Pengakumulasian atau penggabungan tindak pidana, anak hukum pidana mengenalnya dengan sebutan  concursus realis.Â
Beberapa tindak pidana yang dilakukan dalam waktu yang berbeda dan dilakukan oleh hanya satu orang. Meski peristiwa pidana itu terjadi berkali-kali, pelaku orang yang sama, ia tidak dapat dijatuhi pidana berkali-kali. Pidana yang dapat dijatuhkan kepadanya adalah sanksi terberat ditambah sepertiga.
Jika membaca sekilas perkara ini,Kasus Reynhard Sinaga ini hanya dapat dijatuhi pidana maksimal 7 tahun ditambah sepertiga jadi sekitar 9 tahun lebih. Untuk dipidana selama 30 tahun seperti yang dijatuhkan pada pengadilan Inggris sangat tidak mungkin.
Jarang sekali pengadilan menjatuhkan hukuman maksimum. Â Bayangkan dengan kelakuan baiknya,remisi dan bebas bersyarat dapat ia perolah dengan mudah. Kasus perbuatan cabul juga bukan kasus yang dipersulit untuk mendapatkan remisi.
Salah satu kutipan pernyataan Reynhard yang membuat bergidik adalah "saya melakukannya suka sama suka", sebuah pernyataan yang seolah menjadi pembenar sebuah perbuatan penyerangan kemanusiaan.
Pemerkosaan selama ini lebih dipandang sebagai serangan terhadap kelamin, tidak dibaca sebagai serangan terhadap harga diri kemanusiaan. Jangan heran jika masih ada yang menyalahkan korban sebagai pencetus peristiwa, atau komentar "ah..ikut enak juga kok" biasa ditujukan kepada korban pemerkosaan perempuan. Bagaimana jika laki-laki? Kasus Reynhard Sinaga ini apakah masih menjadikan kita berkomentar "laki-laki kok ada yang diperkosa?"
Kita saat ini masih diperhadapkan bahwa dalam pidana Indonesia, saat ini tidak mengenal pelecehan seksual. Hanya mengenal istilah perbuatan cabul.
Perbuatan cabul terhadap laki-laki dewasa, apalagi perkosaan terhadap laki-laki dewasa itu dianggap hal yang mustahil. Kerugiannya juga dianggap tidak ada karena laki-laki tidak akan mungkin hamil seperti korban perempuan yang mungkin saja hamil akibat pemerkosan misalnya. Karena memang kondisi hukum kita masih seperti itu, tidak ada perlindungan terhadap laki-laki dewasa jika mengalami pelecehan seksual.
Tetapi kasus Reynhard Sinaga jelas membuka mata kita bahwa kekerasan seksual dan pemerkosaan itu dapat terjadi kepada siapa saja. Jika aturan mengenai hal ini telah disesuaikan, sebagaimana aturan di negara-negara lain.
Hanya apakah kita semua siap mengubah mindset kita mengenai makna kata perkosaan?.
Ini sebuah pengandaian dari sudut kemungkinan aturan pidana yang dapat diterapkan, berandai-andai tenggelamnya kasus ini karena kemampuan kapital keluarga besarnya,atau malunya korban sehingga memilih tidak lapor, viralnya video korban (karena video porno hal dibenci tapi paling dicari di negeri ini), atau justru ratusan penasihat hukum yang akan menjadi jubir seperti kasus-kasus viral di Indonesia.Â
Semua bisa saja terjadi, peradilan ini tertutup selama dua tahun dengan sidang maraton di Ingris sana, dan baru terbuka setelah ada keputusan hukum tetap pun pemberitaannya sangat massif, lah saya saja sampai menulis mengenai kasus Reynhard Sinaga ini sampe dua kali, entah apakah akan ada tulisan lanjutan. He..he... Â Â