Quo Vadis Pengawasan Kebijakan Pendidikan:  Antara Anomali dan Realitas Pahit
Oleh Karnita
Â
"Quo vadis, Domine?"—kemana engkau pergi, Tuhan? Begitulah pertanyaan yang pernah dilontarkan seorang murid kepada gurunya, yang kini juga kita ajukan kepada kebijakan pendidikan di negeri ini. Ke mana arah pengawasan pendidikan yang sejatinya bertugas melindungi kualitas dan keberlanjutan sistem pendidikan kita? Pengawasan yang seharusnya menjadi pilar utama, kini malah terjebak dalam anomali dan paradoks yang mengaburkan tujuan mulia dari pendidikan itu sendiri.
Â
Kebijakan pendidikan di Indonesia kerap kali dihadapkan dengan kontradiksi. Di satu sisi, pemerintah gencar merumuskan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Namun di sisi lain, implementasi kebijakan tersebut sering kali terhambat oleh pengawasan yang tidak optimal, bahkan cenderung tidak transparan. Dalam hal ini, kita seperti sedang berjalan di atas dua kaki yang tidak seimbang—mencapai tujuan pendidikan yang lebih baik, tetapi sering kali tersandung oleh ketidaksesuaian antara kebijakan dan pelaksanaan di lapangan.
Â
Anomali pertama yang bisa kita lihat adalah betapa banyaknya kebijakan pendidikan yang dikeluarkan tanpa adanya evaluasi yang jelas terkait pengawasan. Sebuah kebijakan bisa saja diluncurkan dengan semangat yang tinggi, tetapi jika tidak disertai pengawasan yang baik, hasilnya seringkali jauh dari harapan. Sejatinya, pengawasan bukanlah sekadar formalitas belaka. "Acta non verba," kata orang Latin—tindakan, bukan kata-kata. Namun, kenyataannya, banyak kebijakan yang terabaikan begitu saja di lapangan karena kurangnya pengawasan yang efektif.
Â
Paradoks kedua yang muncul adalah ketika kebijakan yang satu berusaha meningkatkan kualitas pendidikan, sementara kebijakan lainnya justru membuat beban pendidikan semakin berat. Hal ini terjadi ketika pengawasan kebijakan pendidikan menjadi terpecah—terlalu fokus pada administrasi dan laporan formal, tanpa mempertimbangkan kondisi real di lapangan. Guru dan tenaga pendidik lainnya menjadi terjebak dalam rutinitas administrasi yang membebani, sementara kualitas pengajaran yang sebenarnya terlupakan begitu saja. "Mati lampu di tengah jalan," ibarat pepatah, banyak guru yang terhalang semangat mengajarnya oleh beban administratif yang tiada habisnya.
Â