Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Werewolf Hago Representasi Demokrasi Kita?

7 November 2018   11:15 Diperbarui: 7 November 2018   12:56 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak saya install Hago, ada semacam kegiatan rutin dari si Bujang. Dia meminjam handphone saya untuk main selama beberapa menit, yang sering molor juga , hampir satu jam.

Biasanya dia langsung lapor dengan menunjukkan PR yang telah selesai dibuat (Dia sekolah di sekolah negeri yang kata beberapa teman saya  dengan istolah "tidak seberapa" itu, PR nya tentu tidak sebejibun sekolah yang akreditasi luar biasa itu).  

Jadi, emaknya  tinggal emaknya validasi aja demi bisa main HAGO. Keberuntungan  tengah berpihak pada dia minggu ini, dia tidak masuk dalam "terhukum" karena teman-temannya sedang sibuk membuat denah dan peta sederhana.

Awalnya dia main game biasa, ular tangga, ludo, congklak, percikan jus. Lama-lama ia bosan lalu beralih ke game Medan Perang Otak, yang lebih banyak emaknya yang menjawab. Lumayan buat latihan membaca cepat. Dia sih Cuma senang lihat yang salah terbunuh secara brutal, kalo gak masuk jurang, dilindas batu atau diseruduk monster banteng.

"Lucu-lucuan kok menyeramkan, Kak" gerutuku yang dibales cengar-cengir, mau gimana lagi lah komedi di film kartun yang dia tonton juga banyak yang lebih dark kok.

Tiba-tiba dia tertarik dengan permainan werewolf, di Hago permainan ini terdiri dari 2 game, 7 pemain atau 9 pemain.

Permainan werewolf ini sebenarnya permainan offline juga, killing time terhebat karena bisa berjam-jam permainannya.Karena saat offline biasanya GOD (moderator permainan) membiarkan perdebatan tanpa dibatasi waktu,  berbeda dengan permainan online yang waktunya terbatas. Pembahasan pun lewat chat.

Saya hanya tertawa saat dia main game, lah dia belum lancar text chat, karena memang jarang pegang hape.  Jalan keluar dia adalah voice chat.

Makanya dia senang saat ia berperan menjadi "werewolf", dengan suara anak-anaknya dia selali bilang "jangan bunuh aku dong Kak, aku mau main sampe akhir", and it works. Saya menjadi ngeri ketika dia dengan santai bilang " Kok Kakak Nomor 3 vote yang baik, dia WW tuh, vote"katanya tanpa  suara ragu.

Meski yang difitnahnya membela diri, seringkali terlambat. Ia digantung oleh warga lain dan warga defeated. Dia senang bukan kepalang karena tim dia bisa menang. Dia paling kesal kalo berperan sebagai warga, karena ia tidak bisa buat apa-apa.

"Malah kakak harus baca chatnya, sebagai warga malah penentu loh, seperti demokrasi dalam pemilu"komenku, civic education sederhana nih ceritanya.

"Iya kalo PW (Penerawangnya) dan Pj (Penjaga)nya pinter Nda, tahu  tugas mereka. Lah ini sudah dibunuh baru chat "kok kill gue, gue PW, lah kita  warga jadinya saling bunuh karena tanpa klu (clue maksudnya ya Oom dan Tante).

Melihat si Bujang main werewolf fi Hago kok aku langsung terasosiasi dengan situasi politikdi negeriku yang semakin menyebalkan, sudah persis kayak permainan werewolf di Hago. Game ini hanya tata caranya saja yang diikuti, esensi permainan sesungguhnya menjadi jauh lebih berkurang, yakni diskusi dan interaksi antar warga membahas isu yang dilempar kepada mereka.

Jika permainan offline dengan kartu dapat melihat gesture, dengan aplikasi tentu saja ini sulit, terlebih waktu diskusi permainan sangat dibatasi.

Ketika warga "hanya" bertugas untuk voting agar tidak salah pilih, tentu membutuhkan informasi akurat dari Penerawang, yang kadang lebih sering terbunuh sia-sia sebelum mampu memberi petunjuk karena penyihir lebih gemar menebar racun daripada menyelamatkan pembawa berita kebenaran.

Lebih menyakitkan lagi kala permainan penyihir salah meracuni, meracuni pemburu dan pemburu menembak warga. Tim Orang baik kalah telak, bahkan werewolf belum bersusah payah.

Permainan sederhana ini seolah representasi situasi demokrasi yang katanya hanya sebagai alat untuk mencapai kemakmuran rakyat, bahwa demokrasi bukan tujuan. Apa iya? Kok makin pesimis ya saya.  

Karena demi demokrasi politisi berkejaran dengan rating sinetron , mereka melempar drama, kisah yang seolah terbalut berita meski tanpa validasi, membuat emak macam saya yang civic educationnya entahm sulit membedakan mana yang memang data tervalidasi atau hanya dibuat untuk menciptakan keresahan, sehingga menciptakan kelompok "gue gak ikut-ikutan" alias ngaku golput , kemudian warga lain  memilih warga untuk digantung dan membebaskan werewolf.

Bagaimana saya mampu memberikan civic education sederhana bagi putra saya, jika yang sekolah jauh-jauh pun, yang seharusnya menjadi bijak bestari malah saling lempar tuduhan bahwa ini hoax, semua saling baper untuk hal-hal yang bagi warga sebenarnya remeh temeh, tetapi menguras energi dalam otak karena terlalu berseliweran dengan cepat melalui media sosial.

Jika pemainan werewolf di Hago, salah gantung warga dapat diulang lagi, tetapi dalam proses demokrasi, jalannya negara menjadi pertaruhan.    

 Ketika warga "hanya" bertugas untuk voting agar tidak salah pilih, tentu membutuhkan informasi akurat dari Penerawang, yang kadang lebih sering terbunuh sia-sia sebelum mampu memberi petunjuk karena penyihir lebih gemar menebar racun daripada menyelamatkan pembawa berita kebenaran.

Lebih menyakitkan lagi kala permainan penyihir salah meracuni, meracuni pemburu dan pemburu menembak warga. Tim Orang baik kalah telak, bahkan werewolf belum bersusah payah.

Permainan sederhana ini sebenarnya wujud nyata pola demokrasi yang katanya sebagai alat untuk mencapai kemakmuran rakyat, bukan tujuan.

Tetapi drama, kisah yang seolah terbalut berita meski tanpa validasi, hingga sulit membedakan mana yang dibuat untuk menciptakan keresahan sehingga memilih warga untuk digantung, dan membebaskan werewolf. Semua saling lempar tuduhan bahwa ini hoax, semua saling baper untuk hal-hal yang bagi warga sebenarnya remeh temeh, tetapi menguras energi dalam otak karena terlalu berseliwran begitu cepat melalui media sosial.

Jika pemainan werewolf di Hago, salah gantung warga dapat diulang lagi, tetapi dalam proses demokrasi, jalannya negara menjadi pertaruhan, salah siapa. Tetap salah warga yang tidak mampu menganalisis siapa werewolfnya.    

Sulit memang membaca situasi yang terkait dengan sesuatu yang paling abadi untuk dibela "KEPENTINGAN".

Btw, dengan kengerian saya terhadap mental anak saya kok santai betul jadi penerbar hoax dalam game ini, untuk waktu yang belum ditentukan permainan ini tidak diperkenankan untuk diakses sementara waktu.

Salam Kompal

kompal-20180919-093043-5bdd799caeebe15cdc773aa4.jpg
kompal-20180919-093043-5bdd799caeebe15cdc773aa4.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun