Mempelajari Pancasila memang tidak dapat melepaskan satu per satu, antara satu sila dengan sila lainnya dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh. Bagaimana kita saat kecil dicekoki untuk menghafal Pancasila bahkan butir-butir Pancasila yang semula 36 butir menjadi 45 butir, lalu membedahnya dalam ruang-ruang diskusi dengan melupakan satu hal yang krusial, yakni bagaimana sejarahnya.
Pancasila bukan barang sekali jadi, rentetan sejarah panjang negeri ini memberikan kontribusi dalam pembentukannya. Saya terpana ketika sebuah perenungan tepat titik 0 KM, Mercusuar Cikoneng yang menjadi saksi kekejaman Gubernur Jendral Daendels mebangun jalan Anyer Panarukan yang menghubungkan tanah Jawa sekaligus titik pangkal modernisasi Jawa, juga bagaimana peristiwa Bencana dahsyat meletusnya Gunung Krakatau pun menjadi pemicu bagaimana pergerakan pesratuan Bangsa melalui Budi Utomo kemudian Sumpah Pemuda, hingga  Sidang BPUPKI, PPKI dan Proklamasi hingga puncaknya peristiwa mempertahankan kemerdekaan pada tanggal 10 Nopember 1945 yang menjadi hari Pahlawan.
Kondisi  jiwa saya bergetar hebat bermula mendengarkan fragmen pementasan  monolog pidato Soekarno 1 Juni 1945 yang ditampilkan dalam  acara pembukaan, Suasana begitu tenang kala fragmen  itu diperdengarkan,  hingga kami dapat mendengarnya secara seksama, Wawan Sofwan, membawakannya dengan begitu hidup seolah menghidupkan kembali spirit Bung Karno dalam monolognya. Membawa kami seluruh peserta persamuhan ini ke ruang sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.
Soekarno mengawali pidatonya itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggugah, dengan nadanya yang luar biasa  Soekarno sejak awal telah menegaskan ideology apa yang akan dipilih negara Indonesia merdeka "Nasional-Sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau Weltanschauung apakah?".
Kemudian beliau menyebutkan sila-sila Pancasila yang diusulkan lalu menguraikankan  kelima prinsip itu satu persatu dan menjelaskan kelima prinsip itu  itu saling berkaitan,  sembari menghimbau para anggota BPUPKI untuk mendirikan sebuah negara buat semua, bukan buat golongan atau individu. Sebuah slogan pun ia "satu buat semua, semua buat satu" dimana dalam pidatonya ini pula Soekarno menegaskan bahwa  dasar yang cocok bagi negara Indonesia merdeka adalah gotong-royong bukan kekeluargaan dalam pidatonya :
"Sebagai tadi telah saya katakan, Â kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia - semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan "gotong-royong". Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!
Gotong Royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong! Prinsip Gotong Royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara".
Jleb, entah perasaan apa yang saya rasa, saya seolah dibawa dalam suasana bagaimana  perdebatan yang panjang dan melelahkan sila-sila ini hadir dalam kelanjutan pidato Soekarno menyatakan :
"Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada".
 Pidato menggetarkan ini mengingatkan saya bahwa Pancasila sebagai dasar negara, philosofische grondslag atau weltanschauung ini telah menjadi perdebatan sejak dasar negara di BPUPKI pada tahun 1945 hingga sekarang, dalam berbagai ujian-ujiannya menjadi ideologi Negara ini Pancasila merupakan sebuah bukti kongkret  bahwa bangsa yang majemuk ini pernah dan senantiasa  berusaha bersatu. Satu buat semua, semua buat satu. Bhinneka tunggal ika.