Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Sweet Suicide"

2 Oktober 2018   15:33 Diperbarui: 2 Oktober 2018   16:17 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Delia menghidupkan paket datanya, ratusan pesan pun terkirim dari  semua media sosialnya. Sebagai ibu rumah tangga purna waktu, tidak dapat  sering ia memegang gawainya. Ia dedikasikan waktu sepenuhnya buat   Anastacia dan Anas,  si kembar yang memasuki usia tahun ke-4.
Setiap hari ia merancang pembelajaran dini kepada kedua putra-putrinya sebelum memasuki usia sekolah.

 Sesungguhnya, Ia menikmati itu semua, tanpa ada paksaan. Ia  meninggalkan pekerjaannya sebagai pialang terkemuka,  menjual perusahaan  start upnya hanya untuk menjadi ibu rumah tangga. Gelar PHd di bidang  Bisnis sebagai Majornya  dan Psikologi sebagai minornya yang telah ia  genggam sejak berusia 24 tahun pun ia lupakan begitu saja.

 Ia  tinggalkan semua petualangannya dalam berkarir, ia telah merasakan cukup  sudah ia mereguk smua kenikmatan yang selama ini dipamerkan dalam  sosial media oleh para social climber, menaiki pesawat jet pribadi,  bertualang dengang yact di laut mediterania, tidak pernah merasakan  macetnya kota-kota penting di dunia karena kakinya hanya menyentuh dari  helipad ke helipad.

 Ia memilih hidup sederhana di pinggiran kota,  menutup semua cerita dan identitas dia sebelumnya. Menjadi seorang  istri sekaligus pengajar sukarela pada sebuah pendidikan anak usia dini  dan membuka sebuah perpustakaan anak.


Tidak banyak yang ia kenal di  masa lalunya yang terhubung dengan media sosial. Tetapi grup parenting  pun sekarang seolah  telah kehilangan arahnya.  Semua informasi dibagi  mulai dari info bahaya bahan makanan, tempat paling angker di kota,  kampanye para caleg termasuk yang disaksikan oleh Delia di layar  gawainya siang itu.

 "Memang hidup perlu disyukuri, jangan sampai  terjadi dengan kita ya Mums, dan tetap bersamai anak kita, agar tidak  terjadi seperti demikian"pesan singkat dari anggota grup yang dibarengi  engan video seorang perempuan yang terkapar  lemas, dengan baju tidur  berbahan linen membalut tubuhnya yang ramping, tinggi dan berkulit  bersih sangat terawat, dengan muka terbalut sebuah kantong plastik yang  diikat.

 "Itu kan Rastiti ya, mantan model dan Putri kampus,  kasihan banget dia meninggal gitu itulah kalo jebolan sekolahan negeri  sekuler, tidak berlandaskan agama" komen anggota yang lain. 

 Delia menjadi silent reader dalam grup itu, ungkapan duka, sedih, tetapi  diselingi umpatan mengalir begitu saja dalam chit-chat grup.

  Tiba-tiba suara Adaro, suaminya terdengar "Ma, bersiaplah, kita perlu  melayat" ucap Adaro dengan tergesa, lalu menabrak tubuh Delia "Rasti, ia  meninggal semalam, bunuh diri". Adaro tak kuasa menahan perasaannya ia  menangis sesenggukan di  pelukan istrinya.

 "Iya, aku lihat dari  beberapa postingan media sosial, kita siap-siap. Biar saja dua naga  kecil kita titipkan pada Mbak Harni"jawab Delia tenang.

 Delia pun menghubungi Harni, tetangga sebelahnya untuk menjaga anak-anaknya selagi mereka pergi melayat.
"Biar aku yang bawa mobil" Delia memberi usul yang disetujui dengan anggukan pelan Adaro. 

 Selama perjalanan Adaro tetap mengalirkan air matanya dengan sesekali  mengembuskan nafasnya kuat-kuat. Delia hanya diam merasakan duka yang  mendalam yang dirasakan oleh suaminya. "Aku tak menyangka ia memilih  bunih diri" suara Adaro memecah kesunyian.

 "Apakah sudah  dipastikan?"tanya Delia dengan suara yang begitu tenang dan memang itu  yang dibutuhkan Adaro saat ini, suara tenang Delia menenangkannya.

 "Tadi AKP Budianto telah mengkonfirmasi, ia dinyatakan tewas bunuh  diri" sahut Adaro. "ia menelan obat anti mabok perjalanan ditambah anti  alergi, kemudian memasukkan plastik  kresek menutup mukanya. Ia  kehilangan nyawanya karena gagal bernafas saat begitu lelap efek obat  itu" sambung Adaro dengan suara parau. "Ia menuliskan sebuah kalimat  dalam selembar kertas, aku tak menyangka hand lettering yang aku kira  dapat membantu mengobati traumanya adalah pamitnya ia" kembali Adaro  sesenggukan.
Delia hanya diam, ia ingin memahami  bagaimana  perasaan kehilangan sahabat sejati seperti yang dialaminya suaminya.  Rasti dan Adaro adalah sahabat saat kecil, yang baru
bertemu kembali beberapa bulan lalu di acara  reuni sekolah. 

 "Anda Mama bertemu ia sebelumnya, kalian pasti cocok".  Delia menoleh  ke arah Adaro, "Syukurlah Tuhan melindungiku dari kedukaan karena tidak  mengenal dia sebelumnya"ucap Delia. "Maaf, bukan aku tidak mau merasakan  dukamu, Sayang. Tetapi kamu tahu..."Delia belum selesai menyelesaikan  kalimatnya, Adaro menggenggam tangannya "Iya Hunny, it's okay. Beban  hidupmu terlalu berat sejak kecelakaan itu. I feel you"ucap Adaro yang  kembali membuat suasana menjadi  hening.

 Sesampainya di rumah  duka Delia memandang peti mati yang ditutup oleh tile putih, sesosok  perempuan anggun dengan senyum manis tersungging di bibirnya. Bukan,  bukan karena polesan perias mayat yang sangat jago. Tetapi seolah memang  memancar dari diri Rasti.
Sebuah hand lettering terbingkai dengan indah "Ingin aku mati di pembaringan dalam pelukan yang terkasih".

########


Dua hari sebelumnya.

 "Sayang, kita memang jodoh, bagaimanapun kita dipisahkan kita tetap  bertemu"suara mesra dari perempuan cantik ketika bertemu Delia.

  Setelah terpisah selama 5 tahun, Rastiti akhirnya dapat menjumpai  perempuan yang paling ia cintai selama ini, perempuan yang telah  menanggung hidupnya saat ia menempuh pendidikan di negeri Paman Sam.   Ketika pelajar lain menggantungkan hidupnya dengan Sugar Daddy, Rastiti  pun demikian, tetapi ia dapat menolak disebut sebagai Sugar Baby, karena  ia hidup bersama seorang perempuan yang hanya terpaut usia 4 tahun  dengannya tetapi telah memiliki segalanya.

 "Bagaimana bisa kamu  mau melakukannya dengan Adaro?" ucap Rastiti manja. "Panjang ceritanya,  sudahlah kita rayakan saja pertemuan kita"ucap Delia sambil memeluk  mesra dan bergumul dengan Rasti, menumpahkan segala kerinduan yang  selama ini ia pendam.

  "Aku tidak mau berpisah lagi"rengek Rasti  dengan nada manja. "Iya, akupun demikian, tetapi tampaknya bukan alam  ini yang akan menyatukan kita", sahut Delia sambil membelai rambut Rasti  yang tergerai panjang.

 "Benar sayang, kita berdua melakukan  bunuh diri. Tanpa luka tanpa darah"usul Rasti, "agar seluruh dunia  mencatat kisah kita sebagai kisah cinta sesungguhnya, ini bukti "sambung  Rasti.

 Rastiti menuliskan sebuah kata dengan hand lettering pada  kertas merah jambu "Ingin aku mati di pembaringan dalam pelukan yang  terkasih" bersama meminum obat anti mabok dan anti alergi lalu  membungkus kepala mereka dengan sebuah kantong.  Mereka masih ingin  tampil cantik dengan suicide mereka.

 Saat Delia mulai terlelap,  ia merasakan sesak lalu panas luar biasa, awalnya tercekat di  tenggorokan, lalu sampai ke wajah dan semakin terasa nyeri di dadanya.  Ia tak kuasa menahannya, tetapi matanya enggan terbuka hingga ia  teringat pada dua anaknya yang membuat ia segera terbangun. 

  Dengan terburu-buru ia melarikan diri dari tempat itu, tangisan  putra-putrinya seolah terngiang di telinganya begitu saja dan memberi ia  kekuatan untuk mengendarai mobilnya di tengah pekatnya malam.

##############

  "Ia begitu cantik" ucap Adaro "selamat jalan sahabat terkasih, perkenalkan ini Delia"sambung Adaro saat berada di depan peti.

 "Ia begitu sempurna, tetapi ia begitu cinta dengan kekasihnya yang  telah meninggalkannya begitu saja, ini percobaan bunuh dirinya yang ke  sekian Ma, saat ini ia tengah masa terapi. Aku tidak menyangka ia tetap  memilih jalan ini"ungkap Adaro dengan berurai air mata.
"Selamat  jalan kekasih, terima kasih memberi tahuku bahwa cinta itu nyata, bahwa  cinta itu sempurna hanya saja dunia menganggap sebaliknya"bisik Delia  dalam hati menatap tubuh kaku dalam peti itu.

 Palembang, 02102018

Kompal
Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun