Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Kuliner] Mak Ijah, 8Jam, Engkak, Maksubah dan Lapis Legit

6 Juni 2016   06:20 Diperbarui: 6 Juni 2016   08:45 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata-kata berikut dirangkai oleh : Kartika Lestari Kariono , 

Nomor peserta: 13

Mak ijah menghitung telur-telurnya. Ia menghimpunnya dari kandang tiktok (itik entok) peliharaannya. “ah sudah terkumpul 50 biji” gumam Mak Ijah sambil meletakkan dengan hati-hati di sebuah kardus kecil. Allah maha pemurah, di saat ia membutuhkan telur yang banyak persiapan membuat kue lebaran nanti. Beberapa ekor tiktok betinanya bertelur di bulan ramadhan ini.

Mak Ijah pun dengan rajin berjalan kaki membawa karung ke Warung Pak Rahmat yang jaraknya beberapa ratus meter dari rumahnya. Ia mengumpulkan batok kelapa dan membawanya pulang. Terkadang, ia pun membawa beberapa butir kelapa yang jatuh dari pohon-pohon kelapa yang tumbuh menjulang tinggi di belakang rumahnya. Ah…Mak Ijah tidak terlalu ingat berapa usia pohon kelapa itu. Seingatnya ia menanam itu ketika ia baru menikah dengan suaminya, Pak Kasim. Bahkan Mak Ijah pun masih mencoba mengingat-ingat berapa tahun sudah Pak Kasim pergi ke pangkuan-Nya, setidaknya sudah 10 kali ramadhan Mak Ijah, tidak makan sahur dan berbuka bersama Pak Kasim.

“ Wah Yuk Ijah, apa sudah mau diambil uang titipannya?”, tanya Pak Rahmat sambil membuka-buka buku catatan kecilnya. “ Sudah berapa Mat?” tanya Mak Ijah yang melap keringatnya. “Ehm… totalnya, Tiga Ratus Tiga Belas Ribu Yuk” sahut Pak Rahmat. “ Oh ya…banyak juga ya Mat” sahut Mak Ijah, “ Tukar dengan tepung ketan, susu, dan gula saja Mat” sahut Mak Ijah” Oh ya…jangan lupa mentega” sahutnya lagi dengan tersenyum. “Semuanya Yuk?” sahut Pak Rahmat “ Oh , tidak Mat, secukupnya, susu tiga kaleng, mentega 3 bungkus, tepung ketan sebungkus dan gula dua kilo” sahut mak Ijah. “ Tepung susu, bumbu spekoek, dan terigunya Yuk?” tanya Pak Rahmat, “ Oh ya, boleh, tepung susu dua sachet, bumbu spekoek-nya satu bungkus, dan terigunya 1 kg” sahut Mak Ijah dengan lancar.

“ Yakin Yuk mau buat sendiri kuenya, telpon saja anak-anak, akan mereka kirim nanti” tanya Pak Rahmat sejurus kemudian. “ Ah…akan berbeda Mat” sahut Mak Ijah kalem.

“ Yuk, bulan ramadhan ini diisi dengan banyak ibadah. Sudahlah, mengapa repot-repot harus membuat kue” sahut Pak Rahmat.

“Ah, Mat.. terkadang banyak hal tidak perlu dijelaskan” ucap Mak Ijah. Pak Rahmat membungkus pesanan Mak Ijah. Ia mengangkatnya, dan terasa agak berat “ Sudahlah Yuk, pulanglah dulu. Nanti di Ubek yang yang akan membawakannya ke rumahmu” ucap Pak Rahmat. “ aku masih kuat Mat, mengangkat barang-barang itu” sahut Mak Ijah ngotot. Pak Rahmat tidak mau berdebat dengan perempuan yang dihormatinya sedari kecil itu. dengan berat hati ia menyerahkan kantong berisi pesanan mak Ijah.

Ramadhan telah di penghujung, telah memasuki hari ke-28. Entah besok atau lusa idul fitri akan dirayakan. Mak Ijah tidak pernah merasa berkepentingan mau ikut golongan yang mana, ia hanya percaya pada keputusan pemerintah. Ia merayakan Idul Fitri sesuai keputusan pemerintah.

Mak Ijah menghidupkan api di kayu bakar, lalu meletakkan kukusan, dan membiarkan airnya mendidih.  Mak Ijah memecahkan telur-telurnya satu per satu, sambil bibirnya bersenandung lirih, terkadang ucapan zikir, terkadang shalawat.

Dengan hati-hati ia memastikan, bahwa telur yang dijadikan adonannya adalah telur yang masih segar, 20 butir telur itik, 1 kg gula pasir dan 1 kaleng susu kental manis merk favoritnya sedari kecil ia campur rata, dimasukkannya ke loyang dan dikukusnya. Ia menarik kayu bakar agar apinya tidak terlalu besar, ah masih panjang perjalanan jadinya kue kukus ini, setidaknya selama 8 jam ia akan mengukusnya. Karna itulah masyarakat di sana menyebutnya 8 Jam.

Mak ijak tidak mau membuang waktu, ia menyiapkan bara api. Ia membakar kayu lalu meletakkan batok kelapa sampai menjadi bara. Mak Ijah memandang bara api yang membakar batok dan terkadang terdengar khas “ kretekkk…kretekkk”, ia  bergumam dalam hati “Tuhanku, dengan berbagai lumuran dosaku baik di masa mudaku maupun di sisa usiaku, tetapi aku takut pada balasanmu. Jika api Mu di dunia fana ini saja tak sanggup aku pegang, tak lah kuasalah tubuh ini menahan api alam baka-Mu”.

Meski di usia senja mak Ijah masih cekatan mengadon kue khas daerahnya itu.  Ia menuang di gelas, mengukur santan yang telah dimasaknya sampai berminyak malam tadi, lalu ditambahkannya kocokan telur, gula dan tepung ketan juga susu kental manis.

Ia pun menyiapkan adonan kedua, campuran kocokan telur, gula dan susu, hampir sama dengan adonan 8 jam , tetapi ia mengurangi kadar gulanya, ia mempersiapkan bahan kue Maksuba. 

Tak lama ia mencampur 40 butir kuning telur dengan gula, bumbu spekoek, dan bubuk susu juga sedikit terigu, ia menyiapkan bahan lapis legit.

Mak Ijah menyiapkan 3 Oven Tanah Liatnya. Ia meletakkan loyang satu persatu pada oven-ovennya. Kemudian ia meletakkan batok kelapa yang telah menjadi bara api pada tutup ovennya. Dengan sabar Mak Ijah memasak kue-kue kebanggaannya itu selapis demi selapis. Terkadang ada adonan yang menggelembung Mak Ijah dengan sabar menekan lembut lapisan itu, mengusir udaranya, dengan ujung gelas, demikian hati-hati, jangan sampai meletus dan merusak bentuk kue cantik karena lapis per lapis itu, dan sesekali Mak Ijah melihat ke arah kukusannya, menambahkan airnya dan menambahkan kayu bakarnya, memastikan jangan sampai apinya padam.

Ia paham betul membuat kue-kue ini akan memakan waktu yang sangat lama, tetapi seperti kata Mak Ijah, beberapa hal akan sulit dijelaskan. Ia menikmatinya dengan senandung zikir dan shalawatnya, serta bermuasabah.

Mak ijah paham betul mengatur waktunya. Ketika hendak azan Zuhur, ia angkat penutup ovennya. Sehingga ia dapat dengan tenang menghadap penciptanya untuk beberapa saat.

Ketika hari menjelang sore, Mak Ijah mengangkat kue-kuenya yang sudah jadi. Ia menyatukan sisa-sisa bara apinya. Sembari menunggu kukusannya, ia mengambil kemplang mentah yang ia buat sendiri sebelumnya, ia membakarnya. Aromanya begitu wangi. Ia senyum-senyum membayangkan betapa hebohnya anak-anak di masjid nanti malam menikmati kemplang tunu itu, sambil mengkhatamkan bacaan Qur’annya malam nanti.

Malam itu, suara takbir bergemuruh, bersahut-sahutan. Mak Ijah dengan hati riang turut melantunkan takbir sambil memotong-motong kue-kuenya. Ia juga telah memastikan seluruh kue kering nastar, kastangel dan kue satu kacang ijo juga rempeyek dan kemplang serta kacaang terlur sudah ada di dalam toples dan bertengger cantik di mejanya.

Hingga suara deru mobil terparkir di depan rumahnya dengan teriakan anak-anak kecil berhamburan dan mengucap salam . Ia paham benar itu suara Anindya dan Pascal, dua cucu kesayangannya dari Putra tunggalnya Abimana.

“ Nyai” teriak keduanya sambil menubruk Mak Ijah. “How are you ? “ tanya Mak Ijah. “ We’re so fine Nyai” ucap keduanya dengan berbinar.

“Mak” Abimana menegur Ibunya, bersujud dan memeluknya. “ Udah, nggak usah lama-lama meluknya. Masih bau asem” ucap Mak Ijah berseloroh. “Mommy” ucap  Paula sambil memeluk mertuanya itu erat-erat.

“Mana Jum?” tanya Abimana. “ diliburkan, dari 2 minggu lalu” sahut Mak Ijah kalem. “ What? Nggak bener ini si Ijah” gerutu Abimana langsung memencet hapenya, dan terdengar nada sibuk di hapenya.

“Bi, Emak yang meliburkan, dia juga mau lebaranan sama keluarganya toh, kenapa repot?” ucap Mak Ijah.

“Apa ini Nyai?” tanya Pascal sambil memencet-mencet potongan kue di piring. “ Ini 8 jam, ini maksubah, ini engkak, dan ini lapis legit” ucap Mak Ijah menjelaskan.

“ Nggak mau, nggak enak, nggak ada cheese or chocolate” sahut Pascal. “ Iya, Anin lebih suka blackforest, rainbowcake with much frosting, redvelvet. Kuenya Nyai is too sweet” sambung Anindya.

“ Ah..gampang itu, kalian sudah mampir ke toko pastry yang  di arah bandara bukan, dan kalian pasti sudah membawanya” sahut Mak Ijah, dan memang benar. Karena itu sudah kebiasaaan menantunya setiap pulang ke Palembang.

“Itu pesan dimana Mak?” sahut Abimana sambil menyomot sepotong engkak ketan kesukaannya. “ bikin sendiri dong” sahut Mak Ija berbinar. “Enak kan? Karena dibuat dengan penuh cinta” sahut Mak Ijah. “Kenapa nggak sekalian  buat lapis kojo dan dodol duren” sahut Abimana bersungut.

“Ah..yang itu tidak sempat” sahut Mak Ijah terkekeh, ia tahu bahwa Abimana kesal mengapa Ibunya sampai berletih-letih menyiapkan kue –kue ini “ Nanti Paula diajarin deh, pake oven tanah liat” sambungnya terkekeh-kekeh.

“ Mak, mengapa harus repot, aku tahu Emak membuatnya dengan cara paling tradisional yang kita paham, buat apa Mak”

“Seperti Emak katakan padamu berulang-ulang, terkadang tidak semua hal dapat dijelaskan dan dipahami dengan kata-kata bukan?”.

Dok: Ngademin FC
Dok: Ngademin FC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun