Baru sehari usai debat capres yang mengangkat tema Hukum,HAM, Terorisme dan Korupsi, publik dikejutkan kabar yang terkait dengan tiga tema besar yang diangkat dalam debat putaran 1 tersebut( Hukum, HAM dan Terorisme), Â berupa kabar pembebasan tanpa syarat Abu Bakar Ba'asyir (ABB), terpidana kasus terorisme.
Alasan kemanusiaan karena kondisi kesehatan beliau yang memburuk di usia 81 tahun menjadi dasar persetujuan Jokowi membebaskan AAB atas rekomendasi seorang advokat  (pilpres capres nomor 01) , yang dikenal sebagai ahli hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra.
Polemik pro dan kontra dengan nuansa politis karena keputusan yang diambil di tahun politis ini pun bermunculan. Bahkan berbagai analisis penolakan ada campur tangan Jokowi sebagai presiden dalam kebijakan ini pun ditolak dengan hitungan bahwa memang ABB telah melewati masa tahanan yang diperkenankan untuk pembebasan bersyarat.
Mereka tidak salah hitung,memang ABB per tanggal 18 Desember 2018, satu bulan lalu telah berhak untuk mengajukan pembebasan bersyarat, tetapi sebagaimana kita ketahui bersama bahwa beliau telah menolak untuk mengajukan permohonan apapun, baik pengajuan pembebasan bersyarat ataupun grasi.Â
Dengan alasan jika ia mengajukan permohonan, artinya ia mengakui bersalah dan sama sekali ia tidak merasa bersalah atas tuduhan sebagai pelaku tindak pidana terorisme meski ia telah menjalani 9 tahun pidana atas hal tersebut.
Saya tidak akan memihak baik pro dan kontra apalagi terkait dengan isu politik, saya hanya tergelitik dengan mekanisme pembebasan tanpa syarat ini.
Kemarin banyak yang menebak bahwa mekanismenya adalah Amnesti (pengampunan oleh presiden), karena grasi tidak mungkin sebagaimana dijelaskan sebelumnya AAB menolak menandatangani permohonan bentuk apapun.
Amnesti memang hak seorang presiden di bidang yudikatif. Namun jangan lupa, jika hal ini dulu adalah kewenangan absolut presiden. Saat ini harus melalui persetujuan  DPR.UUDNRI 1945 menegaskan hal itu dalam pasal 14 (2) yang berbunyi : " Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat".
Meski UUD 1945 telah empat kali diamandeman, Peraturan Perundang-undangan mengenai amnesti masih menggunakan UU Darurat No.11/1954 tentang Amnesti dan Abolisi, dimana di dalam UU itu pun tidak secara tegas menjelaskan pengertian amnesti.
Dalam UU tersebut menegaskan bahwa Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman (saat ini Menteri Hukum dan HAM).
Hari ini dikabarkan bahwa pembebasan ABB ini ternyata bukan amnesti sebagaimana yang diperkirakan banyak pihak. Karena pembebasan ini telah ditentukan tanggalnya, jika menggunakan mekanisme amnesti maka akan membutuhkan prosedur yang memakan waktu lama yang melibatkan persetujuan DPR, karena konstitusi mewajibkan hal tersebut.
Mekanisme yang diambil adalah mekanisme luar biasa,  yakni  dengan pembebasan bersyarat yang diringankan syaratnya, yang disebut Yusril sebagai pembebasan tanpa syarat.
Karena pembebasan bersyarat diatur dalam peraturan menteri dimana terpidana terorisme wajib mengajukan permohonan, juga menandatangani pernyataan setia pada Pancasila dan mengakui kesalahannya, yang merupakan hal fundamental yang ditolak oleh ABB.
Presiden  melakukan diskresi, Logika yang dipergunakan adalah Menteri adalah bawahan presiden sehingga aturannya dapat dikesampingkan dengan kebijakan presiden.Â
Kewenangan diskresi  diatur alam pasal 1 angka 9 UU No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan " diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan". Ingat, pemerintahan dalam arti lembaga eksekutif.
Benar-benar luar biasa, belum 24 jam dalam debat publik ia menjamin adanya kepastian hukum dengan meminimalisasi tumpang tindih aturan hukum, tetapi mengambil kebijakan luar biasa yang menyerempet bidang yudikatif.Â
Kita semua tahu bahwa Presiden adalah penguasa tertinggi bidang eksekutif jika kita bicara teori trias politica Montesquieu, pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) adalah amanah konstitusi yang tidak dapat ditawar lagi sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Oleh karena  Hukum menjadi sebuah sistem di masyarakat di berbagai bidang.
Sebagaimana dijelaskan oleh R.Subekti menjelaskan bahwa sistem hukum adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, satu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran, untuk mencapai suatu tujuan.Â
Sementara itu, Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa sistem hukum adalah kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.Â
Lili Rasjidi dan I.B.Wyasa Putra, lebih jauh mengatakan pada hakikatnya sistem hukum merupakan suatu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub sistem yang kecil, yaitu sub sistem pendidikan, pembentukan hukum,penerapan hukum dan lain-lain, yang hakikatnya merupakan sistem tersendiri dengan proses-proses tersendiri pula. Hal ini menunjukkan sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.
Di satu sisi, penegakan hukum pidana merupakan salah satu fungsi dari sistem hukum sebagai sarana social control, yang dapat dijalankan dengan Sistem Penegakan Hukum Pidan, dimana  Sistem Penegakan hukum pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum. Kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum ini diidentikan pula dengan istilah "kekuasaan kehakiman" yakni kekuasaan yudikatif.Â
Pembebasan  narapidana ini (masih) ranah  sistem peradilan pidana yang memang harus diakui masih bolong di sana-sini, tetapi jika ada bolong sebaiknya ditambal dan disulam, bukan malah dikoyak lebih lebar dengan kesewenang-wenangan pemerintah yang ranahnya adalah eksekutif.
Benar, karena sifatnya yang terlalu formal apabila  hanya dilandasi untuk kepentingan kepastian hukum saja, akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Padahal fungsi hukum secara ideal adalah untuk kepastian hukum,keadilan dan mencapai kesedapan hidup bersama. Namun, demi precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum,salah satunya dengan patuh pada mekanisme hukum yang telah ditentukan.
Diskresi luar biasa ini menunjukkan keredahan hati terlalu rendah, memberi sesuatu yang tidak pernah diminta oleh terpidana. Tetapi di sisi lain menunjukan kediktatoran seorang presiden untuk campur tangan di bidang penegakan hukum pidana yang merupakan fungsi yudikatif.Â
Tidak terbantahkan bahwa Kemenkumham dimana Dirjen Pemasyarakatan berada di bawah presiden, tetapi dalam hal ini Lembaga pemasyarakatan menjalankan fungsi yudikatif ( yang memang dari sisi ketatanegaraan UU mengenai pemasyarakatan adalah UU yang belum direvisi, yang juga memunculkan beragam pertanyaan mengenai kewenangannya dalam Sistem Peradilan Pidana, namun itu akan dibahas dalam bahasan lain).Â
Karena kemenkunham menjalankan fungsi yudikatif, maka seharusnya dan memang harus , presiden selaku eksekutif TIDAK turut campur dalam hal ini.Â
Ada jalan keluarnya, Ikuti aturan yang ditetapkan oleh konstitusi kita, yang memberi kewenangan presiden selaku eksekutif dalam fungsi yudikatif adalah dengan mekanisme amnesti.
Pembebasan tanpa syarat ini dalam pemahaman saya dapat terindikasi pelanggaran konstitusi  yang tidak menutup kemungkinan menjadi alasan DPR menjatuhkan impeachment kepada presiden.
Meski saya harap tidak demikian yang akan terjadi.
Selamat malam minggu kompasianer.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H