Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Virtual Class di GEN RI 4.0

17 Maret 2018   09:48 Diperbarui: 22 Maret 2018   15:21 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Virtual Class (Sumber :www.iba.ac.id)

Setiap hari Grup WA kompal berisi diskusi menyenangkan, pemantiknya kadang hal yang kelihatan sepele.
Seperti beberapa hari lalu, membahas bagaimana massifnya disrutif teknologi dalam kehidupan sehari-hari.
Umumnya anggota komunitas kami adalah user kemudahan teknologi online, apalagi yang traveller blogger seperti Deddy Huang dan Haryadi Yansah atau penyelengara open trip seperti Feri Nigam.

Dengan kemudahan aplikasi berbasis online ini jelas sangat mempermudah aktifitas mereka.
Obrolan pun berkembang ketika Arako membahas bahwa semua sudah virtual, "Lah ...pacaran virtual aja sudah jamak Cik, tuh youtuber virtual aja udah banyak kok penggemarnya". Ujarnya

"Jadi jangan heran kedepan akan ada dokter virtual atau lawyer virtual"imbuhnya.
"Dokter virtual sudah ada kok"sambut dokter Posma.
"Kupikir sebagian subscriber itu suka karena kreativitas di belakangnya kok"sahutku.
"Tapi semua subscriber suka ke belakang"sambung dokter Posma.

Disrupsi Teknologi
Isu disrupsi teknologi bagi institusi yang menyiapkan SDM Unggul dengan getap bukan hanya dari ke-Ilmuan, tetapi tetap menjaga Budaya dan Akhlak menjadi isu yang menarik untuk segera ditanggapi dengan segera.

Ini tidak bisa hanya menjadi wacana atau obrolan di ruang-ruang diskusi. Harus ada langkah kongkret.
Apalagi kementrian  Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi mendorong Perguruan Tinggi menyambut era revolusi industri 4.0, salah satunya dengan penyiapan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau ada yang menyebutnya Open Distance Learning.

PJJ di PT seharusnya bukan barang baru lagi, mengingat aturan mengenai hal ini sudah cukup lama, sejak tahun 2012.

Tidak usah perdebatkan pengistilahan

Ada banyak istilah mengenai PJJ atau ODL,  sebut saja e-learning, Online learning, ICT based learning, Web based learning,Computer based learningn Blended learning, Distance learning, Open and distance learning atau Virtual Class.

Di dalam dunia pendidikan metode pembelajaran ini bukan barang baru, bahkan sejak memasuki era millenium ke-tiga sudah menjadi perhatian.
Praktis, pembicaraan ini sudah 15 tahun lalu, hanya karena isu ini tengah mengemuka kembali setelah permenristek dikti kembali mengangkatnya ke permukaan dengan  isu disrupstip teknologi.

Namun seringkali, dari masa ke masa hal ini menjadi wacana semata, bahkan memunculkab perdebatan, nama dan cara sehingga melupakan menjalaninya namun melupakan tujuannya diadakannya PJJ.

Kendala Pelakanaan PJJ di Indonesia
Sesungguhnya ODL bukan barang baru dalam dunia pendidikan Internasional, ODL sudah menjadi lumrah.

Di Indonesia selain kendala infrastruktur dan SDM, tampaknya keinginan masih belum kuat untuk mengadopsi ODL.  
ODL menjadi tantangan bagi penyelenggara pendidikan (terutama pendidikan tinggi) untuk membangun pendidikan lebih baik di tanah air, agar generasi selanjutnya dapat bersaing di era globalisasi.
Mengapa demikian? Karena saat ini kita tengah berada di Revolusi Industri generasi 4.0.  Tetapi, kondisi Indonesia memiliki spektrum kita masih sangat luas.  Karena di republik ini, dari yangbprimitif sampe semua lifestylenya full online ada.

Dengan revolusi industri 4.0, konsumen sudah berbagi tugas dan tanggung jawab.
Contoh sederhananya adalah dulu kita membeli tiket ke travel agent, dengan berbagai prosesnya semua
Mulai dari mengeluarkan tiket,boarding pass dibantu oleh orang lain (penyedia jasa).Sekarang  dengan kemajuan teknologi, sudah dikerjakan sendiri oleh konsumen. Disrupsi teknologi ini
telah memotong rantai distribusi yang menyebabkan beberapa pekerjaan akan hilang. Prosumer hampir ada di semua sektor.

Hal seperti inilah yang diharapkan dibangun di pendidikan tinggi, sudah tidak dibantah lagi jika student centered learning (scl) lebih efektif, dengan mengedepankan andragogik.
Di dunia pendidikan sudah harus seperti itu. Student Cente lebih efektif daripada teacher center. Kita membiasakan menyuapi mahasiswa.
Dengan ODL sudah melompat lebih dulu ke 4.0, namun kita tidak meninggaan 1.0.  Karena itu spektrum yang luas dan beragam tidak dapat menentukan satu policy. Aplikasi e-learning untuk mengejar ketertinggalan.

Kendala PJJ

Di Indonesia, aturan mengenai PJJ pada PT diatur dalam Permendikbud no.24/2012, dan tampaknya belum ada upgrade di kemenristek dikti, seperti peraturan-peraturan bidang Pendidikan Tinggi (Dikti)  lainnya dengan perubahan nomenklatur kementrian, dimana Perguruan Tinggi tadinya dibawah naungan kementrian pendidikan dan kebudayaan (kemendikbud), di kabinet kerja di bawah kementrian riset, teknologi dan pendidikan tinggi (menristek dikti).

Persoalannya banyak aturan yang sifatnya penistaan luar biasa. Berbagai aturan ketat mengenai hal ini yang mengarah pada legalitas pembelajaran pun menjadi kendala utama penyelenggaraannya.

Padahal Indonesia dengan keterbatasan akses di wilayah yang begitu luas dengan spektrum yang begitu berbeda-beda membutuhkan langkah revolusi pula untuk mengejarnya, perlu ada langkah intervensi sistem.
Salash satunya dengan open sistem, kewajiban dan hak semua orang mau belajar dimanapun tidak dilarang. Bahkan itu hak asasi.

Perlu persiapan pembelajaran dengan pola andragogik, set your own educational resolution
5W1H you learn dalam peningkatan kapasitas baik secara afektif, kognotif maupun psikomotorik.

Hal ini mendorong adanya perubahan paradigma shift "from student go to school" menjadi "school go to student". "From diploma oriented To character building oriented"

Bagaimana dengan kualitas lulusannya?. Aturan negeri ini telah memproteksinya. UU kita sudah mengamantkan adanya Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI), untuk memperkuat keterangan lulusan yang dihasilkan memiliki kompetensi apa, apa yang bisa dilakuan sesuai bidangnya.

Indonesia juga memiliki Perpres mengenai KKNI perpres 2014
(4 jalur untuk mendapat pengakuan pendidikan) dan tidak harus melalui jalur formal yang penting adalah penyetaraannya.

Pemerintah fasilitator dan regulator

Bagi perguruan tinggi swasta, regulasi yang mengatasnamakan penjaminan mutu adalah hal yanh selalu dikejar. Dengan otonomi sebenarnya (baca: (dibiayai sendiri) memastikan diri untuk melampaui standar.  Padahal katanya filosofi standar penjaminana mutu pendidikan yang jumlahnya 24 itu untuk menjadi acuan, bukan memojokkan. Kenyataannya, disitu yang memicu munculnya pertanyaan dimana kehadiran negara sebagai fasilitator.

Padahal sejak 1 dekade lalu, Tidak sedikit perguruan tinggi swasta yang tentunya tidak sedikit mengeluarkan dana investasi untuk pembangunan sistem yang tidak murah di masa itu, tetapi sulit penerapannya secara optimal. Berbatas pada izin yang berdampak pada legalitas ijazah lulusannya.

Sistem yang dibangun pun hanya menjadi cara pembelajaran "optional" yang secara tidak langsung sistem ini menjadi "aus" dan lebih memilih sistem lama yang cenderung menyuapi mahasiswa.

Pemanfaaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung pembelajaran

Ada banyak contoh PJJ yang juga diminati oleh banyak orang di belahan dunia. Seperti Coursera yang setidaknya diikuti oleh 8 juta peserta. Terlaksana dengan sistem yang mumpuni, yang mengajar Yale, harvard, MIT, bahkan MK yang diambil melalui coursera dapat di redeem dengan menunjukkan sertifikat.Ini adalah reward. Meski ada aturannya

Di cambridge ada future learn dengan konsorsium. Di Harvard dab  Barkeley ada edX Courses

Implementasi pembelajaran terbuka, bahkan ilmu dari professor terlemuka ini dapat kita akses secara gratis. Konsepnya adalah berbagi.

Dengan keterbatasan dan pembatasan tersebut, dimana posisi kita, yang terpenting di mulai dulu. Setidaknya memahami dulu kurikulum Gen.RI 4.0 dan berdoa negara jika belum mampu menjadi fasilitator yang baik cukuplah dengan tidak membatasi hak anak bangsa untuk menjadi cerdas hanya alasan ketakutan akan aksi tipu-tipu di di dunia pendidikan tinggi.
Jika pemerintahnya sendiri tidak mempercayai akademisinya. Bolehkah rakyat tidak mempercayai pemerintahnya?.

Persoalannya, Indonesia menjadi target pasar negara maju efek pasar di tempat mereka sudah jenuh, karna itu Indonesia menjadi pasar baru. Apakah kita hanya akan terus menjadi buruh 3D dirty, difficult dan dangerous di era digital di negeri kita sendiri.

Selamat Pagi Indonesia
Teknologi untuk memudahkan, selalu bahagia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun