Apa sih yang terlintas di benakmu jika mendengar kata perubahan iklim, emisi gas rumah kaca, mitigasi, pengelolaan hutan lestari dan eco lifestyle?. Boleh jadi ribuan peta konsep dengan berbagai kerangka teori yang rumit langsung silih berganti muncul pada memorimu atau justru kata bodo'amat yang tertanam di benakmu.Â
Demikianlah yang sempat terlintas di benak saya saat mengikuti forestalk Menuju Kelola Hutan Lestari pada hari sabtu tanggal23 Maret 2019 yang lalu, keseruannya dapat dibaca di :
Lestari Hutan, bukan "Cawa" bagi Warga di URL dan IRL
Hubungan ibu dengan lingkungan sekitar sesungguhnya suatu nilai universal, salah satunya dengan metafora alam sebagai "mother of nature", hal ini juga berlaku di Indonesia dengan metafora "Ibu Pertiwi". Pun sejak zaman nenek moyang, pengetahuan pengelolaan alam termasuk pengelolaan hutan lebih banyak dikuasai dan diwariskan secara turun temurun melalui Ibu.
Tidak dapat dipungkiri, perkembangan teknologi hingga saat  ini  di era disrupsi teknologi 4.0 telah mengubah lanskap, yang juga mengubah budaya dan cara pandang manusia terhadap alam. Saat ini alam untuk dieksploitasi secara massif untuk keperluan industri dan dinilai dengan uang.
Impian teknologi akan lebih mempermudah hidup seperti yang kita jalani adalah impian semua ibu di masa lalu. Namun, kepraktisan ini dibayar dengan harga yang sangat tinggi berupa keberlanjutan lingkungan. Termasuk efek penggunaan plastik yang sangat masif membutuhan upaya prevensi yang massif pula bukan sekedar reduce, reuse, recycle , replace seperti selalu ingat (remember) membawa kantong belanja yang lebih ramah lingkungan saat belanja di warung atau pasar.
Salah satu upaya yang dapat kita lakukan adalah sedikit mengubah gaya hidup untuk lebih eco friendly dengan memanfaatkan produk-produk kehutanan non kayu yang dihasilkan oleh masyarakat sekitar hutan dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak produk yang ditawarkan baik dari  binaan perusahaan swasta seperti produk-produk dari berbagai Desa Makmur Peduli Api, produk-produk BUMDes dan kemitraan dari berbagai KPH di Sumsel, ataupun produk-produk binaan perguruan tinggi dan pemerintah/pemerintah daerah  serta masyarakat sipil bahkan usaha mandiri dari masyarakat itu sendiri. Hanya memang perlu sedikit usaha lebih untuk mengaksesnya.
Baca :Ngemil Produk Rawang, ikut Kontribusi Selamatkan Gambut Sumsel
Persoalan utama bagi para penggerak ekonomi kehutanan semacam ini adalah pemasaran. Meski potensi pangsa pasar mereka cukup luas  tetapi menjualkan produk mereka bukan persoalan yang mudah di tengah melawan persaingan produk industri masal.