Pernah tahu  dengan makanan srikaya? Atau pernah mencicipinya bahan menggemarinya. Bukan, sama sekali bukan terbuat dari buah srikaya.
Makanan ini sebenarnya makanan sederhana hanya terdiri dari 3 bahan dengan takaran yang sama, telur, gula pasir dan santan. Sebagai pewarna biasanya menggunakan pewarna alami dari daun pandan atau untuk lebih pekat menggunakan daun suji.
Makanan ini termasuk dalam makanan lezat yang rasanya tak kalah  mewah  dengan cita rasa creme brulle. Makanan yang dihidangkan dalam acara perkawinan masyarakat suku Palembang asli (terutama bangsawan) selain lapis legit, maksubah, lapis kojo dan engkak ketan yang akan saya ceritakan menjelang idul fitri nanti.
Karena jenis-jenis kue yang saya sebut tersebut biasa menjadi makanan yang dihidangkan si saat idul fitri. Berbesa dengan srikaya, lebih jamak ditemui sebagai makanan di pasar bedug, untuk menjadi takjil.
Saya tidak dapat mengklaimnya ini makanan suku tertentu, karena beberapa orang dari Nusantara yang pernah saya jumpa di sebuah side event sea games beberapa tahun yang lalu di Palembang, baik dari Brunei, Malaysia, Singapura, Philipina, Thailand Selatan hingga Ternate mengenal makanan ini dan menyebutnya sama "Srikaya".
Di Palembang (juga tentunya di beberapa tempat lain selain Palembang), orang-orang sering memakan srikaya ini bersamaan dengan sepotong ketan. Jadi banyak yang menyebut makanan srikaya ketan.
Di kampung kami, sebagaimana sempat saya ceritakan sebelumnya, memiliki tradisi sederhana di setiap bulan Ramadan. Setiap hari beberapa keluarga menyumbang takjil untuk iftar bersama di masjid secara bergantian. Hanya makanan ringan pembatal puasa saat azan magrib.
Ketan srikaya adalah salah satu pilihan saya untuk setiap iftar (Pilihan almarhum Bapak saya lebih tepatnya). Ia paling menyukai memberi makanan yang jarang ditolak oleh orang lain, menurutnya srikaya ketan adalah salah satunya. Baik oleh penggemar makanan gurih atau penggemar makanan manis. Saya setuju saja,karena makanan ini mudah dibuat, bahannya mudah dan anti gagal.
Untuk kepraktisan saya taruh  langsung dalam satu wadah. Konon, srikaya ketan adalah makanan buah tangan yang dibuat khusus menantu kepada mertua.
Ketan yang lengket perlambang rekatnya hubungan kekeluargaan, rasa manis perlambang pengalaman yang dirasakan bersama sedangkan warna hijau adalah warna dominan alam lambang kemakmuran dan kesejukan. Itu kata makcek tetangga saya yang bersuku asli Palembang, soal validitasnya, mungkin suatu saat saya akan bertanya dengan orang-orang di Dewan Kesenian saja ya.
Saya jadi teringat di masa kecil saya, setidaknya masa kedaulatan pangan masih benar-benar di tangan warga kampung kami dan kegotongroyongan masih sangat kental,mungkin sekitar seperempat abad  yang lalu. Kami membuat srikaya dapat dipastikan melibatkan tetangga, jika punya telur dari peliharaan setidaknya akan meminta kelapa atau daun pandan kepada tetangga.
Tentunya akan membagi srikaya yang telah jadi kepada tetangga yang memberi bahan tersebut plus tetangga kiri kanan, karena seringkali saat meminta kelapa dan daun pandan saja sudah "woro-woro" kepada tetangga bahwa ia akan membuat srikaya ketan.
Toh...Makanan mewah itu, pantas dibanggakan.  Tidak, saya hanya bercanda, mau makanan jenis apa saja  seperti berbagai jenis bubur, pepes ubi, gomak atau combrok pun saling berbagi. Meski sering saat memberikan makanan tersebut ke tetangga mereka tengah membuat makanan yang sama. Ya saling icip saja. Meski sama jenisnya kan yang mengolahnya berbeda, yang penting saling berbagi lah.
Kadang saya sering merasa tetangga meminta bahan kepada tetangga lain hanya alasan agar dapat memberi makanan yang dibuat tidak menyinggung perasaan yang diberi. Memberi kok kuatir membuat orang tersinggung?, bukankahmemberi itu dasarnya ikhlas, mengapa harus repot dengan prasangka orang lain.
Kata Bapakku "memberi itu sebaiknya secukupnya, dan biarkan orang lain juga memberi kita. Karena pemberian dalam persaudaraan itu sifatnya saling memberi. Bukan satu pihak hanya sebagai pemberi sedangkan satu pihak lain hanya penerima.
Jika kita terlalu berlebihan memberi kepada sahabat atau tetangga ada kekhawatiran itu bukan lagi wujud kasih sayang tetapi rasa sombong kita".
Ah...Bapak,ada juga nasehat bijakmu yang dapat aku ingat dengan baik ya.
Lalu, siapa yang ingin saya jumpai saat ramadan ini?. Ah.. andai saya punya kuasa untuk dapat memastikan saya ingin berjumpa dengan siapa sesuai keinginan saya begitu saya, tak akan cukup waktu relatif yang terjadi pada diri saya di dunia fana saat ini.
Saya bukan orang yang sangat sibuk seperti yang memiliki pekerjaan super sibuk, jadi konyol jika saya beralasan tidak berjumpa dengan jiron tetangga.
Tetapi nyatanya demikian, di hari-hari biasa saya jarang berjumpa dengan tetangga saya yang meski hanya selisih beberapa rumah dari tenpat tinggal saya.
Jika pun ada senggang hanya saling  melempar senyum seolah mengucap salam dan menanyakan kabarpun  seoah tak sempat.
Bahkan beberapa hajatan yang diselenggarakan tetangga pun dilewati, hanya menitipkan tanda kasih melalui Ibu saya,seolah saya lupa bahwa mereka sengaja bertandang ke rumah, mengundang saya untuk hadir ke acara yang mereka selenggarakan.
Pilihan prioritas terkadang menjadi pilihan yang seolah-olah melupakan saudara-saudara dekat saya ini.
Saya lahir dan dibesarkan di sebuah perkampungan pinggiran kota Palembang. Ayah saya anak tunggal, sedangkan kerabat dari ibu saya mayoritas berada di kawasan seberang Ulu.
Saat saya terbaca sebuah ayat pagi  tadi arti ayatnya begini:
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya-mu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri". [ Q.S.An-Nisaa /4 : 36]
Saya  hanya terdiam, apakah saya hanya berupaya berjumpa dengan tetangga saya saat suasana duka. Duduk diam sebentar di rumah mereka, membaca sepotong ayat lalu pergi dengan ucapan duka cita dan menguatkan.
Saya sangat merasakan ketika Ayah saya pergi 5 bulan yang lalu, mendahului kami menunggu kami di alam lain. Sungguh kehadiran para tetangga yang datang tanpa kami minta, memberikan pertolongan dengan ikhlas, Â melancarkan penyelenggaraan jenazah ayah saya dengan baik. Saudara, rekan dan tetangga yang menguatkan saya sehingga saya dapat menjalankan amanat Bapak "jika aku pergi, jangan teteskan air matamu depan jenazahku".
Untuk itu, keinginan saya sederhana saja. Saya ingin menjalin silaturahim lebih baik dengan tetangga dekat rumah saya, juga tetangga jauh serta rekan-rekan saya.
Syukurlah, Maha Kasih memberi saya ramadan tahun ini sebagai kesempatan saya mendekatkan diri dengan tetangga sekaligus dengan NYA dengan cara bertandang ke salah satu rumahNYA, masjid Nurus Shalihin di kampung saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H