"Yuk, Pahami, Kenapa Budaya Malu, Penting Diajarkan Sejak Dini?"
Oleh Karnita
"Maaf, saya malu, belum berani menemui Dino. Mungkin butuh dua hari untuk mengumpulkan keberanian dan meminta maaf." Pernahkah kamu merasakan hal serupa?
Malu itu hal yang wajar, terutama ketika kita merasa perlu bertanggung jawab atau mengakui kesalahan. Malu bisa jadi positif atau negatif. Malu yang positif justru mendorong kita untuk lebih hati-hati, menjaga perilaku, dan berbuat baik, seperti saat kita malu karena telah berbuat salah dan ingin memperbaikinya. Tapi, kalau malu yang berlebihan malah bisa membuat kita takut bertindak atau ragu.
Sayangnya, banyak orang sekarang yang sudah putus urat malunya. Mereka tidak merasa malu lagi saat menyerobot antrian, mengambil hak orang lain dalam pembagian sembako, atau bahkan mendaftar sebagai calon kepala daerah meski pernah dipenjara karena korupsi. Beberapa juga mengorbankan etika untuk kepentingan pribadi, seperti menggunakan jabatan untuk keuntungan sendiri atau menyalahgunakan bantuan sosial. Ini menunjukkan hilangnya rasa malu yang seharusnya dijaga.
Contoh lainnya, sekarang banyak orang yang sudah tidak merasa malu terlambat ke sekolah atau kantor, tidak mengerjakan tugas, atau bahkan tidak solat fardu hampir di akhir waktu. Banyak juga yang merasa tak malu malas bekerja, malas belajar, atau tidak ikut gotong royong padahal ada waktu. Tak sedikit yang merasa biasa tidak menjaga kebersihan lingkungan meski mereka tahu itu tanggung jawab bersama. Bahkan, ada yang tidak malu untuk memanfaatkan orang lain demi keuntungan pribadi, atau mengabaikan aturan di jalan, seperti melanggar lampu merah.
Padahal, malu yang positif punya banyak manfaat, lho:
- Menjaga perilaku: Malu membuat kita menghindari perbuatan buruk.
- Mendorong perbuatan baik: Malu bikin kita lebih termotivasi untuk berbuat baik dan memperbaiki kesalahan.
- Bijaksana dalam bertindak: Malu membantu kita berpikir dulu sebelum bertindak.
- Menjaga hubungan sosial: Malu membantu kita lebih peka terhadap perasaan orang lain dan menjaga hubungan yang baik.
- Jadi, malu yang positif nggak hanya bikin kita jadi lebih baik, tapi juga menjaga keharmonisan dalam hubungan sosial.
Dua Kisah Tentang Malu yang Positif
Mari kita simak dua kisah inspiratif tentang pentingnya rasa malu yang positif:
Abu Hurairah dan Rasulullah SAW
Suatu hari, ketika masih muda dan mengembala kambing, Abu Hurairah bertemu Rasulullah SAW. Seorang lelaki menawarkan uang untuk membeli kambingnya, namun dengan rasa malu, Abu Hurairah menolaknya. Bagi Abu Hurairah, bukan hanya soal untung, tetapi amanah yang diberikan kepadanya. Rasa malu mengajarkannya untuk menjaga harga diri dan kepercayaan, meskipun godaan datang begitu mudah.
Hoegeng Iman Santoso, Kapolri dengan Integritas
Begitu pula dengan Hoegeng Iman Santoso, mantan Kapolri yang terkenal dengan integritasnya. Ketika tawaran suap datang, meskipun menggiurkan, ia menolaknya dengan tegas. Hoegeng tidak mengorbankan kehormatan demi kepentingan pribadi. Dalam dunia yang sering tergerus oleh ego, kisah mereka mengingatkan kita akan pentingnya menjaga integritas dan rasa malu, terutama saat godaan menghampiri.
Malu dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, rasa malu (haya') adalah akhlak mulia yang sangat dihargai. Rasulullah SAW bersabda, "Malu itu bagian dari iman" (HR. Bukhari dan Muslim). Malu bukan berarti penakut, melainkan kesadaran untuk tidak berbuat tercela dan menjaga kehormatan diri.
Mengapa Budaya Malu Semakin Memudar?
"Sungguh nikmat Tuhan tiada terhitung. Seharusnya malu jika ingin mengeluh, belajar lah untuk bersyukur." --Anonim
Budaya malu yang dulu menjadi pilar kehidupan bersama kini semakin terkikis. Faktor-faktor seperti kurangnya pendidikan karakter, pengaruh lingkungan yang permisif, dan dominasi teknologi yang memperburuk norma sosial membuat banyak orang kehilangan rasa malu. Bahkan para pemimpin yang seharusnya memberi teladan, justru ikut melemahkan budaya ini.
Perilaku yang Menunjukkan Kehilangan Rasa Malu
Sekarang, tindakan seperti korupsi, berbohong, melanggar aturan, hingga menyebarkan hoax sudah dianggap biasa. Bahkan perilaku konsumtif berlebihan dan mengabaikan norma sosial juga menunjukkan semakin lunturnya rasa malu dalam kehidupan sehari-hari.
Dampak Kehilangan Budaya Malu
Ketika rasa malu menghilang, kita menghadapi kerusakan moral, hilangnya empati, dan ketidakpercayaan yang merusak tatanan sosial. Pemimpin tanpa rasa malu bisa bertindak sewenang-wenang, dan korupsi atau ketidakadilan semakin dibiarkan. Tanpa rasa malu, kita kehilangan arah dan solidaritas sosial yang penting bagi keharmonisan bangsa.
Mengapa Budaya Malu Perlu Diajarkan?
Budaya malu penting untuk menghargai norma, menjaga keharmonisan sosial, dan bertindak dengan pertimbangan moral. Tanpa rasa malu, kita cenderung melanggar aturan dan merugikan orang lain. Pendidikan tentang budaya malu sejak dini sangat penting agar anak-anak tahu batasan yang harus dihormati dan bertanggung jawab atas tindakannya.
Tips Menanamkan Budaya Malu:
- Mulai dari Keluarga: Orang tua harus menjadi teladan dalam menjaga adab dan etika.
- Pendidikan Karakter: Sekolah perlu mengajarkan nilai-nilai moral agar anak tumbuh dengan rasa malu terhadap perilaku buruk.
- Kesadaran Sosial: Masyarakat harus sadar bahwa setiap tindakan memiliki dampak bagi orang lain.
- Menjadi Teladan: Pemimpin harus memberi contoh dengan integritas dan rasa malu.
- Rasa Malu yang Sehat: Malu yang sehat muncul dari kesadaran untuk berbuat baik, bukan hanya takut dihukum.
- Pendidikan Moral: Sekolah harus mengajarkan nilai moral dan etika agar siswa paham akibat buruk perilaku tidak etis.
- Komunitas Saling Mengingatkan: Membangun lingkungan yang saling mengingatkan tentang pentingnya norma dan etika.
- Peran Media dalam Menjaga Etika: Media harus aktif menyebarkan nilai-nilai moral dan menghindari konten yang mengajarkan perilaku tidak pantas.
- Membangun Komunitas yang Saling Mengingatkan: Komunitas harus saling mengingatkan tentang pentingnya budaya malu untuk menjaga norma dan etika.
- Menciptakan Lingkungan yang Mendukung: Lingkungan seperti tempat kerja dan masyarakat harus mendukung pentingnya rasa malu untuk menciptakan budaya yang penuh adab dan kesopanan.
Kesimpulan
Budaya malu adalah akar yang terlupakan, tapi kita bisa hidupkan lagi bersama-sama. Dari keluarga, masyarakat, kantor atau instansi, dan negara, mari kita rawat nilai ini untuk Indonesia yang lebih bermartabat. Dengan menumbuhkan rasa malu yang sehat, kita memperbaiki perilaku dan menciptakan generasi yang peduli, bertanggung jawab, dan menghargai kehormatan.
"Jika kita malu untuk berbuat buruk, kita akan menemukan kebahagiaan dalam setiap langkah kebaikan."
"Rasa malu yang tulus adalah cermin dari hati yang bersih, yang menjaga kehormatan diri dan bangsa."
Penulis adalah guru SMAN 13 Bandung
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI