Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru - Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Potret Pendidikan dalam Puisi

16 Januari 2025   17:24 Diperbarui: 16 Januari 2025   17:24 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengkritisi  Potret Pendidikan dalam Puisi 

Oleh Karnita

"Dulce et utile". Indah dan bermanfaat begitulah puisi. Selain fungsi-fungsi estetik yang dapat menggetarkan sanubari dan menghaluskan rasa, ia juga memiliki fungsi lain untuk menggugah kesadaran, memahami apa yang terjadi, peduli terhadap fenomena yang terjadi, dan akhirnya melakukan suatu perbaikan terhadap ketimpangan yang terjadi.

Seperti sejarah, puisi sebagai simbol verbal juga suatu cara untuk memahami gejala kemanusiaan, memberinya struktur, dan mengkomunikasikan penemuannya. Lalu apa bedanya? Sejarah menurut Pollock dalam Kuntowijoyo (1998),  merujuk pada objek berupa gejala yang sebenarnya telah terjadi (referential symbilism), sedangkan puisi lebih menekankan pada kejiwaan subjek pengamat (evicative symbolism).

Puisi ditulis penyairnya tidak dalam kekosongan budaya. Ia ditulis dari kristalisasi realitas yang terjadi. Pepatah Cina klasik konon mengatakan, "satu gambar sama dengan 1000 kata". Adapun penyair Taufik Ismail mengatakan, "1 puisi bisa menyodorkan  1000 imaji".  Banyak penyair kita yang mendeskripsikan dan memberikan pemahaman tentang kondisi bangsa ini melalui perspektifnya.  Hal itu bisa dipahami sebab mereka sangat peka dengan sejarah bangsanya, karena riwayat hidup pribadinya  memang sarat dengan pengalaman sejarah, dan menunjukkan keterlibatan penuh di dalamnya. Potret Indonesia dalam puisinya itu merupakan perasaan, pikiran, dan pandangan penyairnya terhadap realitas yang terjadi.      

Potret pendidikan

Tema ketidakcukupan, ketidakterahan, penyesatan, dan kekhiatan pendidikan banyak terekam dalam puisinya. Dalam puisi "Sajak Sebatang Lisong", penyair Rendra mengkritik dunia pendidikan yang dianggapnya banyak memberikan materi tinggi-tinggi tetapi tidak memiliki pertautan dengan realitas kehidupan. Mereka belajar sesuatu yang tidak tahu penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.  Demikian bunyi puisinya:  Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku/ membentur meja kekuasaan yang macet/ dan papantulis-papantulis para pendidik/yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Sementara itu ia mengkkritik para teknokrat  yang menyerukan: bahwa bangsa kita adalah malas/bahwa bangsa mesti dibangun/mesti di-up grade/ disesuaikan dengan teknologi yang diimpor//. Sebenarnya, ketidaksetujuan atas seruan itu banyak terjadi hanya dipendam dalam-dalam dalam dirinya. Hal itu terlihat dalam lari-larik: Gunung-gunung menjulang/ Langit pesta warna di dalam senjakala/ Dan aku melihat/ protes-protes yang terpendam/ terhimpit di bawah tilam//.  

Pada bait lainnya ia menyerukan untuk segera menghentikan sesuatu yang tidak memberikan manfaat kepada dirinya dalam kehidupan. Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing/Diktat-diktat hanya boleh memberi metode/tetapi kiita sendiri mesti merumuskan keadaan/Kita mesti keluar ke jalan raya/keluar ke desa-desa/mencatat sendiri semua gejala/dan menghayati persoalan yang nyata//. Pada bait terakhir puisinya, ia mengkritik dan menggugat: Inilah sajakku/Pamplet masa darurat/ Apakah  artinya kesenian/ bila terpisah dari derita lingkungan/Apakah artinya berpikir/bila terpisah dari masalah kehidupan//.

Dalam puisi "Sajak Anak Muda", Rendra melontarkan kritik-kritik yang tajam tentang proses pendidikan yang terjadi saat ini yang mmenyebabkan para lulusannya bersikap gagap, curiga pada orang lain, menafikan perbedaan,  arogan, kurangnya memahami pikiran logis, bersikap tidak adil, kaku, dan tertutup.  Kritik itu terasa jelas dalam bait puisinya:    // Kita adalah angkatan gagap/yang diperanakkan  oleh angkatan takabur/kita kurang pendidikan resmi/ di dalam hal keadilan/ karena  tidak diajarkan berpolitik/ dan tidak diajar dasar ilmu hukum//. Kita melihat kabur pribadi orang/ karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa//. Pada bait lainnya, ia menulis: dasar pendidikan kita adalah kepatuhan/ Bukan pertukaran pikiran//. Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan. Dan bukan ilmu latihan menguraikan//. 

Ketidakmampuan pendidikan menghubungkan ilmu dengan realitas yang terjadi di masyarakatnya menyebabkan para siswa bersikap apatis terhadap masa depannya, masa bodoh dengan apa yang terjadi, dan realitas yang terjadi di dunia menjadi samar-samar. Ini sungguh sangat memperihatinkan. Cermatilah larik-larik puisinya: //Kenyataan di dunia menjadi remang-remang/ Gejala-gejala yang muncul lalu lalang/ tidak bisa kita hubung-hubungkan/ Kita marah pada diri sendiri/ Kita sebal terhadap masa depan/ Lalu akhirnya/ menikmati masa bodoh dan santai//.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun