Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru - Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Aksi Demo Guru Honorer: Antara Harapan dan Ketidakpastian

13 Januari 2025   22:40 Diperbarui: 13 Januari 2025   22:45 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aksi Demo  Guru Honorer: Antara Harapan dan Ketidakpastian

Oleh Karnita

 

Sekitar 200 guru dan tenaga kependidikan honorer di Jawa Barat menggelar unjuk rasa di depan kantor DPRD Provinsi Jawa Barat pada Senin, 13 Januari 2025. Mereka menuntut pemerintah daerah untuk memprioritaskan perekrutan guru honorer sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Tuntutan ini datang setelah sekian lama ketidakjelasan status bagi para guru yang telah mengabdi bertahun-tahun. Pemerintah pusat melalui Undang-Undang ASN 2023 menyatakan bahwa tenaga honorer harus diangkat menjadi ASN paling lambat akhir 2024. Namun, kenyataan yang ada menunjukkan sebaliknya: hanya sedikit dari mereka yang berhasil diterima dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Ketua Forum Komunikasi Guru Honorer (FKGH) Jawa Barat, Yudi Nurman Fauzi, mengungkapkan kekecewaannya. Dari 4.000 guru honorer tingkat SMA, SMK, dan SLB Negeri yang mengikuti seleksi PPPK, baru 1.529 yang diterima pada 2024. Ini menyisakan ketidakpastian besar bagi mereka yang telah mengabdi selama puluhan tahun. Banyak guru honorer yang sudah berada di ambang masa pensiun, namun belum mendapatkan kejelasan status. Bagi mereka, ini bukan hanya soal pekerjaan, melainkan soal penghargaan atas dedikasi yang telah mereka berikan selama bertahun-tahun.

Dalam konteks ini, Pemprov Jawa Barat memiliki tanggung jawab besar. Sebagai pihak yang seharusnya memastikan kualitas pendidikan, pemerintah daerah harus memikirkan solusi yang tidak hanya administratif, tetapi juga manusiawi. Tidak ada alasan untuk membiarkan tenaga pendidik yang telah lama mengabdi, yang seharusnya menjadi aset negara, tetap terabaikan hanya karena ketidakjelasan kebijakan perekrutan. Pemerintah perlu segera merespons tuntutan ini dengan langkah konkret, bukan hanya retorika semata.

Tuntutan guru honorer ini seharusnya tidak dipandang sebelah mata. Banyak dari mereka yang, meski telah mengabdi tanpa pamrih, diperlakukan layaknya buruh yang tidak punya masa depan. Bahkan, mereka sering menjadi kambing hitam dalam pelaksanaan tugas yang seharusnya dilakukan oleh PNS. Sementara itu, meskipun mereka diberikan status PPPK, banyak di antaranya yang merasa diperlakukan secara diskriminatif---gaji yang tidak sebanding dengan tugas, tanggung jawab yang semakin besar tanpa jaminan karier yang jelas. Inilah realitas yang harus segera dihadapi oleh Pemprov Jawa Barat.

Salah satu poin penting dalam aksi ini adalah ketidakadilan dalam pembagian formasi PPPK. Penetapan formasi yang tidak merata dan tidak adil menjadi akar masalah. Guru honorer yang sudah lama mengabdi seringkali tersingkir oleh formasi yang lebih mengutamakan guru baru atau bahkan mereka yang datang dari luar daerah. Pemprov harus segera mengevaluasi dan merumuskan kebijakan yang lebih berpihak pada guru honorer lama. Pengalaman dan loyalitas mereka seharusnya menjadi prioritas utama dalam seleksi PPPK, bukan sekadar kualifikasi yang bersifat sementara.

Selain itu, distribusi formasi yang tidak merata antar daerah menjadi persoalan lain. Banyak daerah yang kekurangan guru, terutama di daerah terpencil, sementara daerah lain memiliki lebih banyak tenaga pendidik dari yang seharusnya. Pemprov harus melakukan evaluasi ulang terhadap kebutuhan tenaga pendidik di setiap daerah, sehingga tidak ada satu pun wilayah yang kekurangan guru yang kompeten. Penambahan formasi baru yang lebih merata di setiap sekolah menjadi langkah yang tidak bisa ditunda lagi.

Tanggapan Pemprov Jawa Barat terhadap masalah ini harus menyeluruh dan menyentuh akar masalah. Menunda atau mengabaikan tuntutan ini hanya akan menambah jurang ketidakpercayaan antara pemerintah dan guru honorer. Jika perlu, Pemprov dapat mempertimbangkan untuk sementara menghentikan tes PPPK hingga semua guru honorer yang sudah lama mengabdi diakomodasi dengan adil. Moratorium ini akan memberi waktu untuk menata ulang kebijakan yang ada dan memastikan proses perekrutan berjalan lebih transparan dan adil.

Solusi lain yang patut dipertimbangkan adalah membuka formasi untuk guru honorer di sekolah-sekolah swasta. Banyak sekolah swasta di Jawa Barat yang kekurangan tenaga pengajar, sementara guru honorer yang telah berpengalaman tidak mendapatkan kesempatan yang layak. Dengan membuka kesempatan ini, pemerintah tidak hanya membantu mengurangi masalah kekurangan guru, tetapi juga memperluas lapangan pekerjaan bagi tenaga pendidik yang sudah berjuang di garis depan pendidikan.

Penting juga untuk memastikan transparansi dalam proses seleksi dan pengalokasian formasi PPPK. Guru honorer sering kali merasa bahwa proses ini tidak dilakukan secara objektif. Oleh karena itu, Pemprov Jawa Barat harus memastikan bahwa setiap langkah dalam seleksi PPPK dilakukan dengan penuh transparansi dan tidak ada pihak yang dirugikan. Sistem yang lebih terbuka dan akuntabel harus diterapkan untuk menghindari kecurangan dan ketidakadilan.

Di sisi lain, pemprov juga harus memerangi fenomena "guru honorer siluman" yang terdaftar dalam Dapodik tanpa benar-benar mengajar. Hal ini merugikan mereka yang memang telah bekerja keras dan setia mengabdi. Proses verifikasi data harus lebih ketat untuk memastikan hanya guru yang benar-benar layak yang terdaftar dan mendapatkan kesempatan untuk diangkat menjadi ASN.

Dalam menghadapi tantangan ini, Pemprov Jawa Barat seharusnya tidak hanya mengandalkan kebijakan administrasi. Pemerintah harus mendengarkan suara guru honorer dengan lebih serius, bukan hanya sebagai massa yang melakukan unjuk rasa. Mereka adalah ujung tombak pendidikan yang sangat penting bagi masa depan Indonesia. Ketidakadilan yang mereka alami adalah cerminan dari masalah besar dalam sistem pendidikan yang harus segera dibenahi.

Para guru honorer, meskipun menghadapi ketidakpastian dan tantangan berat, harus tetap optimistis dan terus berjuang dengan cara yang elegan dan bermartabat. Sabar bukan berarti diam, tetapi tetap berjuang dengan cara yang bijaksana. Perubahan yang diinginkan memang tidak akan datang dengan cepat, tetapi dengan langkah yang tepat dan bersama-sama, perubahan itu pasti bisa terwujud. Pendidikan yang berkualitas membutuhkan semua elemen pendidikan, dan guru honorer layak mendapatkan tempat yang adil dalam sistem pendidikan ini.

                                                            Penulis adalah praktisi dan analis Pendidikan 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun