Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Cerita Pancasila

6 November 2019   20:36 Diperbarui: 6 November 2019   20:49 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama blogger dari berbagai daerah (Dok. Yudi Randa)


Sebagai sebuah ideologi tentulah kebenaran Pancasila adalah mutlak, tidak akan menerima ideologi lain.

Sedari kecil kita diberi pemahaman bahwa bangsa Indonesia hidup dalam keberagaman dan Pancasila sebagai pengikatnya baik sebagai dasar, pandangan hidup dan ideologi.  Tetapi dalam kenyataannya, dinamika sejarah bangsa ini menunjukkan Pancasila sebagai ideologi selalu diuji. 

Contohnya dalam Undang-Undang jelas bahwa setiap organisasi yang ada di negeri ini harus berdasar pada Pancasila namun pada kenyataannya justru sikap tindak beberapa organisasi tidak menunjukkan bagaimana Pancasila menjadi ideologi organisasi mereka. Pencantuman Pancasila dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi seolah hanya menjadi penggugur kewajiban semata.

Pancasila, Norma Dasar

Di sisi lain, Pancasila sebagai ideologi menjadikannya sebagai dasar dan sumber hukum yang berlaku di negeri ini. Dalam teori stufenbau Hans Kelsen menegaskan sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi dan kaidah hukum yang tertinggi berupa konstitusi harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm).  

Pancasila sebagai grundnorm menjadi dasar (sumber segala sumber hukum) berlakunya peraturan perundang-undangan di negeri ini.

Namun, tidak dapat dipungkiri bagaimana peraturan perundang-undangan di Indonesia yang sebagian besar warisan kolonial ini masih mengedepankan individualistik, belum lagi ratifikasi peraturan perundang-undangan yang seringkali kontradiktif dengan nilai-nilai Pancasila yang kita yakini. 

Panjang pula deretan peraturan perundang-undangan yang diadopsi dari negeri yang mengedepankan kemanusiaan dalam individualistik sebagai pandangan kemanusiaan Barat (humanisme Renaisance, humanisme Pencerahan yang melahirkan individualisme-Liberal, atau Pasca-humanisme, padahal Pancasila yang nilai-nilainya digali dari saripati nilai-nilai yang hidup pada bangsa ini mengenal kemanusiaan dalam balutan kebersamaan yang bersifat komunal yang merupakan kemanusiaan timur.   

Saya semakin skeptis terhadap Pancasila, semakin dipelajari semakin ribet.

Sejarah Panjang Pancasila

Mempelajari Pancasila memang tidak dapat melepaskan satu per satu, antara satu sila dengan sila lainnya dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh. Bagaimana kita saat kecil dicekoki untuk menghafal Pancasila bahkan butir-butir Pancasila yang semula 36 butir menjadi 45 butir, lalu membedahnya dalam ruang-ruang diskusi dengan melupakan satu hal yang krusial, yakni bagaimana sejarahnya.

Mata saya terbuka mengenai sejarah Pancasila ini kala saya mengikuti Persamuhan Nasional Pembakti Kampung 2019 pada tanggal 23-26 Oktober 2019  yang lalu bersama beberapa blogger dari penjuru Nusantara.

Pancasila bukan barang sekali jadi, rentetan sejarah panjang negeri ini memberikan kontribusi dalam pembentukannya. Saya terpana ketika sebuah perenungan tepat titik 0 KM, Mercusuar Cikoneng yang menjadi saksi kekejaman Gubernur Jendral Daendels mebangun jalan Anyer Panarukan yang menghubungkan tanah Jawa sekaligus titik pangkal modernisasi Jawa, juga bagaimana peristiwa Bencana dahsyat meletusnya Gunung Krakatau pun menjadi pemicu bagaimana pergerakan pesratuan Bangsa melalui Budi Utomo kemudian Sumpah Pemuda, hingga  Sidang BPUPKI, PPKI dan Proklamasi hingga puncaknya peristiwa mempertahankan kemerdekaan pada tanggal 10 Nopember 1945 yang menjadi hari Pahlawan.

Kondisi  jiwa saya bergetar hebat bermula mendengarkan fragmen pementasan  monolog pidato Soekarno 1 Juni 1945 yang ditampilkan dalam  acara pembukaan, Suasana begitu tenang kala fragmen  itu diperdengarkan,  hingga kami dapat mendengarnya secara seksama, Wawan Sofwan, membawakannya dengan begitu hidup seolah menghidupkan kembali spirit Bung Karno dalam monolognya. Membawa kami seluruh peserta persamuhan ini ke ruang sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.

Soekarno mengawali pidatonya itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggugah, dengan nadanya yang luar biasa  Soekarno sejak awal telah menegaskan ideology apa yang akan dipilih negara Indonesia merdeka "Nasional-Sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau Weltanschauung apakah?".

Kemudian beliau menyebutkan sila-sila Pancasila yang diusulkan lalu menguraikankan  kelima prinsip itu satu persatu dan menjelaskan kelima prinsip itu  itu saling berkaitan,  sembari menghimbau para anggota BPUPKI untuk mendirikan sebuah negara buat semua, bukan buat golongan atau individu. Sebuah slogan pun ia "satu buat semua, semua buat satu" dimana dalam pidatonya ini pula Soekarno menegaskan bahwa  dasar yang cocok bagi negara Indonesia merdeka adalah gotong-royong bukan kekeluargaan dalam pidatonya :

"Sebagai tadi telah saya katakan,  kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia - semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan "gotong-royong". Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!

Gotong Royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong! Prinsip Gotong Royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara".

Jleb, entah perasaan apa yang saya rasa, saya seolah dibawa dalam suasana bagaimana  perdebatan yang panjang dan melelahkan sila-sila ini hadir dalam kelanjutan pidato Soekarno menyatakan :

"Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada".

 Pidato menggetarkan ini mengingatkan saya bahwa Pancasila sebagai dasar negara, philosofische grondslag atau weltanschauung ini telah menjadi perdebatan sejak dasar negara di BPUPKI pada tahun 1945 hingga sekarang, dalam berbagai ujian-ujiannya menjadi ideologi Negara ini Pancasila merupakan sebuah bukti kongkret  bahwa bangsa yang majemuk ini pernah dan senantiasa  berusaha bersatu. Satu buat semua, semua buat satu. Bhinneka tunggal ika.

Pancasila, Jiwa Rakyat

Ikut merasakan bagaimana cerita panjang Pancasila dengan sejarahnya  membuktikan bahwa Pancasila merupakan volkgeist (jiwa rakyat) sebagaimana  yang dikembangkan dalam mazhab sejarah Friederich C.Von Savigny. Pancasila lahir melalui proses evolusi tanpa perlu didesain oleh kekuasaan manapun, lahir dari perjalanan historis karena adanya kesamaan hidup masyarakat dalam satu kesatuan ruang dan waktu.

Posisi Pancasila dalam tatanan hukum positif Indonesia  memang selalu akan ada dalam ruang-ruang diskusi dengan berbagai konklusi dan tesis yang senantiasa selalu terbuka untuk dikritisi, tetapi Pancasila bukan hal statis yang hanya untuk diamati. Pancasila itu sebuah nilai dinamis yang akan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Karena itu memahami Pancasila tidak dapat dilakukan dalam ruang-ruang tertutup melainkan pada ruang-ruang terbuka bersama masyarakat yang senantiasa terus hidup dan menghidupkan Pancasila, dan itu semua berada di kampung-kampung kita sendiri.

Karena susungguhnya Pancasila itu sebuah rasa.

Pancasila bukan hanya sesuatu yang dimaknai dan diperdebatkan dengan otak kiri dan kanan, memahami Pancasila membutuhkan sesuatu yang lebih melibatkan perasaan.  Jika kamu belum merasakannya, coba rasakan carilah dengan menguatkan rasa Pancasilamu, yok bagikan cerita pancasila yang kamu rasa.

Selamat malam Kompasianer, tetap bahagia.

Dok. Kompal
Dok. Kompal
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun