Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Kuliner] Mak Ijah, 8Jam, Engkak, Maksubah dan Lapis Legit

6 Juni 2016   06:20 Diperbarui: 6 Juni 2016   08:45 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mak ijak tidak mau membuang waktu, ia menyiapkan bara api. Ia membakar kayu lalu meletakkan batok kelapa sampai menjadi bara. Mak Ijah memandang bara api yang membakar batok dan terkadang terdengar khas “ kretekkk…kretekkk”, ia  bergumam dalam hati “Tuhanku, dengan berbagai lumuran dosaku baik di masa mudaku maupun di sisa usiaku, tetapi aku takut pada balasanmu. Jika api Mu di dunia fana ini saja tak sanggup aku pegang, tak lah kuasalah tubuh ini menahan api alam baka-Mu”.

Meski di usia senja mak Ijah masih cekatan mengadon kue khas daerahnya itu.  Ia menuang di gelas, mengukur santan yang telah dimasaknya sampai berminyak malam tadi, lalu ditambahkannya kocokan telur, gula dan tepung ketan juga susu kental manis.

Ia pun menyiapkan adonan kedua, campuran kocokan telur, gula dan susu, hampir sama dengan adonan 8 jam , tetapi ia mengurangi kadar gulanya, ia mempersiapkan bahan kue Maksuba. 

Tak lama ia mencampur 40 butir kuning telur dengan gula, bumbu spekoek, dan bubuk susu juga sedikit terigu, ia menyiapkan bahan lapis legit.

Mak Ijah menyiapkan 3 Oven Tanah Liatnya. Ia meletakkan loyang satu persatu pada oven-ovennya. Kemudian ia meletakkan batok kelapa yang telah menjadi bara api pada tutup ovennya. Dengan sabar Mak Ijah memasak kue-kue kebanggaannya itu selapis demi selapis. Terkadang ada adonan yang menggelembung Mak Ijah dengan sabar menekan lembut lapisan itu, mengusir udaranya, dengan ujung gelas, demikian hati-hati, jangan sampai meletus dan merusak bentuk kue cantik karena lapis per lapis itu, dan sesekali Mak Ijah melihat ke arah kukusannya, menambahkan airnya dan menambahkan kayu bakarnya, memastikan jangan sampai apinya padam.

Ia paham betul membuat kue-kue ini akan memakan waktu yang sangat lama, tetapi seperti kata Mak Ijah, beberapa hal akan sulit dijelaskan. Ia menikmatinya dengan senandung zikir dan shalawatnya, serta bermuasabah.

Mak ijah paham betul mengatur waktunya. Ketika hendak azan Zuhur, ia angkat penutup ovennya. Sehingga ia dapat dengan tenang menghadap penciptanya untuk beberapa saat.

Ketika hari menjelang sore, Mak Ijah mengangkat kue-kuenya yang sudah jadi. Ia menyatukan sisa-sisa bara apinya. Sembari menunggu kukusannya, ia mengambil kemplang mentah yang ia buat sendiri sebelumnya, ia membakarnya. Aromanya begitu wangi. Ia senyum-senyum membayangkan betapa hebohnya anak-anak di masjid nanti malam menikmati kemplang tunu itu, sambil mengkhatamkan bacaan Qur’annya malam nanti.

Malam itu, suara takbir bergemuruh, bersahut-sahutan. Mak Ijah dengan hati riang turut melantunkan takbir sambil memotong-motong kue-kuenya. Ia juga telah memastikan seluruh kue kering nastar, kastangel dan kue satu kacang ijo juga rempeyek dan kemplang serta kacaang terlur sudah ada di dalam toples dan bertengger cantik di mejanya.

Hingga suara deru mobil terparkir di depan rumahnya dengan teriakan anak-anak kecil berhamburan dan mengucap salam . Ia paham benar itu suara Anindya dan Pascal, dua cucu kesayangannya dari Putra tunggalnya Abimana.

“ Nyai” teriak keduanya sambil menubruk Mak Ijah. “How are you ? “ tanya Mak Ijah. “ We’re so fine Nyai” ucap keduanya dengan berbinar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun