketika televisi kecil di ruangan itu menyala memberitakan peristiwa pemerkosaan, sang reporter menyebutkan bahwa seluruh negara dipenuhi dengan amarah. Ia mengkritik habis-habisan bagaimana sikap politisi terhadap kasus kekerasan seksual, sistem perlindungan yang gagal, termasuk kebijakan negeri itu.
Tetapi ia seolah lupa pada code of conduct-nya sebagai reporter yang sangat sibuk mengungkap identitas yang diperkosa sampai sangat perlu melaporkan langsung berada di depan rumah korban dan melaporkan tidak dapat masuk ke rumah tersebut.
Neha bersikap masa bodo dengan berita itu, ia memalingkan wajahnya dan menutup matanya. Ia tahu bahwa pemberitaan semacam itu bullshit.Â
Kedukaan orang-orang hanya sementara, melupakan semuanya dengan waktu, keadilan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual bahkan yang brutal sekalipun tidak akan pernah ditegakkan.
Televisi mati, dan berdenging kencang. Seiisi rumah gusar. Ternyata itu sebuah alarm bahwa akan ada penghuni baru di rumah itu.
Bukan di Rumah Aman
Benar saja, tiba-tiba bel berbunyi Maushee langsung nyeletuk bergumam kesal mengapa harus ada tambahan orang di rumah itu.Â
Jyoti yang merasakan kegusaran semua penghuni rumah menegur Maushee, tetapi dibela Maya yang mengatakan kalau ia telah merasa gerah di rumah itu. Arzu menyahut, "jika dengan pakaian minim saja kamu gerah, jika pakai burkha aku bisa masak kebab."
Sound familiar di antara para perempuan bukan. Mengintimidasi perempuan lain karena cara berpakaian?
Sang mahasiswi meminta Jyoti membuka pintu, namun ditentang penghuni lain mengingat kamar di rumah itu tak cukup lagi.
Jyoti mengingatkan bahwa tak baik bertengkar setelah doa dhupbatti dan Maushee menjawab, "Tidak ada Tuhan di sini, mengapa Anda menyembahnya."
Jyoti yang alim bersikap memilih diam ketika pelecehan agamanya terjadi. Ia menjawab bahwa ia ingin kedamaian yang juga ditentang Maushee, jika ingin damai jangan biarkan orang lain masuk ke rumah itu. "Apa ia akan tinggal di kepala kita", sebuah kalimat menandaskan bahwa begitu terbatasnya ruangan itu.Â
Zooni berusaha mendamaikan dengan bahasa isyaratnya.Â
Salah satu dari mereka harus keluar agar ada tempat untuk penghuni baru. Perdebatan mereka mengungkap mereke berkumpul di rumah itu karena satu kesamaan, mereka korban kekerasan seksual brutal. Mereka semua telah mati dan berkumpul di satu tempat setelah kematian. Bisa jadi dalam pandangan tertentu rumah itu adalah akhirat.
Keluar rumah itu bermakna reinkarnasi. Jika film-film lain biasanya menggambarkan bagaimana meyakinkan dewa agar diizinkan reinkarnasi. Trauma mereka membuat mereka lebih ingin tinggal di rumah afterlife yang lebih membuat mereka merasa aman.
Ketukan pintu itu menandakan bahwa korban lain telah meninggal dan akan tinggal di rumah itu, seorang korban tewas kekerasan seksual yang brutal.
Di sinilah pertengkaran semakin meruncing, sang mahasiswi mengusulkan bahwa rumah itu perlu menampung semua korban tanpa membuat yang lain keluar.
Arzu pun mengatakan yang terakhir masuk ia yang keluar atau tidak perlu ditambah lagi penghuni. Jyoti menjelaskan jumlah korban semakin banyak seiring frekuensi perkosaan yang terjadi.
Maya kesal, "siapa sih mereka bagi kita?", yang disahut langsung Neha " Lah, siapa juga kita bagi satu sama lain?"
"Ho'oh, lagian kita sudah kayak sarden kalengan aja di sini," timpal Arzu.
Bel kembali berbunyi yang membuat gusar penghuni rumah. Jyoti makin gelisah, apakah shelter publik perlu dibuka untuk melindungi para korban sedangkan mereka sendiri adalah korban.
Pertentangan kelas dimulai dan membuka kisah masing-masing, Neha warga kelas menengah yang sehari-hari berbahasa Inggris berdebat dengan 3 perempuan tua yang menjalani marital rape sejak usia 12 tahun. Mereka tidak pernah tahu sekolah.
Arzu kembali mengingatkan persoalan siapa yang harus tetap tinggal dan siapa yang pergi dari rumah itu agar penghuni baru dapat menempati rumah itu.
Sang mahasiswi mengusulkan "siapa yang masih punya ayah dan saudara laki-laki atau suami saja yang keluar."
Ketiga ibu menyamber, "kalo mereka gitu kita aman"
"Gue nggak," sahut Maya dengan sendu. Sepertinya ia memang gak punya. Arzu pun tak sanggup karena ia korban kekerasan keluarganya sendiri.
Mahasiswi mengusulkan yang punya keluarga dibawah usia 25 tahun, pergi. Ketiga ibu, Maya dan Jyoti tak mencukupi syarat itu.
Setiap bel berdering mereka gusar.
Dialog yang Mengguncang Jiwa Penonton
Arzu mengusulkan bagaimana jika tolok ukurnya pada bagaimana mereka bisa tewas.
Maushee menolak ia menganggap bahwa itu curang, karena Arzu tewas dibakar hidup-hidup. Itulah alasan mengapa tak ada bulu di betis Arzu.
Di sinilah semua terungkap, Maya diperkosa oleh orang asing yang mabok dan ia dibuang di jalan tol.Neha dibunuh dengan batu. Baby dengan pisau.
Ketika Neha mengatakan dia meninggal bukan pada saat kejadian, tetapi efek trauma perkosaan (kemungkinan bunuh diri), dan Maushee mengatakan kamu setidaknya punya waktu untuk menangis, dan sudah sepantasnya pergi. Neha menjawab meski ia tidak berdarah, bukan berarti aku tidak kesakitan
Sebuah penggambaran bahwa trauma kekerasan seksual akan menyiksa korban sepanjang hayat dan itu seringkali tak disadari oleh orang lain bahwa mereka selalu butuh pendampingan. Termasuk orang-orang yang terlihat tegar dan mandiri.Bahkan orang yang paling tua juga belum tentu dapat bersikap dewasa karena merasa paling menderita.
Mahasiswa kedokteran diperkosa tengah mempersiapkan ujian yang tidak akan pernah dia selesaikan karena dia sudah mati termasuk membunuh mimpinya.
Keributan pun semakin meruncing dengan saling menyalakan.
Jyoti menengahi bahwa yang baru datang juga tidak dapat diusir, mereka hanya perlu mengatur tempat agar cukup. Meski sempit dan panas jauh lebih baik dibandingkan tinggal dengan para iblis di dunia.
Arzu setuju tetapi ia tidak ingin berbagi tempat tidur dengan siapapun. Neha meminta Jyoti membawa pendatang baru itu masuk.
"Toh kita semua memang ada sifat tidak baik" ujar Maya yang meminta semua saling maklum dengan kondisi masing-masing.Â
Jyoti mengingatkan bahwa semua orang mengalami takut saat masuk rumah itu pertama kali. Ia meminta penghuni lain menjaga sikap dan menerima siapapun yang datang.
Penghuni Baru Tak Terduga
Ketika gadis kecil itu masuk, semua terkejut betapa semakin buruknya situasinya sekarang. Seorang gadis kecil pun tidak terhindar dari iblis-iblis itu, mereka diliputi rasa bersalah karena diawal mereka menolak kehadiran tanpa mengetahuinya yang sangat kecil dan butuh bantuan.
Mereka terlalu merasa menderita, hingga tak mampu merasakan penderitaan di sekitar mereka. Padahal dukungan satu sama lain adalah benteng terakhir yang menguatkan mereka.
Mengapa sang anak kecil langsung memeluk Maushee, apakah ia keturunan Maushee atau pelakunya sama dengan yang memperkosa Maushee? Sila kalian punya pandangan sendiri.
Untuk yang penasaran bisa buka linknya di:
Siapapun tua, kecil, buta huruf, berpendidikan, disabel, berpakaian terbuka, berpakaian tertutup, ibu rumah tangga yang alim, semua perempuan berisiko menjadi korban.
Akankah kita biarkan, atau kita sama seperti sang reporter. Turut bersedih, mengutuk, marah-marah dengan kejadian itu dan seiring waktu melupakan karena tak terkait langsung dengan kita?
Bahkan sebuah RUU pun dianggap sulit untuk disahkan, berjuta alasan dikemukan. Jika landasan aturan saja begitu sulit diwujudkan bagaimana dapat membangun support system yang mampu melindungi perempuan.
Selamat pagi, tetap bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H