Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Kado Terindah] Biru

4 Oktober 2019   14:13 Diperbarui: 4 Oktober 2019   14:13 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ari menghitung kembali uang yang ada di tangannya. 130 ribu rupiah, mungkin bagi sebagian orang uang itu angka yg kecil, tetapi tidak bagi Tari.
Perlu waktu hampir dua minggu untuk  memastikan uang itu terkumpul.

Ah andai Hendra memberitahukan kepadanya jauh-jauh hari ia akan KKN di Kisam Tinggi, desa yang terletak di Kabupaten Ogan Komering Ulu.
Ari yang lahir dan besar di Palembang pun baru mengetahui jika Kisam Tinggi yang berada di Muara Dua Kisam berbeda area dengan Muara Dua, ataupun Baturaja, Ibukota OKU.

Ari mengira desa itu berada di aliran Sungai Komering. Ia baru menyadari bahwa Kisam Tinggi berada di Bukit Barisan Sumatera Bagian Selatan.
Ah.... Mengapa Hendra mendapat tempat lokasi KKN di wilayah suku pasemah yang terkenal cantik. Dataran tinggi berudara dingin memang ditenpati oleh para keturunan bidadari.

Banyak perempuan iri dengan warna kulit mereka yang putih bening, jika tersenyum wajah mereka bersemu merah alami tanpa sapuan blush on, apalagi jika malu-malu ditegur anak kota.

Putih kuning kulit mereka dambaan perempuan melayu umumnya, bukan putih seperti perempuan bule.
Tapi putih bersih flawless kalo kata anak zaman sekarang.
Loh mengapa pikiran semacam ini terbersit di benak Ari.

Dia tidak punya hak cemburu pada Hendra. Dia hanya anak perempuan yang menyimpan cinta monyetnya sejak kelas 5 SD hingga semester 5 pada laki-laki yang dikaguminya itu.

Secret admire, rasanya tak pantas juga julukan itu dia pegang. Sekampungnya tahu bahwa Ari putri Pak Anwar telah lama jatuh hati pada Hendranata Kesuma putra Pak Najib Kesuma.

Bu Najib dan anak-anaknya juga tahu persis soal itu. Hanya  Hendra yang tak sadar adik kelasnya yang tomboy tempat ia curhat, yang menemani kemana saja saat ia apel pertama, membantunya menelponkan teman-teman perempuan. Ya.. kala itu tidak semua Ayah memperbolehkan anak gadisnya menerima telpon dari teman laki-lakinya toh?

Ari juga seringkali mengantongi puluhan koin, dengan segera memberikan ke Hendra yang menelpon dari telpon umum agar obrolan dengan cewek yang dikecenginnya tidak terputus.

