Mengakui kesalahan pada diri sendiri itu baik, tetapi melabeli diri sebagai penyebab kegagalan utama karena bodoh, humming terus  dalam pikiran melampiaskan kekecewaan dengan terus-terusan nyalahin diri sendiri. Mukamu tetap senyum tetapi pikiranmu terus menerus meneror dengan ucapan jahat pada diri sendiri. Menyiksa diri sendiri.Â
Ada lagi nih toxic diri sendiri yang kadang gak kita sadari. Ada kalanya dalam memutuskan sesuatu kita butuh advis. Itu baik memang mengingat kapasitas kita dalam menghadapi persolanan . Apalagi persoalan  hukum, sangat perlu advis dari konsultan hukum misalnya.Â
Tetapi advis itu adalah sebagai pertimbangan saja, advis bukan  menjadi patokan utama. Kita jadi orang yang sangat tergantung dengan orang lain bahkan untuk hal-hal yang sangat mendasar dalam kehidupan pribadimu.Â
Dirimu sibuk untuk menjadi orang yang diharapkan sempurna di mata orang lain. Takut untuk mengikuti kata hati, sibuk menyenangkan hati orang lain, ikuti mood orang lain,  ujung-ujungnya stres, gak bisa enjoy your life. Gimana dirimu bisa bangun kebahagiaan dengan kondisi demikian.
Ada lagi nih yang parah, Â sering terjadi saat reuni atau halal bi halal. Kita membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Apalagi lihat postingan di media sosial yang selalu menunjukkan kebahagian. Udah muter deh di lingkaran setan nyalahin diri sendiri lagi. Paling bahaya adalah membiarkan diri sendiri terjebak dalam relasi toxic.Â
Baik hubungan percintaan, pertemanan ataupun bisnis. Dirimu sibuk banget buat menyenangkan pasangan, teman misalnya. Mereka punya masalah kamu jadi penyelesai, tetapi gak terjadi sebaliknya.Â
Saat dirimu curhat, teman lebih unggul dalam penederitaan. Boro-boro curhatmu didenger. Kalo udah jelas toxic, ya bye aja lah. Sebuah relasi itu saling,  bukan berjuang sendiri.  Bukan tugasmu memperbaiki orang-orang toxic ini tetapi membahayakan kesehatan mentalmu.Â
Terakhir, paling laten dan berbahaya adalah toxic positivity, yakni  kondisi  seseorang mengesampingkan emosi negatif  dan hanya merasakan emosi positif saja. Mengacuhkan rasa sedih dan marah, serta langsung menutupinya dengan pemikiran positif. Â
Memberi motivasi positif pada diri sendiri dan selalu berada di energi positif itu bagus, tapi bukan berarti dirimu tidak boleh merasakan emosi lain. Karena segala emosi itu sunatullah yang diberikan sang Khalik kepada makhlukNYA.Â
Boleh jadi, ada rasa saat menekan emosi negatif dan hanya fokus ke yang positif membantu  kita untuk bisa tetap bersemangat. Eh, jangan salah ini malah berisiko tinggi memicu semakin stres karena tidak bisa menerima keadaan yang ada.Â
Lathi memang secara harfiah adalah lidah, tetapi dalam otak kita yang tidak kalah kompleks dengan rangkaian galaksi di alam semesta ini sering kali membisikkan  "semua akan baik-baik saja",  "semua pasti  ada hikmahnya", iya sih itu bener tetapi terus-terusan membuat kita abai dengan emosi negatif, menyatakan  "fokus aja pada yang positif", "sudahlah, nanti akan lebih baik lagi, kok"demi hanya ingin merasakan emosi positif aja. Ujung-ujungnya kita selalu ingin mengekspresikan segala hal yang positif aja, lalu melalaikan kewaspadaan dan seringkali balik lagi ke lingkaran membuat diri merasa bersalah dan menyalakan diri sendiri lagi. Muter terus di lingkaran setan penyiksaan diri sendiri.