Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Latih Lathimu, Mulai Maafkan Diri Sendiri

22 Mei 2020   05:44 Diperbarui: 22 Mei 2020   05:52 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lidah (Sumber:shutterstock via lifestyle.kompas.com)

Betapa pentingnya manusia menjaga lisan . Pernah dengar  petata-petiti "Mulutmu Harimaumu",maknanya  jika lisan yang baik akan menjadikan kita berwibawa selayaknya yang raja hutan. Lisan yang buruk j dapat mencelakai, seperti harimau yang memangsa kita.  

Allah SWT berfirman Q.S. an-Nisaa [4]: 114: "Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kami akan memberinya pahala yang besar", pun dalam Q.S. Qaaf [50]: 18  dipertegas  "Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir."  

Diriwayatkan pula oleh  Al-Bukhori  Rasulullah Muhammad SAW  bersabda "Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan."  Almarhumah Nenekku yang orang Sumsel sering menasehati "Ngeletike lidah dak betulang tu mudah, tapi pacak ndendem naon" (Memainkan lidah/Ngomong (sembarangan) itu mudah, tetapi dapat memicu dendam bertahun-tahun).  

Almarhumah Mbahku yang berdarah Jawa  kalo ngasih nasehat sama saja pake petata-petiti " Ajining soko lathi, ajining rogo soko busono." (Harga diri manusia bersal dari lidah /lisan, harga diri raga dari penampilan".  Lisan memang seperti pedang bermata dua, banyak orang yang juga memanfaatkan lisan untuk keperluan sendiri dengan menipu orang lain dengan rayuan karena itu juga perlu kewaspadaan karena "mati semut karena manisan".

Diri Sendiri sebagai Toxic 

Jamak kita memahami jika perkataan yang sembarangan dapat membuat ketersinggungan, marah, jengkel, sakit hati bahkan dendam.  Kita tidak menyadari kehadirannya karena berbalut sesuatu yang disebut cinta. Kata Agnes Mo "Cinta itu kadang-kadang tak ada logika" memang bener, karena cinta itu adalah sebuah rasa. 

Perasaan seingkali mengaburkan logika,katanya sih gitu. Kamu mau ngomong apa aja meski bener sekalipun tentang orang yang dicintai, omonganmu gak akan didenger. 

Alih-alih dirimu malah mendapat musuh baru, lagian kan gak usah sotoy deh, kasih nasihat kok kepada orang yang lagi jatuh cinta.  Kasih nasihat itu buat yang sedang perlu aja. Apalagi nasihat berbayar, kan bisa keluarin invoice bematerai. Eh malah curcol udah makin jarang tanda tangan invoice bermaterai wkkk ..wkkkk.

Cinta dan benci itu selaik dua sisi mata uang yang saling bersisihan. Kata nenekku dulu  jangan sampe deh "Kalulah agam tegiri-giri, kalulah benci  tetana liat'  secara harfiah kalo suka sampe memuja-muja kalo benci sampe berkalang tanah. Tana liat itu maksudnya tana lempung yang didapat pada kedalaman tertentu. 

Orang dikubur aja kedalamannya cuma 6 kaki, 2 meter atau sedodo sepengawean, di lokasi tertentu belum tentu sampai ke lapisan tanah liat. Saking bencinya lebih dalem tuh dari lubang kubur. Gitu deh kira-kira penjelasannya.  Mencintai segala sesuatu termasuk mencintai diri sendiri juga seperlunya, karena sejak diciptakan di alam ruh hanya satu yang boleh paling kita cintai, yakni Allah Ar Rahman. 

Bisa saja karena begitu cintanya kita pada diri sendiri, kita malah toxic terhadap diri sendiri. Eh, emang bisa jadi toxic diri sendiri?.  Sebut saja, sangat mudah menyalakan diri sendiri. Saat kamu gagal yang pertama kali kamu lakukan adalah muasabah, tapi sayangnya seringkali mengambil shorcut menyalakan diri sendiri. 

Mengakui kesalahan pada diri sendiri itu baik, tetapi melabeli diri sebagai penyebab kegagalan utama karena bodoh, humming terus  dalam pikiran melampiaskan kekecewaan dengan terus-terusan nyalahin diri sendiri. Mukamu tetap senyum tetapi pikiranmu terus menerus meneror dengan ucapan jahat pada diri sendiri. Menyiksa diri sendiri. 

Ada lagi nih toxic diri sendiri yang kadang gak kita sadari. Ada kalanya dalam memutuskan sesuatu kita butuh advis. Itu baik memang mengingat kapasitas kita dalam menghadapi persolanan . Apalagi persoalan  hukum, sangat perlu advis dari konsultan hukum misalnya. 

Tetapi advis itu adalah sebagai pertimbangan saja, advis bukan  menjadi patokan utama. Kita jadi orang yang sangat tergantung dengan orang lain bahkan untuk hal-hal yang sangat mendasar dalam kehidupan pribadimu. 

Dirimu sibuk untuk menjadi orang yang diharapkan sempurna di mata orang lain. Takut untuk mengikuti kata hati, sibuk menyenangkan hati orang lain, ikuti mood orang lain,  ujung-ujungnya stres, gak bisa enjoy your life. Gimana dirimu bisa bangun kebahagiaan dengan kondisi demikian.

Ada lagi nih yang parah,  sering terjadi saat reuni atau halal bi halal. Kita membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Apalagi lihat postingan di media sosial yang selalu menunjukkan kebahagian. Udah muter deh di lingkaran setan nyalahin diri sendiri lagi. Paling bahaya adalah membiarkan diri sendiri terjebak dalam relasi toxic. 

Baik hubungan percintaan, pertemanan ataupun bisnis. Dirimu sibuk banget buat menyenangkan pasangan, teman misalnya. Mereka punya masalah kamu jadi penyelesai, tetapi gak terjadi sebaliknya. 

Saat dirimu curhat, teman lebih unggul dalam penederitaan. Boro-boro curhatmu didenger. Kalo udah jelas toxic, ya bye aja lah. Sebuah relasi itu saling,  bukan berjuang sendiri.   Bukan tugasmu memperbaiki orang-orang toxic ini tetapi membahayakan kesehatan mentalmu. 

Terakhir, paling laten dan berbahaya adalah toxic positivity, yakni  kondisi  seseorang mengesampingkan emosi negatif  dan hanya merasakan emosi positif saja. Mengacuhkan rasa sedih dan marah, serta langsung menutupinya dengan pemikiran positif.  

Memberi motivasi positif pada diri sendiri dan selalu berada di energi positif itu bagus, tapi bukan berarti dirimu tidak boleh merasakan emosi lain. Karena segala emosi itu sunatullah yang diberikan sang Khalik kepada makhlukNYA. 

Boleh jadi, ada rasa saat menekan emosi negatif dan hanya fokus ke yang positif membantu  kita untuk bisa tetap bersemangat. Eh, jangan salah ini malah berisiko tinggi memicu semakin stres karena tidak bisa menerima keadaan yang ada. 

Lathi memang secara harfiah adalah lidah, tetapi dalam otak kita yang tidak kalah kompleks dengan rangkaian galaksi di alam semesta ini sering kali membisikkan  "semua akan baik-baik saja",  "semua pasti  ada hikmahnya", iya sih itu bener tetapi terus-terusan membuat kita abai dengan emosi negatif, menyatakan  "fokus aja pada yang positif", "sudahlah, nanti akan lebih baik lagi, kok"demi hanya ingin merasakan emosi positif aja. Ujung-ujungnya kita selalu ingin mengekspresikan segala hal yang positif aja, lalu melalaikan kewaspadaan dan seringkali balik lagi ke lingkaran membuat diri merasa bersalah dan menyalakan diri sendiri lagi. Muter terus di lingkaran setan penyiksaan diri sendiri.

Maafkanlah diri sendiri

Sebulan ramadan ini, Maha Pemilik hati kita memberi kesempatan kita berkontemplasi melalui berpuasa dan menjalankan ibadah sebanyak-banyaknya. Dengan berpuasa IA mengajak ciptaanNYA mengenali dirinya sendiri, untuk menahan hawa nafsunya yang selalu ada di hati. 

Pengendalian kerakusan dilatih, Nafsu syahwat bahkan dengan pasangan sah direm sementara, ketamaakan dan kekikiran juga dibuang jauh-jauh dengan perbanyak sadaqoh, rasa malas juga ditekan dengan tetap ibadah meski dalam keadaan perut lapar, bahkan perbanyak ibadah di malam-malam yang meletihkan.  

Membuat diri ini menangisi kesombongannya, tak berani lagi memaklumi kedengkiannya. Semua penyakit hati dikenali, diterima baik dengan rasa sedih, malu, kecewa untuk dimusnahkan melalui puasa. 

Kemenangan puasa dirayakan dengan saling bermaaf-maafan dengan niat menjadikan diri kembali suci seperti baru lahir. Memusnahkan dendam terhadap siapapun yang pernah membuat kita tersinggung, marah ataupun  kecewa. Tetapi satu orang yang sering kita lupa untuk meminta maaf dan saling memaafkan, yakni diri sendiri. Padahal sebulan ini, kita diberi kesempatan untuk berdialog selama menjalankan ibadah puasa ini. Pergolakan batin saat ingin berbuat curang saat puasa membuktikan bahwa sebenarnya ada komunikasi dengan diri kita sendiri.

Memaafkan diri sendiri itu tak semudah mengucapkannya. Bahkan jauh lebih mudah memaafkan orang yang pernah paling kita benci seumur hidup kita. Memaafkan orang-orang yang pernah memberikan luka batin dengan trauma, baik yang disadari ataupun tidak. Tak pernah ada kata benci kecuali kita pernah cinta. 

Memaafkan orang yang kita benci itu mudah, cukup doakan. Meski ia tak pernah meminta maaf langsung kepada kita. Kita akan mudah memaafkannya dengan mendoakan kebaikan untuk dirinya. 

Persoalan muncul saat forgiven but not forgotten. Pergolakan batin saat mengingat, merasakan belum mencapai titik ikhlas memaafkan sesungguhnya. Bahkan dapat membuat kita menyalahkan diri sendiri. Tak dapat memaafkan diri sendiri yang telah declare memaafkan. 

Segala termaafkan jika kita telah selesai dengan diri memaafkan sendiri. Woles sajalah ya kalo kerennya ikuti filsafat stoa gitulah. 

He he masih ya kalo nyebut filosofi itu lebih keren yak, wkkk wkkk. Woles aja, dengan mempersiapkan diri kepada kemungkinan terburuk tanpa terbeban pikiran. Masalah itu diselesaikan, buat langkah preventif terhadap risiko dan korektif jika salah. Gagal? ya perbaiki lagi. Kedua, kendalikan saja apa yang dapat kamu kendalikan. 

Ya itu pikiranmu, ngapain kamu sibuk mikirin sesuatu yang diluar kendalimu, temanmu ngamukan gak sopan sama kamu, lalu sebar gosip kamu kemana-mana, woles aja. 

Gak usah sibuk provoki otakmu itu dengan bisikan-bisikan yang gak penting, terus nyalahin anak iblis deh kalo berbuat kejahatan. Lah dirimu dengan diri sendiri aja jahat. Woles untuk  dapat membedakan mana intepretasi dengan fakta. Jadi otakmu gak berisi segala intepretasi yang memberatkan, menangisi tragedi yang beberapa detik kemudian menjadi komedi. 

Pernah merasakan penganiayaan oleh diri sendiri seperti itu, ya udah maafkanlah dirimu yang dulu. Memang tak segampang itu.   Terkadang menyadari diri   kita telah toxic terhadap diri sendiri pun,  kita malah sulit menerima dan memaafkannya Tetapi semua bisa dimulai dengan melatih lathimu. 

Apapun bentuknya meski hanya menggumamkan di pikiran, diucapkan langsung atau tertulis di buku harian (masih ada gak yang nulis buku harian), sekadar media sosial, blog (apapun platformnya) ataupun jurnal. Karena segala dosa pun dimulai dari ucapan.  Sambil berdialog buat mulai memaafkan diri sendiri, yok dengerin lagu asyik satu ini. "Lathi". Penggemar tiktok kayaknya gak asing deh dengan lagu ini.

Selamat berpuasa dunia, Salam kompal selalu, Tetap Bahagia.

Kompal Lawan Corona
Kompal Lawan Corona

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun