Baca juga : Â Ngemil produk rawang, Ikut Kontribusi Selamatkan Rawa Gambut Sumsel
Masalah lain yang dialami oleh sosiopreneur adalah pemasaran. Boleh jadi media promosi gratis melalui media sosial tetapi sasaran pemasaran yang masih langka.
Sustainable living ataupun eco lifestyle belum menjadi trend keluarga di Indonesia, ditambah kendala persaingan harga dengan produk massal. Karena memang produk ini masih home industry dan masih skala usaha kecil mikro dan kecil menengah (UMKM).
Pemanfaatan kuliner ataupun yang mengutamakan produk-produk  keberlanjutan lingkungan yang berbasis masyarakat belum menjadi pilihan utama, bahkan boleh dikatakan sama sekali belum menjadi awareness bersama di masyarakat Indonesia.
Jangankan untuk memilih produk demikian, terkadang masyarakat lebih memilih buah impor dibandingkan buah lokal.
Padahal jika dilihat dari kandungan nutrisi buah tropis jauh lebih baik, belum lagi risiko pengawet yang bagi orang tertentu dapat memunculkan reaksi alergi. Apalagi jika kita perbandingkan jejak karbon yang ditinggalkan oleh distribusi buah impor dibandingkan dengan buah lokal. Mebuat kita perlu mempertimbangkan produk yang kita konsumsi.
Tentulah ini tidak berbatas pada buah nanas, banyak pilihan buah lokal yang dapat kita nikmati setiap hari seperti pepaya dan semangka, juga buah naga yang sekarang banyak diproduksi di berbagai penjuru nusantara termasuk gambut dan sekitar hutan Sumsel.
Banyak buah musiman yang selalu kita rindukan sebut saja durian, duku, manggis, aneka mangga dan sebangsanya seperti embem, kueni, kasturi dan kemang (duh...elap iler), rambutan dan banyak lagi buah tropis bahkan mungkin banyak yang tidak pernah kamu sadari keberadaannya karena mulai langka, yang dihasilkan oleh masyarakat sekitar hutan yang dapat kamu eksplorasi.
Menikmati aneka buah lokal akan menjadi petualangan bukan hanya pada rasa, tetapi juga pada pengalaman karsa dan cipta dalam sensasi mengolah dan memanfaatkannya.
Sebuah pepatah "Kamu, adalah apa yang kamu makan" dan "piringmu adalah cerminan dirimu" dapat dijadikan sebuah motivasi memandang makan bukan hanya untuk memanjakan lidah mengenyangkan perut, tetapi dapat bermakna sebagai wujud cara sederhana mencapai bahagia. Boleh jadi banyak pihak akan menyatakan bahagia itu subjektif sekali, pada perasaan.
Tetapi, dalam Sustainable Development Goals Piramid ada 3 dimensi kebahagiaan, bagaimana hubunganmu dengan keluarga, dengan lingkungan dan dengan Tuhanmu, dan secara sederhana dapat diukur pada pola makan kita.Â