Sebuah jaket biru terbungkus dengan rapi. Ari menyerahkan bungkusan itu kepada Hendra yang tengah packing di kamarnya.
"Apaan sih, pake kado segala, aku cuma berangkat beberapa minggu kok", komentar Hendra kala menerima bungkusan itu.
" Buka aja, siapa tahu butuh"sahut Ari  sok cuek.
Hendra merobek bungkusan itu "Lagi borju ya?"  ucap Hendra menyindir.
" Jangan sok tahu lah, itu hasil bantu ketik beberapa makalah temen"sahut Ari.
 "Di sana dingin, nanti bengeknya kumat lagi".
" Ha ha aku udah lama gak kumat asthma, lagian peristiwa di SD diingat-ingat terus" sahut Hendra sewot.
"Ya minimal bisa gaya lah" tukas Ari.
"Iya, makasih. Aku pake" jawab Hendra dengan wajah yang dekat sekali. Tari tak mampu menguasai degub jantungnya.
Ibu Hendra muncul "ya ampun anak gadis sama anak bujang ada di kamar berdua aja, kalian udah gede beda dengan dulu" celoteh Ibu.
"Santai Mom, kita udah mati rasa. Lagian anak Mommy ini normal, gak naksir lah sama anak cowok kayak Ari", Hendra berseloroh.
" Tapi aku naksir"sahut Hendri yang muncul tiba-tiba dan duduk di samping Ari.
"Sayang orangnya gak peduli" sambung Hendri melirik ke arah Ari, tapi suaranya tegas mengarah ke Hendra.
"Widihhh... ada yang ngasih kado baju nih. Gak takut kalian akan pisah jauh nih? Baguslah,kalo pisah kan aku bisa makin dekat" celoteh Hendri.
_________________
"Kamu cantik  juga ya pake kebaya" bisik Hendra ke telinga Ari yang datang dari arah belakang.
"Hei, apa kabar Kak?, udah tiga tahun gak ketemu" sahut Ari, datar tanpa ekspresi berarti.
"Hei...hei..tolong jangan ganggu pasangan saya, Pak" tiba-tiba Hendri muncul di hadapan mereka.
"Pasangan?" Hendra menatap Ari.
"Mauku sih gitu,Bang. Entah ke berapa ratus kali aku ditolak, ini aja sebagai penerima tamu dipaksa-paksa Kak Rubka, untungnya Mas Bayu masih di Jakarta, jadi bisalah aku sehari ngerasa jadi pasangan dia" celoteh Hendri tetap dengan gaya tengilnya.
"Ah... Gadis dan bujang tua kita ya, duduk di sini sebagai single di resepsi pernikahan adik perempuan kita. Ari sih bulan depan udah gak single lagi" Hendri terus berceloteh.

Hendra yang seharusnya larut dalam suka cita resepsi pernikahan adik perempuannya itu tiba-tiba merasakan kekosongan.
Ternyata kosong jauh lebih pedih dari sakit hati. Ia mencoba mencerna celotehan Hendri, adiknya yang ia tahu dari dulu jatuh hati pada Ari.
Lalu siapa Bayu? Ia mengingat-ingat, ya Tuhan itu nama teman akrab SMA-nya Ari. Ari dan Bayu kakak kelas Hendri saat SMA.  Hendri memang sejak SD satu sekolah dengan Ari, sedangkan Hendra hanya satu sekolah dengan mereka saat SD dan SMP.

Lintasan peristiwa yang terekam si benaknya diulang-ulang. Bagaimana ia berjumpa dengan Ari yang pingsan saat upacara bendera di kelas IV, bagaimana Ari membawakan bekal lebih saat kelas I SMP agar Hendra dapat mengikuti les tambahan, bagaimana ia berpanas-panasan menunggu Hendra turun dari angkot, bagaimana ucapan Saras, mantan pacarnya mengatakan ia tak mampu mengalahkan cinta Ari pada Hendra, ratusan kenangan melintas dengan cepat.

Hingga ia teringat saat Hendri meminta jaket biru donker pemberian Ari.
"Biarkan Adekmu merasakan pura-pura mendapat kado teristimewa dari perempuan yang dicintainya", entah mengapa ucapan Hendri yang kala itu bagai angin lalu terngiang-ngiang di telinga Hendra saat ini.

Saat tamu telah pulang, hanya keluarga inti Hendra dan Ari tengah bercengkrama di ruang tengah.
" Ari, aku mau ngomong sesuatu denganmu. Berdua saja" tukas Hendra di hadapan keluarganya.
"Sila Abang ngomong di sini saja, biar semua dengar" sahut Hendri.
"Ini privasi Ndri, saya butuh bicara ini dengan Ari" jawab Hendra menatap tajam ke arah Hendri.
"Kami sudah menebak kok, Bang. Kebetulan soal perasaan memang cuma Abang yang punya privasi. Kalo aku dan Ari, semua yang ada di sini tahu".
Hendra terdiam ia menatap Ari,        " Ri,aku selama bertahun di negeri orang hanya ingin mempersembahkan sebuah kado istimewa bagimu. Aku berharap dapat memberikannya di hari ulang tahunmu bulan depan. Tapi aku tak kuasa menahannya lagi" Ucapnya dengan sedikit terbata-bata.
Hendra mengeluarkan sebuah kotak kecil yang berisi sebuah cincin dengan namanya terukir di sana.
"Aku ingin menyerahkan diriku seutuhnya sebagai kado untukmu"sambungnya.
Ari tersenyum, senyum tulusnya memang tak tertandingi siapapun. Dari dulu Hendra tahu itu, meski ia tak pernah berani mengungkap.
"Makasih Kak, tak ada kado terindah selain yang kamu ucapkan 6 tahun lalu, sebelum kamu KKN" sahut Ari dengan senyumnya.
Lalu ia melanjutkan obrolan dengan keluarga Hendra

Hendra terdiam, ia menatap Mama, Papa, Kak Ribka, Hendri yang juga terus mengobrol dengan Ari,  mengabaikan Hendra dengan rencananya untuk mengucapkan dua kalimat "Aku mencintaimu" yang disambung dengan "menikahlah denganku".
Semua bayangan indah itu musnah bahkan sebelum disampaikan.

Hendra tak pernah tahu jika 6 tahun lalu kalimat
"anak Mommy ini normal, gak naksir lah sama anak cowok kayak Ari" membawa Ari ke sebuah klinik psikiatri.
Bertahun pula Pak Najib dan Bu Najib menyemangati Pak Anwar dan bu Anwar, demikian pula dengan Rubka dan Hendri pun secara bergantian menemani Bu Anwar yang tidak henti-hentinya menangisi keadaan anaknya hingga Tuhan memulihkan Ari dengan Bayu yang senantiasa setia menjaganya.
_____________________
Hendra menatap Ari yang tengah menjemput anaknya TPA di masjid depan rumah Hendra. Satu windu jaraknya sejak terakhir ia jumpa Ari. Ari yang segera menyadari kehadiran Hendra pun menegurnya dengan ramah
"Hai Kak, apa kabar?" Ari menyalami Hendra, "Arka, kenalin ini Oom Hendra" ucap Ari kepada anak laki-laki berusia 7 tahun di hadapan Hendra.
"Jagoanmu dan Bayu?" tanya Hendra
"Iya, satu-satunya" sahut Ari. Arka yang berlari mendahului membiarkan Ari dan Hendra berjalan berdua, menyusuri jalan kampung yang belasan tahun lalu mereka lalui sepulang sekolah.
 "Maaf, tak bisa hadir di hari-hari bahagiamu dan tak dapat memberimu kado, padahal dari kita SD setiap momen pentingku, kamu selalu kasih kado ke aku, bahkan sampai saat ini"ucap Hendra.
" Ha ha... Apaan sih, kan kado gak perlu berbalas-balasan" sahut Ari tertawa.
"Istriku kagum padamu, kado-kado yang kamu berikan sejak pernikahan kami, sampai kelahiran anak kedua kami selalu unik dan eksklusif, kamu merencanakannya selalu dari jauh-jauh hari ya?" Tanya Hendra.
 "Ari, andai kamu membalas cintaku, tak perlu kita menjalani kehidupan yang aneh ini lagi. Aku mencintaimu Ari, sejak kita kecil hingga hari ini" sambung Hendra.
Ari menghentikan langkahnya ia menatap Hendra
 "Kakak, mengetahui bahwa kamu mencintaiku adalah kado terindah yang Tuhan berikan setelah Arka, terima kasih" tukas Ari.
"Mengapa kamu tidak pernah membalas cintaku, Ari?" ucap Hendra.
"Aku membalasnya Kakak, dengan mencintai orang-orang yang kamu cintai" sahut Ari.

Hendra kembali terdiam, ia mengumpat mengapa Tuhan tidak menganugerahinya kado kehidupan berupa Ari yang mencintainya atau membalas cintanya.
" Tuhan telah menyiksaku bertahun-tahun dalam cinta yang senyap dalam hati yang biru"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun